Hari itu hujan turun deras, membasahi jalanan kota dan membuat suasana sekolah terasa lebih sunyi dari biasanya. Kawaki duduk di bangku dekat jendela kelas, matanya memandangi titik-titik air yang berjatuhan. Di pikirannya, ia mencoba menguraikan kekacauan yang terus tumbuh di hatinya.
Sumire dan Eida. Dua gadis yang begitu berbeda, namun entah bagaimana kini menjadi bagian dari dunianya. Ia tidak pernah meminta perhatian mereka, tetapi kehadiran mereka perlahan-lahan meresap ke dalam pikirannya, membuatnya sulit bernapas.
"Hei, kau mendengar aku?"
Suara itu mengalihkan fokusnya. Kawaki menoleh dan mendapati Eida berdiri di samping mejanya. Meski rambutnya sedikit basah karena hujan, pesonanya tetap terpancar, membuat beberapa murid yang lewat meliriknya dengan kagum.
"Ada apa?" tanya Kawaki dingin.
Eida duduk di kursi di depan Kawaki tanpa diundang, menyilangkan kakinya dengan anggun. "Aku hanya ingin bicara. Kau selalu sendirian, jadi kupikir kau mungkin membutuhkan seseorang untuk menghiburmu."
Kawaki mendesah, tidak menyukai cara Eida memasuki hidupnya tanpa izin. "Aku tidak butuh siapa pun."
Eida tertawa kecil. "Kau selalu berkata seperti itu, tapi tatapanmu mengatakan sebaliknya."
Kawaki terdiam. Eida selalu tahu cara menusuk perasaannya dengan kata-kata yang tepat. Namun, ia tidak punya energi untuk melawan, jadi ia memilih untuk tetap diam.
"Bagaimana dengan Sumire?" lanjut Eida tiba-tiba. "Dia jelas menyukaimu. Apa kau tidak pernah memikirkannya?"
Kawaki mendongak, menatap Eida dengan tajam. "Itu bukan urusanmu."
Eida tersenyum, tetapi ada sesuatu yang dingin di balik senyumnya. "Aku hanya penasaran. Kau tahu, Kawaki, Sumire itu gadis yang baik. Terlalu baik, bahkan. Tapi aku tidak yakin dia cukup kuat untuk memahami sisi gelapmu."
Ucapan itu membuat Kawaki merasa terpojok, tetapi ia tidak menunjukkan ekspresinya. Sebelum ia sempat menjawab, Eida berdiri, membetulkan rambutnya yang basah.
"Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi," katanya, sambil melangkah pergi. "Tapi ingat, Kawaki… tidak semua orang bisa menerima seluruh bagian dirimu. Termasuk aku."
---
Sementara itu, di sudut taman sekolah yang basah oleh hujan, Sumire berdiri di bawah pohon besar, memegang payung kecil. Ia menunggu Kawaki, berharap dapat berbicara dengannya setelah kelas selesai. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin hatinya dipenuhi keraguan.
"Apa aku terlalu memaksakan diri?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Tiba-tiba, seseorang memanggil namanya. "Sumire!"
Ia berbalik dan melihat Eida berjalan mendekat, payungnya yang besar melindunginya dari hujan. Wajah Sumire sedikit kaget, tetapi ia mencoba tersenyum. "Eida-san, kau di sini?"
Eida mengangguk, senyumnya seperti biasa—ramah, tetapi sulit ditebak. "Aku melihatmu dari jendela. Kau menunggu Kawaki?"
Sumire menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. Namun, Eida sudah menebak jawabannya.
"Kau tahu," kata Eida sambil menatap hujan, "Kawaki itu rumit. Dia seperti hujan ini—kadang sejuk, kadang menyakitkan. Apa kau yakin kau bisa menanganinya?"
Sumire menatap Eida dengan bingung. "Kenapa kau berkata seperti itu?"
Eida mengangkat bahu, menatap Sumire dengan mata yang sulit dibaca. "Aku hanya ingin kau tahu, cinta itu bukan hanya tentang keinginan. Kadang, cinta adalah tentang siapa yang paling siap menerima luka."
Sumire terdiam, kata-kata Eida bergema di pikirannya. Apakah ia cukup kuat untuk mencintai seseorang seperti Kawaki? Ataukah ia hanya bermimpi terlalu tinggi?
Eida melangkah pergi, meninggalkan Sumire dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Dan di bawah langit yang kelabu, hujan terus turun, seakan menggambarkan kekacauan hati mereka bertiga.
---
Malam itu, Kawaki kembali duduk di balkon rumahnya. Angin dingin menusuk, tetapi ia tidak peduli. Pikirannya penuh dengan percakapan tadi siang—baik dengan Eida maupun dengan dirinya sendiri.
Ia tidak bisa menyangkal bahwa Sumire membuatnya merasa lebih damai, tetapi kehadiran Eida seperti angin badai yang tidak bisa ia abaikan. Dua gadis itu menariknya ke arah yang berlawanan, dan ia tidak tahu jalan mana yang seharusnya ia pilih.
Dalam keheningan malam, ia memandang bintang-bintang yang mulai muncul di langit. Tiga bintang terang berjejer di ufuk barat, seperti tiga titik di langit senja. Kawaki menghela napas panjang, menyadari bahwa apa pun yang ia pilih, seseorang akan terluka.
Dan di saat itulah ia menyadari—kisah ini tidak akan berakhir tanpa ada hati yang patah.
------------------------------------------------------------
Jangan lupa di votee dan komen yaa teman teman. Sampai ketemu di bab selanjutnya 👋👋

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Titik di Langit Senja
RomansaKawaki, seorang pemuda pendiam dengan masa lalu kelam, hidup di bawah bayang-bayang takdir yang membebaninya. Ia percaya bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki-hingga ia bertemu dengan Sumire, seorang gadis ceria yang membawa kehangatan se...