Jejak Luka yang Tertinggal

177 36 0
                                    

Di Rumah Keluarga Jayawardana

Malam itu, keluarga Jayawardana berkumpul di ruang makan untuk makan malam. Suasana terasa canggung dan sunyi. Alzee duduk dengan kepala tertunduk, sementara Christy menggambar sesuatu di buku kecilnya. Ibu Chika sesekali melirik ke arah tempat duduk Freano yang kosong, matanya memerah.

"Ayo, makan," kata Ayah Aransyah dengan nada lembut, mencoba memecah keheningan.

"Sudah, Yah," jawab Alzee pendek. Ia mendorong piringnya yang masih setengah penuh. "Aku nggak lapar."

"Alzee," tegur Ibu Chika pelan, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. "Kamu harus makan. Besok kan kamu ada persiapan untuk keberangkatanmu ke Jerman."

Alzee mendesah panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Mama, kita bisa nggak nggak bahas itu sekarang?"

"Kenapa, Zee?" Ayah Aransyah menatapnya tajam, meskipun nadanya tetap tenang. "Kamu sudah memutuskan untuk pergi, bukan? Jangan buat keputusan yang setengah-setengah."

"Aku nggak tahu, Yah!" Alzee tiba-tiba berdiri, membuat kursinya berderit. "Aku nggak tahu apa aku benar-benar ingin pergi atau cuma kabur dari semua ini."

Christy berhenti menggambar dan memandangi kakaknya dengan bingung. "Kakak mau kabur? Kenapa?" tanyanya polos.

Alzee menatap adiknya, lalu menggeleng pelan. "Enggak, Christy. Kakak cuma... cuma bingung."

Ibu Chika meletakkan sendoknya dengan hati-hati. "Alzee, duduklah. Kita bicara baik-baik. Mama tahu kamu sedang sedih, tapi..."

"Mama nggak tahu apa-apa!" potong Alzee. "Mama nggak pernah lihat bagaimana Freano menderita karena kita semua selalu membandingkan dia denganku. Aku bahkan nggak pernah bilang kalau aku bangga sama dia. Sekarang aku nggak punya kesempatan lagi!"

Ucapan itu membuat semua orang terdiam. Ibu Chika terisak pelan, sementara Ayah Aransyah tampak terpukul. Alzee, yang menyadari kekerasan ucapannya, menghela napas berat dan meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata lagi.

---

Di Kamar Alzee

Di kamar, Alzee duduk di lantai, bersandar di sisi tempat tidurnya. Ia memegang foto lama yang memperlihatkan dirinya dan Freano sedang tertawa bersama di garasi rumah. Air matanya jatuh perlahan.

"Fre," gumamnya, "kalau aja gue lebih peka sama lo, kalau aja gue lebih banyak ngomong sama lo... mungkin semuanya nggak akan berakhir kayak gini."

Pikirannya melayang ke momen-momen kecil yang kini terasa begitu berarti. Bagaimana Freano selalu membantunya memperbaiki motor, meskipun ia tahu Freano tidak menyukainya. Bagaimana Freano diam-diam menjaga Christy setiap kali mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Lo sebenarnya lebih baik dari gue, Fre," bisiknya lirih. "Tapi gue terlalu egois buat ngakuin itu."

---

Di Rumah Aldo: Percakapan Teman

Sementara itu, di rumah Aldo, teman-teman Freano berkumpul untuk mengenang mendiang sahabat mereka. Aldo, Olla, Daniel, dan Rasya duduk di ruang tamu kecil yang penuh dengan kenangan akan Freano.

"Lo inget nggak waktu Fre taruhan siapa yang paling cepat makan bakso pedas?" Aldo membuka obrolan, mencoba mengangkat suasana.

Daniel tertawa kecil. "Iya, dan dia kalah telak sama gue. Tapi tetep aja dia bilang gue curang."

Olla tersenyum tipis. "Freano selalu nyari alasan kalau kalah. Tapi gue tahu, dia cuma pengen kita semua ketawa."

"Tapi lo sadar nggak," Rasya tiba-tiba berbicara, nadanya serius. "Kita semua tahu Fre sering ngerasa nggak dihargai, tapi nggak ada satu pun dari kita yang benar-benar nanya apa yang dia rasain."

Aldo terdiam, lalu mengangguk. "Iya, gue sadar. Gue cuma mikir dia bakal baik-baik aja, karena ya... dia kan Freano. Tapi ternyata kita salah, ya?"

"Iya, kita salah," gumam Daniel. "Tapi sekarang, yang bisa kita lakuin cuma bikin dia bangga. Kita harus lebih peka sama orang di sekitar kita, jangan ulangin kesalahan yang sama."

Mereka semua terdiam, merenungi kata-kata Daniel. Di dalam hati masing-masing, mereka berjanji untuk menghargai orang-orang di sekitar mereka sebelum terlambat.

---

Di Pusara Freano: Malam Hari

Larut malam, Alzee pergi sendiri ke pusara Freano. Ia membawa motor Freano yang kini menjadi miliknya, sebuah simbol dari kepergian adiknya yang ia rasakan terlalu cepat.

Di depan makam itu, ia duduk bersila dan meletakkan helm milik Freano di sampingnya. "Fre, gue di sini," katanya pelan. "Gue tahu lo nggak bisa dengar, tapi gue cuma mau bilang kalau gue minta maaf. Gue nyesel nggak pernah bilang kalau gue bangga sama lo."

Alzee terdiam, membiarkan air mata jatuh tanpa ia tahan. Ia menatap langit malam yang gelap, berharap ada jawaban yang datang.

"Gue janji, Fre," bisiknya. "Gue bakal berubah. Gue bakal bikin hidup gue berarti, kayak yang lo bilang dulu."

Angin malam berhembus pelan, seolah membawa kehangatan yang menenangkan. Meskipun Freano sudah tiada, jejaknya tetap hidup dalam hati orang-orang yang mencintainya.

---

perasaan penyesalan yang masih membayangi, tetapi juga menjadi titik awal bagi keluarga dan teman-teman Freano untuk berubah menjadi lebih baik.

****
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang