Luka yang Belum Terlupakan

41 9 0
                                    


---

Di Rumah Keluarga Jayawardana

Pagi itu, Alzee duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah dingin di depannya. Matanya sayu, terlihat seperti seseorang yang tidak tidur semalaman. Ibu Chika melirik ke arahnya sambil menyiapkan sarapan untuk Christy.

"Alzee, kamu belum siap-siap untuk ke kampus?" tanya Ibu Chika pelan, mencoba menghindari ketegangan.

Alzee hanya menggeleng. "Nggak ada kelas hari ini, Ma."

Ibu Chika menghentikan gerakannya sejenak, lalu menghampiri anak sulungnya. "Alzee, Mama tahu kamu masih memikirkan Freano. Tapi kamu harus terus jalan ke depan. Kalau kamu terus seperti ini, apa yang akan kamu capai?"

"Mama selalu bicara soal jalan ke depan," balas Alzee, suaranya terdengar lelah. "Tapi Fre nggak pernah dikasih kesempatan buat ke depan, Ma. Kita yang bikin dia merasa nggak layak."

Nada Alzee penuh penyesalan, membuat Ibu Chika terdiam. Ia tidak bisa membantah karena dalam hati, ia tahu Alzee benar. Ia dan Aransyah sering membandingkan Freano dengan Alzee, berharap kedua anak mereka menjadi sempurna tanpa menyadari luka yang mereka torehkan.

"Maafkan Mama, Zee," suara Ibu Chika bergetar. "Mama nggak pernah berniat melukai kalian. Mama hanya ingin kalian jadi yang terbaik."

"Tapi cara kita salah, Ma." Alzee menatap ibunya dengan mata basah. "Kita selalu bilang sayang sama Fre, tapi kita nggak pernah kasih dia ruang buat jadi dirinya sendiri."

Ibu Chika tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengusap bahu Alzee dengan lembut, mencoba menenangkan putranya yang sedang tenggelam dalam rasa bersalah yang sama seperti yang ia rasakan.

---

Di Kamar Christy

Sementara itu, Christy duduk di lantai kamarnya sambil memandangi kotak kecil yang penuh dengan barang-barang milik Freano. Ia menemukan salah satu buku catatan lama Freano yang penuh dengan coretan kecil dan sketsa motor balap.

Ketika Christy membolak-balik halaman, ia menemukan satu catatan yang membuatnya berhenti. Tulisan itu berbunyi:

"Aku tahu aku nggak pernah cukup di mata orang-orang, tapi aku cuma ingin mereka tahu aku mencoba."

Mata Christy berkaca-kaca. Ia menggenggam buku itu erat dan berlari ke ruang tamu untuk menunjukkan tulisan itu kepada Alzee dan Ibu Chika.

"Mama, Kakak Alzee, lihat ini!" seru Christy dengan suara penuh emosi.

Alzee mengambil buku itu dari tangan adiknya. Ketika ia membaca tulisan tersebut, hatinya terasa seperti ditusuk. Ia menatap tulisan itu lama, lalu menyerahkannya kepada Ibu Chika.

Ibu Chika membaca tulisan itu perlahan. Tangannya gemetar, dan air matanya kembali mengalir. "Freano...," bisiknya. "Mama minta maaf, Nak."

---

Di Taman: Percakapan Teman-Teman Freano

Beberapa hari kemudian, Aldo, Daniel, Olla, dan Rasya berkumpul di taman tempat mereka sering nongkrong bersama Freano. Kali ini, suasananya berbeda; tidak ada tawa atau canda seperti dulu.

"Gue masih nggak percaya Fre udah nggak ada," kata Aldo sambil menatap jauh ke depan. "Kayak ada yang hilang dari hidup gue."

Daniel mengangguk setuju. "Dia itu nggak pernah bilang kalau dia kesepian. Gue pikir dia baik-baik aja, Do. Padahal, gue tahu ada yang dia sembunyiin."

Rasya, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. "Kita semua tahu Fre punya beban, tapi kita semua tutup mata. Gue juga salah. Gue lebih peduli sama urusan gue sendiri daripada nanya kabarnya."

Olla menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Fre selalu bilang dia nggak apa-apa, tapi cara dia senyum itu beda. Gue cuma berharap gue bisa lebih peka waktu itu."

Aldo menghela napas panjang. "Kita udah nggak bisa balik ke masa lalu, tapi kita bisa belajar dari ini semua. Gue janji, gue bakal lebih perhatian sama orang-orang di sekitar gue."

"Gue juga," tambah Daniel. "Kita harus jadi orang yang lebih baik, buat Fre."

Olla tersenyum tipis. "Freano pasti pengen kita semua bahagia. Kita harus jalan terus, walaupun tanpa dia."

Mereka semua mengangguk setuju, berjanji untuk membawa semangat Freano dalam hidup mereka.

---

Flashback: Freano dan Christy

Beberapa minggu sebelum kecelakaan, Christy mendekati Freano yang sedang duduk di teras rumah sambil membersihkan helmnya.

"Kak Freano, kenapa Kakak sering sendirian?" tanya Christy polos.

Freano tertawa kecil, menatap adiknya yang masih kecil. "Kadang Kakak butuh waktu buat mikir, Christy."

"Mikir apa, Kak?" Christy memiringkan kepalanya penasaran.

"Mikir tentang hidup, mungkin." Freano tersenyum tipis. "Kadang Kakak cuma pengen semua orang tahu kalau Kakak juga bisa diandalkan."

Christy tidak benar-benar mengerti, tapi ia tersenyum lebar. "Kakak selalu diandalkan sama aku. Kakak hebat."

Freano tertawa pelan, lalu mengusap kepala Christy. "Terima kasih, Christy. Kamu selalu bikin Kakak merasa lebih baik."

---

Di Pusara Freano

Malam itu, Ibu Chika, Ayah Aransyah, Alzee, dan Christy pergi bersama ke pusara Freano. Mereka membawa bunga dan beberapa barang kecil yang mengingatkan mereka pada Freano.

Saat mereka berdiri di depan makam itu, Alzee berbicara lebih dulu. "Fre, maafkan Kakak. Kakak selalu bikin kamu ngerasa nggak cukup. Tapi sekarang Kakak sadar, kamu itu yang terbaik. Kakak bangga sama kamu."

Ibu Chika menambahkan dengan suara bergetar, "Mama tahu Mama salah, Nak. Mama hanya ingin kamu tahu kalau Mama sayang sama kamu, selalu."

Christy, dengan polosnya, meletakkan gambar yang ia buat di atas makam. "Kak Freano, aku sayang Kakak. Kakak pahlawanku."

Ayah Aransyah, yang selama ini jarang menunjukkan emosi, akhirnya berkata, "Freano, Ayah bangga padamu. Maafkan Ayah karena tidak pernah mengatakannya ketika kamu masih ada."

Malam itu, keluarga Jayawardana meninggalkan makam dengan hati yang lebih ringan. Meskipun rasa kehilangan itu tidak akan pernah hilang, mereka tahu bahwa cinta untuk Freano akan terus hidup dalam kenangan mereka.

---

gambaran keluarga yang mulai mencoba menerima kepergian Freano, meskipun luka itu masih terasa begitu nyata. Mereka berusaha memperbaiki diri agar penyesalan ini menjadi pelajaran berharga untuk hidup mereka ke depan.

***
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang