Setelah kunjungan ke kebun bunga, hubungan antara aku dan HS semakin erat. Kami mulai bertukar pesan setiap hari, membicarakan hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup kami. Seiring waktu, rasa penasaran terhadap sosok HS terus tumbuh. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya di luar percakapan kami.
Satu malam, saat kami berbicara lewat telepon, aku memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganjal.
“HS, boleh aku tanya sesuatu yang mungkin sedikit pribadi?”
Ada jeda singkat sebelum dia menjawab. “Tentu, apa itu?”
“Aku penasaran, kenapa kamu memutuskan untuk menggunakan aplikasi kencan? Maksudku, kamu terlihat punya segalanya—karier yang sukses, kehidupan yang stabil. Aku cuma penasaran.”
Dia tertawa kecil, tetapi ada nada serius dalam suaranya ketika menjawab. “Aku suka kejujuranmu. Sebenarnya, aku mulai memakai aplikasi itu karena merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Aku punya pekerjaan yang baik, teman-teman yang suportif, tetapi kadang semua itu tidak cukup. Ada saat-saat di mana aku merasa kesepian, dan aku ingin mencari seseorang yang bisa berbagi cerita.”
Jawabannya membuatku terdiam. Aku tidak menyangka, di balik kepercayaan dirinya, ada sisi rapuh yang jarang terlihat.
“Aku mengerti,” kataku akhirnya. “Aku juga merasa hal yang sama. Kadang, walaupun kita dikelilingi orang-orang, tetap ada perasaan kosong yang sulit dijelaskan.”
Percakapan itu membawa kami ke topik yang lebih dalam. Dia mulai menceritakan tentang masa lalunya—hubungan yang pernah gagal, harapan yang tidak tercapai, dan bagaimana semua itu membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat.
“Aku sudah belajar untuk tidak terlalu berharap banyak,” katanya dengan nada tenang. “Tapi aku merasa, berbicara denganmu memberi warna baru dalam hariku. Kamu berbeda.”
Aku tertegun mendengar pengakuannya. Perasaanku bercampur aduk—senang, terkejut, dan sedikit gugup.
“Aku senang bisa menjadi seseorang yang berarti untukmu,” jawabku perlahan.
Beberapa hari kemudian, HS mengundangku untuk makan malam di rumahnya. “Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” katanya.
Malam itu, aku tiba di rumahnya, sebuah apartemen yang nyaman di tengah kota. Dia menyambutku dengan senyum hangat dan mempersilakanku masuk. Di ruang tamu, aku melihat beberapa bingkai foto yang memperlihatkan dirinya bersama keluarga dan teman-temannya.
“Aku jarang mengundang orang ke sini,” katanya. “Tapi aku merasa, kamu pantas melihat bagian ini dari hidupku.”
Kami duduk di sofa, menikmati makanan sederhana yang dia siapkan. Suasana begitu santai, seolah-olah kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
“Ini yang ingin aku tunjukkan,” katanya sambil mengambil sebuah kotak kecil dari rak. Dia membuka kotak itu dan menunjukkan beberapa surat serta foto lama.
“Ini adalah kenangan dari masa lalu,” jelasnya. “Setiap kali aku merasa ragu, aku melihat ini untuk mengingatkan diriku bahwa setiap pengalaman, baik atau buruk, adalah bagian dari perjalanan.”
Aku melihat surat-surat itu dengan hati-hati. Ada satu yang menarik perhatianku—sebuah surat yang ditulis oleh dirinya sendiri bertahun-tahun lalu. Di sana, dia menuliskan mimpi dan harapan yang ingin dia capai.
“Aku menulis ini saat aku masih kuliah,” katanya sambil tersenyum. “Sebagian besar belum tercapai, tapi aku terus mencoba.”
Aku merasa semakin terhubung dengannya. HS bukan hanya seorang wanita yang menarik secara fisik, tetapi juga seseorang dengan kedalaman emosi dan keberanian untuk menghadapi hidup.
Malam itu, aku merasa hubungan kami melangkah ke tingkat yang lebih dalam. Ada kepercayaan yang tumbuh, dan aku tahu, pertemuan kami bukanlah kebetulan.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertemuan Tak Terduga
RomanceDeskripsi: Awalnya, aku hanya iseng membuka aplikasi kencan untuk mengusir rasa bosan. Namun, tak disangka-sangka, aku bertemu dengan wanita ber inisial HS, seorang wanita yang lebih dewasa, dengan senyuman hangat yang penuh misteri. Obrolan ringan...