---
Di Rumah Keluarga Jayawardana
Di ruang tamu, Ibu Chika duduk di sofa sambil memandangi foto keluarga di dinding. Tangannya menyentuh bingkai itu pelan, air mata mengalir tanpa ia sadari. Suasana rumah terasa sunyi sejak kepergian Freano, seolah-olah jiwa rumah itu telah pergi bersamanya.
Christy yang baru pulang dari sekolah masuk ke ruang tamu, membawa tas sekolahnya. Ia menghampiri ibunya dengan langkah ragu. "Mama... Mama nangis lagi, ya?" tanyanya dengan suara kecil.
Ibu Chika tersentak, segera menghapus air matanya dengan ujung jilbab. "Enggak, sayang. Mama nggak apa-apa. Kenapa belum ganti baju?"
Christy mendekat, menarik-narik ujung baju ibunya. "Aku kangen sama Kak Freano, Ma. Mama juga kangen, kan?"
Mata Ibu Chika berkaca-kaca, tapi ia berusaha tersenyum. "Iya, Mama kangen. Kak Freano pasti juga kangen sama kita, tapi sekarang dia ada di tempat yang indah."
Christy terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku tadi gambar Kak Freano di sekolah. Aku bikin dia naik motor gede. Mama mau lihat?"
Ibu Chika tersenyum lemah. "Mama mau lihat. Tunjukkan ke Mama."
Christy berlari ke kamarnya, lalu kembali membawa kertas gambar. Di atas gambar itu, tertulis dengan huruf besar, "Kak Freano, pahlawanku."
Ibu Chika memeluk Christy erat. "Mama bangga sama kamu, Christy. Kamu anak yang kuat."
---
Alzee dan Ayah Aransyah
Di kamarnya, Alzee duduk termenung memandangi tiket pesawat ke Jerman yang tergeletak di meja. Pintu kamarnya diketuk pelan, lalu Ayah Aransyah masuk tanpa menunggu jawaban.
"Kamu belum tidur, Zee?" Ayah duduk di tepi tempat tidur.
"Belum, Yah," jawab Alzee tanpa menoleh. "Aku lagi mikirin tiket ini."
Ayah mengangguk pelan. "Kamu masih ragu buat berangkat?"
"Iya. Rasanya berat ninggalin semuanya, apalagi setelah Freano nggak ada."
Ayah terdiam sejenak. "Ayah tahu. Kehilangan Freano bukan hal yang mudah untuk kita semua. Tapi kamu harus tetap melangkah, Zee. Hidup kamu masih panjang."
Alzee menunduk, menatap tiket pesawat itu dengan pandangan kosong. "Tapi aku merasa semua ini salahku, Yah. Aku selalu bikin dia merasa nggak cukup baik. Aku terlalu keras sama dia."
Ayah menarik napas panjang, matanya penuh penyesalan. "Ayah juga salah, Zee. Ayah selalu membandingkan kalian, padahal itu nggak adil. Ayah cuma ingin kalian jadi yang terbaik, tapi Ayah lupa kalau caranya bisa melukai."
"Kalau waktu bisa diulang, apa yang Ayah akan lakukan?" tanya Alzee dengan suara bergetar.
Ayah menunduk, suaranya pelan. "Ayah akan bilang kalau Ayah bangga sama Freano, meskipun dia nggak sempurna. Ayah akan memeluk dia lebih sering... dan mungkin, dia masih di sini bersama kita."
Mendengar itu, Alzee tak bisa lagi menahan air matanya. Ia memeluk ayahnya erat, menyatukan kesedihan mereka yang selama ini hanya dipendam masing-masing.
---
Di Bengkel: Flashback Freano dan Aldo
Beberapa hari sebelum kecelakaan, Freano dan Aldo nongkrong di bengkel kecil tempat mereka biasa kumpul.
"Fre, kenapa lo diem aja dari tadi?" tanya Aldo sambil membetulkan rantai motornya.
Freano menyandarkan tubuhnya ke dinding bengkel, menghela napas panjang. "Gue lagi mikir, Do. Capek aja."
"Capek kenapa? Biasanya lo nggak pernah gini," Aldo menatapnya dengan heran.
"Capek jadi orang yang selalu salah di mata semua orang," jawab Freano. Suaranya datar, tapi penuh beban.
Aldo meletakkan alat yang ia pegang, serius menatap Freano. "Fre, lo itu temen yang hebat. Kalau ada yang bikin lo ngerasa nggak cukup, itu bukan salah lo."
Freano tersenyum tipis, tapi matanya tetap kosong. "Kadang gue mikir, gue nggak bakal pernah cukup buat mereka, Do. Gue cuma anak kedua yang nggak pernah dianggap serius."
Aldo ingin membalas, tapi kata-kata Freano membuatnya terdiam. Saat itu, ia nggak tahu bagaimana cara bikin sahabatnya merasa lebih baik.
---
Di Pusara Freano
Aldo, Daniel, dan Olla berdiri di depan makam Freano. Mereka membawa bunga dan meletakkannya di atas pusara.
Aldo memecah keheningan. "Fre, gue janji, gue bakal jadi orang yang lebih baik. Gue nggak bakal bikin hidup gue sia-sia lagi."
Daniel menambahkan, "Kita semua janji, Fre. Kita bakal terus maju, meski lo udah nggak di sini."
Olla menyeka air matanya. "Kita semua sayang lo, Fre. Dan kita nggak akan pernah lupa sama lo."
Mereka bertiga berdiri diam, membiarkan angin membawa doa-doa mereka untuk Freano. Meskipun kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam, mereka berjanji untuk hidup dengan cara yang akan membuat Freano bangga.
---
berakhir dengan rasa kehilangan yang melingkupi semua orang, tetapi juga ada harapan baru untuk memperbaiki hidup mereka masing-masing.
****
Next chapter selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYESALAN
AventuraFreano berjalan ke kamarnya, membanting pintu.di dalam, ia Dudu dilantai, memeluk lututnya. ia tahu apa yang dibilang kakaknya benar, tetapi ia terlalu lelah untuk mencoba lagi. Freano yang semakin terjebak dalam perasaan frustasi dan kekosongan, se...