Hari-hari berlalu, dan Kawaki merasa hidupnya kembali berjalan dalam alur yang lebih tenang. Ia bersama Sumire, dan meskipun ada perasaan yang tak sepenuhnya hilang, ia berusaha untuk menjalani hari-hari bersama gadis itu dengan sebaik-baiknya. Sumire selalu ada untuknya, memberikan dukungan tanpa syarat, dan itu membuat Kawaki merasa lebih kuat. Tetapi, meskipun ia merasa aman di samping Sumire, bayangan Eida tetap menghantui pikirannya.
Kawaki tahu, ia harus lebih dari sekadar menerima kenyataan, ia harus belajar melepaskan masa lalu dan membuka hatinya sepenuhnya untuk Sumire. Namun, terkadang itu bukan hal yang mudah. Ketika malam tiba dan ia terbaring di ranjangnya, perasaan itu datang lagi—perasaan seakan ada yang belum selesai.
Di sekolah, suasana pun mulai terasa berbeda. Kawaki merasa hubungan dengan Sumire semakin dekat, tetapi ada sebuah dinding tipis yang membatasi keduanya. Dinding itu bukan dinding fisik, tetapi lebih kepada ketidakpastian yang Kawaki rasakan. Ia merasa seolah-olah harus menjaga jarak tertentu dengan Sumire, meskipun hatinya ingin lebih dekat lagi.
Suatu sore, setelah berakhirnya pelajaran, Kawaki memutuskan untuk berjalan ke taman sekolah. Langit senja yang biasa menjadi teman setianya, kini terasa lebih berat. Ia duduk di bangku taman, menatap ke horizon yang perlahan memudar, merasakan angin yang berhembus lembut. Namun, tiba-tiba, seseorang duduk di sebelahnya, mengganggu kedamaian yang sempat ia rasakan.
Kawaki menoleh, dan di sana, berdiri dengan senyuman yang datar namun penuh makna—Eida.
"Eida?" Kawaki berkata pelan, tak menyangka akan bertemu dengannya lagi setelah beberapa waktu.
Eida menatap Kawaki dengan mata yang tajam, namun ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Ia tidak tampak marah atau kecewa seperti dulu. Sebaliknya, wajahnya terlihat lebih tenang, seolah telah membuat keputusan besar dalam hidupnya.
"Sudah lama kita tidak berbicara, Kawaki," kata Eida dengan suara yang terdengar lebih ringan, meskipun ada ketegangan yang masih tersisa. "Aku pikir sudah saatnya kita berbicara lagi."
Kawaki merasa ada sesuatu yang aneh. "Apa maksudmu, Eida? Bukankah semuanya sudah jelas?"
Eida menghela napas, lalu melihat langit senja yang semakin gelap. "Ya, semuanya sudah jelas, Kawaki. Tapi, aku merasa ada yang belum kita bicarakan." Ia menatap Kawaki dengan tatapan serius. "Aku ingin memastikan bahwa kamu bahagia, meskipun itu berarti aku harus menyingkir."
Kawaki terdiam. Kata-kata Eida sangat berbeda dari apa yang ia dengar beberapa waktu lalu. Eida yang dulu penuh amarah, kini seolah sudah lebih menerima kenyataan. Namun, Kawaki tidak tahu bagaimana harus merespons. Perasaan yang membelenggunya begitu rumit, seakan ada dua dunia yang saling tarik menarik di dalam dirinya.
"Eida," Kawaki memulai, suaranya sedikit bergetar. "Aku... aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu. Aku hanya... tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa terjebak antara dua perasaan yang tidak bisa kujelaskan."
Eida mengangguk, matanya berbinar dengan pengertian. "Aku mengerti, Kawaki. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Mungkin aku terlalu terburu-buru dan berharap lebih. Tetapi, sekarang aku tahu bahwa aku harus melepaskanmu agar kamu bisa bahagia dengan Sumire."
Kawaki merasa sebuah beban besar menghilang dari pundaknya. Tapi, sekaligus, ada rasa sesak yang tumbuh di dadanya. Ia tidak pernah berpikir bahwa melepaskan Eida akan begitu sulit. Meski hubungan mereka tidak pernah bisa berjalan seperti yang ia harapkan, tetapi kenangan itu tetap membekas di hatinya.
"Terima kasih, Eida," kata Kawaki pelan, matanya tidak bisa menatap Eida langsung. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menghargai apa yang telah kita jalani."
Eida tersenyum, senyuman yang tulus meskipun ada kesedihan yang tak terucapkan di baliknya. "Kawaki, jangan merasa bersalah. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku tahu kamu memilih jalanmu, dan aku memilih untuk berjalan di jalanku sendiri. Semoga kita bisa menemukan kebahagiaan kita masing-masing."
Kawaki mengangguk perlahan, merasa seolah-olah beban yang ada di hatinya perlahan-lahan hilang. "Semoga begitu, Eida. Semoga kita bisa bahagia dengan cara kita masing-masing."
Setelah itu, Eida berdiri dan mengusap bahu Kawaki, memberikan sedikit tepukan yang terasa menenangkan. "Jangan terlalu lama terjebak dalam masa lalu, Kawaki. Hidup itu terlalu singkat."
Eida kemudian berbalik dan meninggalkan Kawaki yang masih duduk di bangku taman, menatap kepergiannya dengan perasaan yang campur aduk. Meskipun Eida telah melepaskannya, Kawaki masih merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi ia tahu, kepergian Eida adalah bagian dari perjalanan yang harus dijalani.
---
Keesokan harinya, Kawaki bertemu Sumire di sekolah. Sumire tersenyum lembut begitu melihatnya, tetapi Kawaki bisa merasakan ada ketegangan yang masih menyelimuti dirinya.
"Sumire," kata Kawaki, suara Kawaki sedikit ragu. "Aku ingin kita bicara."
Sumire menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama ke sebuah tempat yang lebih sepi di luar gedung sekolah.
"Kawaki-kun, ada apa? Kamu terlihat berbeda," kata Sumire, matanya penuh perhatian.
Kawaki berhenti sejenak, menatap Sumire dengan perasaan yang sulit diungkapkan. "Sumire, aku merasa seperti ada yang hilang. Aku tahu aku memilihmu, dan aku ingin berusaha, tetapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku masih terpengaruh oleh masa lalu."
Sumire terdiam sejenak, kemudian meraih tangan Kawaki dengan lembut. "Kawaki-kun, aku tidak ingin memaksamu untuk melupakan masa lalu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada di sini untukmu. Aku tidak menginginkan apa-apa selain kebahagiaanmu."
Kawaki merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, meskipun ada perasaan yang belum sepenuhnya hilang dalam dirinya. "Sumire, aku akan berusaha. Aku tahu kita bisa melewati semua ini bersama."
Sumire tersenyum, lalu menarik Kawaki untuk duduk di bangku taman. "Kawaki-kun, kita akan melewati semuanya, seperti langit senja yang selalu memudar, tetapi selalu ada harapan di baliknya."
Kawaki menatap Sumire, merasa tenang dengan kehadirannya. Meskipun ada bayangan masa lalu yang masih mengganggu hatinya, ia tahu bahwa dengan Sumire di sisinya, ia bisa mencari jalan keluar dari kebingungannya. Mereka masih memiliki waktu untuk memperbaiki segalanya, untuk menemukan kebahagiaan mereka, meskipun langit senja kadang mengingatkan mereka pada pilihan yang sulit dan cinta yang terlewatkan.
Dalam keheningan itu, Kawaki merasa ada tiga titik yang bersinar di langit senja—tiga titik yang mewakili perjalanan mereka yang berbeda, namun saling berhubungan. Bayangan masa lalu, perasaan yang belum selesai, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
------------------------------------------------------------
Jangan lupa di votee dan komen yaa teman teman. Sampai ketemu di bab selanjutnya 👋👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Titik di Langit Senja
RomanceKawaki, seorang pemuda pendiam dengan masa lalu kelam, hidup di bawah bayang-bayang takdir yang membebaninya. Ia percaya bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki-hingga ia bertemu dengan Sumire, seorang gadis ceria yang membawa kehangatan se...