Dua Dunia yang Berbeda

83 16 0
                                    

Freano tiba di tanah lapang yang jadi markas nongkrong Aldo dan teman-teman lainnya. Suara mesin motor saling bersahutan, asap knalpot tipis mengepul di udara. Di sudut, Aldo sedang duduk di atas motor sambil tertawa bersama Daniel dan Rasya.

"Eh, si Freano datang juga, nih!" seru Aldo sambil berdiri. "Gue kira lo udah lupa jalan ke sini."

Freano parkir motor tuanya dengan asal, lalu jalan mendekati mereka sambil memasang ekspresi malas. "Ngapain gue lupa? Lo kira gue kayak lo yang lupa bayar utang?"

"Wah, mulai bawa-bawa utang," Aldo nyengir sambil memukul bahu Freano pelan. "Tapi serius, Bro. Malam ini lo harus ikut. Taruhannya gede, hadiahnya lebih gede lagi."

"Balapan lagi?" Freano menghela napas, matanya melirik lintasan di kejauhan. "Lo tahu, kan, terakhir kali gue hampir diciduk polisi. Gue gak mau motor tua gue ini makin sengsara."

"Ah, bullshit!" Rasya menyela sambil tertawa kecil. "Lo itu yang paling jago kalau soal tikungan. Gue yakin banget lo bisa menang gampang."

Freano diam, menatap lintasan yang gelap dan penuh bahaya. Suara mesin motor yang meraung-raung makin bikin pikirannya penuh.

"Kalau lo gak ikut, gue bakal suruh si Daniel gantiin lo," Aldo menantang sambil menunjuk Daniel. "Tapi ya... kita tahu siapa yang bakal kalah duluan."

Daniel langsung protes. "Eh, jangan bawa-bawa gue! Gue cuma jago nyetir mobil, motor gue cuma buat ke warung."

Semua tertawa kecuali Freano. Akhirnya, ia menghela napas panjang. "Fine, gue ikut. Tapi kalau motor gue rusak, lo yang bayar."

"Deal!" Aldo menjawab sambil menjabat tangan Freano dengan antusias.

---

Sementara itu, di rumah, suasana terasa jauh lebih sunyi. Ibu Chika sedang menemani Christy belajar di ruang keluarga. Ayah Aransyah masih di ruang kerjanya, sibuk mengetik di laptop. Alzee baru saja turun dari kamarnya, mengenakan pakaian rapi.

"Mau kemana malam-malam gini?" tanya Ibu Chika sambil melirik.

"Cuma mau keluar sebentar, Bu. Cari udara segar," jawab Alzee sambil mengikat sepatunya. Tapi di kepalanya, ia sebenarnya penasaran ke mana Freano pergi.

"Kalau ketemu Freano di luar, bilang dia jangan pulang terlambat," tambah Ibu Chika.

Alzee hanya mengangguk. Dalam hati, ia tahu Freano pasti sedang nongkrong dengan teman-temannya. Dan, entah kenapa, ada rasa cemas yang tak bisa ia abaikan.

---

Kembali ke lintasan balapan, suasana makin memanas. Lampu-lampu kendaraan menyinari jalan, dan suara sorakan penonton mulai terdengar di sepanjang lintasan. Freano berdiri di samping motornya, memasang helm sambil memperhatikan lawan-lawannya.

"Eh, lo liat tuh," kata Rasya, menunjuk seorang pembalap dari kelompok lain. "Itu si Damar. Gaya balapnya kayak setan, gak peduli siapa yang ada di depannya."

"Biarin aja," jawab Freano sambil menyalakan motornya. Suara mesin tua itu meraung kasar, tetapi cukup untuk membuatnya merasa lebih tenang.

Aldo mendekat, menepuk bahu Freano. "Bro, gue percaya sama lo. Jangan bikin kita kalah, ya."

"Gue gak janji, tapi gue bakal coba," jawab Freano dingin.

Ketika bendera start diangkat, Freano langsung memacu motornya. Angin malam menghantam wajahnya, dan suara mesin menggelegar memenuhi telinganya. Di setiap tikungan, ia meluncur dengan presisi yang nyaris sempurna, meninggalkan beberapa lawannya di belakang.

Tapi di tikungan terakhir, Damar mencoba memotong jalur Freano. Hampir terjadi tabrakan, tetapi Freano berhasil mengendalikan motornya. Ia finis di posisi kedua, namun kemenangan itu terasa hampa.

"Gila, lo keren banget, Bro!" seru Aldo saat Freano kembali ke kelompok mereka.

"Gue cuma untung gak mati," jawab Freano sambil melepas helmnya. Wajahnya penuh keringat, tetapi matanya memancarkan kelelahan.

"Udah, santai aja. Duitnya tetap gede. Kita traktir lo nanti," tambah Rasya sambil tertawa.

Namun, Freano hanya terdiam. Ada perasaan kosong yang terus menghantuinya.

---

Pulang ke rumah, Freano tiba larut malam. Lampu rumah sudah padam, kecuali ruang tamu, di mana Alzee sedang duduk di sofa, melipat tangan di dadanya.

"Lo dari mana?" tanya Alzee dingin.

Freano menghela napas panjang, lalu menaruh helmnya di meja. "Bukan urusan lo."

"Freano, gue serius. Lo pikir hidup lo bakal beres kalau lo terus-terusan kayak gini?"

Freano menatap Alzee dengan tatapan tajam. "Hidup gue udah berantakan dari awal, Kak. Lo pikir gue gak tahu? Apa pun yang gue lakuin gak bakal cukup di mata Ayah."

"Bukan soal Ayah, ini soal lo," balas Alzee. "Lo bisa lebih baik kalau lo mau."

Freano tertawa pahit. "Gue? Lebih baik? Gue gak kayak lo, Kak. Gue gak punya segalanya."

Tanpa menunggu jawaban, Freano berjalan ke kamarnya, membanting pintu. Di dalam, ia duduk di lantai, memeluk lututnya. Ia tahu apa yang kakaknya bilang benar, tetapi ia terlalu lelah untuk mencoba lagi.

---

Freano yang semakin terjebak dalam perasaan frustrasi dan kekosongan, sementara hubungannya dengan keluarganya terus merenggang.

****
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang