Hari-hari setelah pertemuan itu terasa lebih berwarna. Aku dan HS semakin sering berkomunikasi, baik lewat pesan singkat maupun panggilan telepon. Obrolan kami selalu mengalir, seolah tidak ada habisnya bahan untuk dibicarakan. Meski begitu, ada satu hal yang terus menjadi misteri bagiku: mengapa dia memilih untuk bertemu denganku?
Aku tidak bisa menahan rasa penasaran, terutama karena perbedaan usia kami yang cukup signifikan. Bukannya merasa rendah diri, tapi aku tahu bahwa HS adalah wanita yang matang dan mandiri, sedangkan aku hanya seorang pria biasa yang masih merangkak mencari arah hidup.
Suatu malam, ketika suasana terasa lebih santai, aku memutuskan untuk menanyakannya.
"HS, boleh aku tanya sesuatu?" tulisku dalam pesan.
"Tentu, apa saja. Ada yang mengganjal?" balasnya cepat.
Aku menarik napas dalam sebelum mengetik balasan. "Kenapa kamu tertarik ngobrol dan bahkan bertemu denganku? Maksudku, aku rasa kamu punya banyak pilihan yang lebih baik."
Pesan itu terkirim, dan aku menunggu dengan gugup. Tidak butuh waktu lama, balasannya muncul.
"Karena kamu berbeda. Kamu tidak berpura-pura menjadi orang lain. Dari awal, aku bisa merasakan ketulusanmu, dan itu jarang aku temukan," tulisnya.
Aku tertegun membaca jawabannya. Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna.
"Kadang, aku merasa bosan dengan orang-orang yang hanya ingin pamer atau mencoba mengesankan. Kamu, di sisi lain, hanya jadi dirimu sendiri, dan itu lebih dari cukup," lanjutnya.
Jawaban itu membuatku tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin aku memang cukup baik untuk seseorang seperti HS.
Beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk bertemu lagi. Kali ini, HS mengusulkan tempat yang lebih santai: sebuah taman kota yang tidak terlalu ramai. Ketika aku tiba, dia sudah ada di sana, duduk di bangku taman dengan secangkir kopi di tangannya.
"Hei," sapaku sambil mendekat.
"Hei juga," balasnya dengan senyuman yang langsung membuatku merasa tenang.
Kami duduk bersebelahan, menikmati suasana taman yang damai. Burung-burung berkicau, dan angin sepoi-sepoi menambah kesejukan.
"Kamu suka tempat ini?" tanyanya.
"Suka. Rasanya tenang. Aku jarang ke tempat seperti ini," jawabku.
Dia tersenyum kecil. "Aku sering ke sini untuk berpikir. Tempat ini seperti pelarian dari kesibukan sehari-hari."
Obrolan kami berlanjut, membahas banyak hal, dari pekerjaan hingga mimpi-mimpi yang pernah kami miliki. Di tengah percakapan, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dalam.
"HS, boleh aku tahu... kenapa kamu masih sendiri? Maksudku, kamu wanita yang luar biasa. Aku yakin banyak pria yang tertarik padamu."
Dia terdiam sejenak, menatap jauh ke depan seolah sedang memikirkan jawabannya.
"Karena aku terlalu sibuk mengejar mimpi dan lupa memberi ruang untuk diriku sendiri," katanya akhirnya. "Aku selalu berpikir bahwa aku harus mencapai sesuatu dulu sebelum bisa membiarkan orang lain masuk ke hidupku. Tapi sekarang, aku sadar bahwa kebahagiaan bukan hanya soal pencapaian."
Aku mengangguk, memahami apa yang dia rasakan.
"Tapi kenapa kamu mulai membuka diri sekarang?" tanyaku pelan.
Dia menoleh dan menatapku dengan lembut. "Karena aku merasa waktunya sudah tepat. Dan... mungkin, aku hanya butuh seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi."
Ada keheningan sejenak, tapi itu bukan keheningan yang canggung. Justru, keheningan itu terasa penuh makna.
Hari itu, aku pulang dengan hati yang hangat. Aku merasa semakin mengenal HS, bukan hanya sebagai seseorang yang menarik, tapi juga sebagai pribadi yang memiliki cerita dan perjuangannya sendiri. Dan aku tahu, perjalananku bersamanya baru saja dimulai.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertemuan Tak Terduga
RomanceDeskripsi: Awalnya, aku hanya iseng membuka aplikasi kencan untuk mengusir rasa bosan. Namun, tak disangka-sangka, aku bertemu dengan wanita ber inisial HS, seorang wanita yang lebih dewasa, dengan senyuman hangat yang penuh misteri. Obrolan ringan...