Luka yang Belum Tersentuh

21 3 1
                                    


---

Di Rumah Keluarga Jayawardana

Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Christy sudah pergi ke sekolah, sementara Alzee duduk di ruang tamu sambil membaca buku yang ia temukan di kamar Freano. Buku itu berisi catatan kecil dan coretan ide-ide Freano tentang hidupnya, salah satunya adalah keinginan untuk membuka bengkel seni yang memadukan hobi motor dan kreativitas.

Alzee menghela napas panjang. "Kenapa gue nggak pernah tahu soal ini waktu dia masih ada?" pikirnya dalam hati.

Ibu Chika menghampirinya dengan secangkir teh. "Kamu nggak pergi ke kampus hari ini, Nak?"

Alzee menggeleng. "Belum, Ma. Lagi pengen di rumah aja."

Ibu Chika duduk di sebelahnya, memperhatikan buku yang dipegang Alzee. "Itu bukunya Freano, ya?"

Alzee mengangguk. "Iya, Ma. Banyak banget ide-idenya yang dia tulis di sini. Tapi... kenapa dia nggak pernah ngomong ke kita soal ini?"

Ibu Chika terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Mungkin karena dia nggak merasa bisa. Mungkin dia merasa nggak didengar. Dan itu salah Mama."

"Bukan cuma Mama," kata Alzee, menunduk. "zee juga. Zee kakaknya, tapi zee malah sibuk sama urusan zee sendiri."

Ibu Chika mengusap bahu Alzee. "Semua orang buat kesalahan, Nak. Yang penting sekarang, kita belajar dari itu. Kita jadikan ini pelajaran supaya kita nggak kehilangan orang-orang yang masih ada di sekitar kita."

---

Di Kampus: Konflik Baru

Ketika akhirnya tiba di kampus, Alzee langsung menemui Marsya yang sedang berdiskusi dengan anggota komunitas baru mereka. Namun, suasana diskusi tampak memanas.

"Gue bilang, kita harus fokus ke acara yang praktis dulu, bukan bikin proyek yang terlalu gede," kata Daniel dengan nada tinggi.

Aldo membalas dengan tajam, "Tapi kalau kita nggak mulai dari sekarang, kapan lagi? Freano nggak pernah takut buat mikir besar!"

Marsya mencoba menenangkan mereka. "Udah, jangan ribut. Kita semua punya tujuan yang sama, kan? Kita mau bikin sesuatu yang berarti, sesuatu yang bikin orang inget Freano."

Alzee, yang mendengarkan dari pintu, akhirnya masuk dan angkat bicara. "Gue ngerti kalian semua punya pandangan masing-masing. Tapi kita ini kerja bareng, bukan buat saling nyalahin. Kalau Freano di sini, dia pasti lebih peduli sama gimana caranya kita bikin ini jalan, bukan siapa yang paling benar."

Semua orang terdiam. Aldo menghela napas panjang. "Sorry, gue kebawa emosi."

Daniel mengangguk pelan. "Gue juga. Maaf, bro."

Marsya tersenyum kecil. "Oke, kalau gitu, kita fokus lagi ke rencana awal. Tapi kita harus jalan pelan-pelan, biar semuanya bisa ikut."

---

Di Sekolah Christy: Harapan di Tengah Kekecewaan

Sementara itu, di sekolah, Christy sedang mempersiapkan lukisannya untuk lomba. Namun, ia merasa frustasi karena setiap kali mencoba menggambar Freano, ia merasa hasilnya tidak cukup baik.

"Kenapa susah banget bikin wajah Kak Freano kelihatan hidup?" gumamnya.

Guru seninya, Ibu Maya, menghampirinya. "Christy, kenapa kamu kelihatan stres?"

Christy menghela napas. "Aku pengen lukisan ini sempurna, Bu. Aku pengen Kak Freano bangga."

Ibu Maya tersenyum lembut. "Kamu tahu, seni itu bukan tentang kesempurnaan. Seni itu tentang apa yang kamu rasakan. Kalau kamu jujur dengan apa yang ada di hatimu, lukisanmu akan berbicara sendiri."

Kata-kata itu membuat Christy merenung. Ia mulai melepaskan tekanan yang ia rasakan dan membiarkan tangannya bergerak bebas di atas kanvas.

---

Di Rumah Aldo: Pengakuan yang Tertunda

Malam itu, Alzee dan Marsya mengunjungi rumah Aldo untuk melanjutkan diskusi tentang proyek mereka. Setelah diskusi selesai, Aldo mengajak Alzee berbicara di taman belakang.

"Zee, gue harus ngomong sesuatu," kata Aldo dengan nada serius.

"Ngomong aja, bro. Kenapa?"

Aldo menghela napas, lalu berkata pelan, "Gue merasa bersalah sama Freano."

Alzee menatapnya bingung. "Maksud lo apa?"

"Gue pernah ribut gede sama dia, beberapa minggu sebelum dia meninggal. Gue bilang dia terlalu ambisius, terlalu banyak mimpi. Gue takut dia nggak bisa ngelakuin semuanya dan akhirnya kecewa. Tapi sekarang gue sadar... gue salah. Freano nggak butuh gue buat ngejaga dia. Dia cuma butuh dukungan."

Alzee terdiam. "Lo nggak sendirian, Do. Gue juga sering ngerasa bersalah. Tapi yang bisa kita lakuin sekarang cuma satu-kita lanjutkan apa yang dia mulai."

Aldo mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca. "Lo bener. Gue bakal lakuin yang terbaik buat dia."

---

Di Rumah Keluarga Jayawardana: Memulai Babak Baru

Ketika Alzee pulang malam itu, ia melihat Ibu Chika sedang duduk di ruang tamu, memandangi sebuah album foto keluarga.

"Mama nggak tidur?" tanya Alzee sambil duduk di sebelahnya.

"Mama cuma... lihat-lihat foto lama. Rasanya aneh, ya? Banyak momen yang kita lewatkan tanpa sadar kalau itu penting," jawab Ibu Chika dengan suara pelan.

Alzee membuka album itu dan melihat foto mereka saat liburan di pantai beberapa tahun lalu. Freano terlihat sangat ceria, memeluk Christy sambil tertawa lepas.

"Ma, zee mau tanya sesuatu," kata Alzee tiba-tiba.

"Apa, Nak?"

"Kenapa dulu Mama lebih keras sama Freano daripada sama zee?"

Ibu Chika terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Mungkin karena Mama terlalu banyak berharap. Mama lihat dia punya potensi besar, tapi Mama lupa kalau dia juga butuh waktu untuk jadi dirinya sendiri. Dan itu salah Mama."

Alzee mengangguk pelan. "zee rasa sekarang kita semua belajar, Ma. Dari Freano."

"Betul, Nak. Kita belajar dari dia, dan kita juga belajar untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama," jawab Ibu Chika dengan mata yang berkaca-kaca.

---

pergulatan batin semua karakter, dari rasa bersalah hingga usaha untuk berdamai dengan masa lalu. Melalui konflik yang masih muncul, mereka mulai menemukan kekuatan untuk melangkah maju, membawa semangat Freano dalam setiap langkah mereka.

****
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang