Jejak yang Masih Tertinggal

17 3 0
                                    


---

Di Rumah Keluarga Jayawardana: Luka yang Kembali Terasa

Hari itu, Christy akhirnya menyelesaikan lukisannya untuk kompetisi seni di sekolah. Ia dengan hati-hati membawa kanvas itu ke ruang tengah, menunjukkan karyanya pada Alzee dan Ibu Chika.

"Mama, Kakak, ini hasil akhirnya. Gimana menurut kalian?" tanya Christy dengan senyum penuh harap.

Lukisan itu menampilkan sosok Freano sedang mengendarai motor, dengan latar belakang langit senja. Di sampingnya, ada siluet keluarga mereka, menggambarkan kebersamaan yang sempat mereka rasakan.

"Christy... ini luar biasa," kata Alzee dengan nada kagum. "kamu berhasil nangkep esensinya. Ini Freano banget."

Ibu Chika mengangguk sambil menahan air mata. "Mama nggak pernah nyangka kamu bisa bikin sesuatu seindah ini, Nak. Kak Freano pasti bangga sama kamu."

Christy tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ia merasa perasaan bangga itu bercampur dengan kesedihan yang dalam.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat Ayah Aransyah pulang kerja, ia memandangi lukisan itu dengan wajah datar.

"Bagus, Christy. Tapi kenapa harus Freano lagi? Kenapa nggak sesuatu yang lain?" katanya dengan nada dingin.

Ruangan itu langsung dipenuhi keheningan yang canggung. Christy menunduk, wajahnya terlihat terluka.

"Mungkin karena dia masih rindu, Pa," jawab Alzee akhirnya, mencoba membela adiknya.

"Tapi sampai kapan kita terus-terusan hidup di masa lalu? Freano sudah nggak ada, dan kita harus lanjut," kata Ayah Aransyah sambil berlalu masuk ke kamarnya.

Christy meninggalkan ruang tengah dengan air mata mengalir di pipinya. Ibu Chika hanya bisa memandang suaminya dengan kecewa, sementara Alzee mengepalkan tangannya.

---

Di Kampus: Teman Lama, Luka Baru

Hari berikutnya, Alzee memutuskan untuk mengunjungi komunitas seni motor yang sedang dibentuk Aldo dan yang lain. Namun, saat tiba di lokasi, suasana di sana tampak tegang.

Marsya berdiri di sudut, terlibat diskusi serius dengan Aldo. Di sisi lain, Daniel dan Olla terlihat seperti habis bertengkar.

"Ada apa lagi sekarang?" tanya Alzee sambil menghampiri Marsya.

Marsya menghela napas panjang. "Aldo mau bikin acara peringatan buat Freano lagi, tapi Daniel sama Olla ngerasa itu cuma ngebuka luka lama."

Alzee menatap mereka satu per satu. "Bukannya acara ini justru buat bikin kita lebih dekat?"

"Gue ngerti maksud Aldo," kata Daniel akhirnya. "Tapi nggak semua orang mau terus diingatkan soal kehilangan. Gue pribadi, gue udah capek merasa bersalah sama Freano."

"Lo nggak sendirian, Dan," kata Alzee pelan. "Kita semua punya rasa bersalah. Tapi bukannya lebih baik kita ubah itu jadi sesuatu yang berarti?"

Semua orang terdiam. Aldo akhirnya memecahkan keheningan. "Gue cuma pengen karya kita ini jadi sesuatu yang Freano bakal bangga lihat."

Marsya menambahkan, "Kalau kita ngerasa capek atau bersalah, mungkin itu justru alasan kenapa kita harus lanjut. Biar semua yang kita rasain nggak sia-sia."

Diskusi itu akhirnya mereda, meskipun bayangan konflik masih terlihat jelas di wajah mereka.

---

Di Sekolah Christy: Titik Balik

Di sekolah, Christy mulai meragukan keputusannya untuk mengikuti kompetisi. Setelah kejadian dengan Ayahnya, ia merasa apa yang ia lakukan mungkin tidak ada artinya.

Saat jam istirahat, ia duduk di taman sekolah bersama sahabatnya, Lana.

"Kenapa lo keliatan sedih banget?" tanya Lana.

"Gue cuma mikir, mungkin apa yang gue lakuin ini nggak berarti," jawab Christy pelan.

Lana memandangnya dengan serius. "Lo ngomong kayak gitu karena satu orang nggak suka? Christy, karya lo itu punya arti. Kalau lo yakin itu buat Kak Freano, kenapa harus peduli sama pendapat lain?"

Christy terdiam, memikirkan kata-kata sahabatnya. Mungkin benar, ini semua bukan tentang apa yang orang lain pikirkan, tapi tentang apa yang aku rasakan untuk Kak Freano.

---

Di Rumah: Konfrontasi yang Tak Terhindarkan

Malam harinya, Alzee akhirnya memutuskan untuk berbicara langsung dengan Ayahnya. Setelah Christy dan Ibu Chika pergi tidur, ia mengetuk pintu kamar Ayah Aransyah.

"Papa sibuk?" tanya Alzee saat masuk.

Ayah Aransyah hanya menggeleng. "Ada apa, Zee?"

"zee mau ngomong soal tadi siang. Kenapa Papa bilang Christy nggak boleh terus inget Kak Freano?"

Ayah Aransyah menghela napas panjang. "Papa nggak bilang dia nggak boleh inget. Tapi terus-terusan hidup di bayang-bayang masa lalu nggak baik buat dia."

"Papa pikir kita bisa lupa begitu aja?" balas Alzee dengan nada tegas. "Freano itu bagian dari kita. Zee ngerti, kehilangan dia itu berat buat semuanya, termasuk Papa. Tapi Christy cuma pengen nunjukin rasa sayangnya lewat lukisan itu."

"Papa cuma nggak mau kalian terjebak di situ, Zee. Karena setiap kali kita ingat dia, Papa merasa gagal. Papa merasa nggak cukup baik untuk menjaga dia."

Kata-kata itu mengejutkan Alzee. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik sikap dingin Ayahnya, ada rasa bersalah yang begitu besar.

"Pa," kata Alzee pelan, "kita semua punya rasa bersalah. Tapi itu bukan berarti kita harus ngelupain dia. Kita justru harus bikin apa yang dia tinggalkan jadi sesuatu yang baik."

Ayah Aransyah hanya menatap putranya, matanya mulai berkaca-kaca. "Mungkin kamu benar. Papa cuma belum siap menghadapi semuanya."

Alzee mengangguk. "Kita hadapi bareng-bareng, Pa. Karena kita keluarga."

---

rasa bersalah dan konflik batin keluarga Jayawardana, terutama Ayah Aransyah yang selama ini memendam emosinya. Di tengah konflik yang terjadi, ada tanda-tanda rekonsiliasi yang mulai muncul, meskipun perjalanan menuju penyembuhan masih panjang. Christy, Alzee, dan keluarga mereka belajar bahwa mengenang Freano bukan tentang menghidupkan kembali rasa sakit, melainkan tentang merayakan kehidupan yang ia tinggalkan.





******
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang