Jalan yang Dipilih

61 13 0
                                    

Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Freano, langsung menyentuh wajahnya yang lelah. Matanya perlahan terbuka, hanya untuk melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 07.15. Ia terlambat lagi.

"Bodo amat," gumamnya sambil menarik selimut menutupi wajah.

Namun, suara ketukan keras di pintu membuatnya memutar mata dengan kesal.

"Freano, bangun! Ayah mau ngomong sama lo sebelum dia ke kantor!" suara Alzee terdengar tegas dari balik pintu.

"Ngapain sih, ribut banget pagi-pagi?" Freano membalas malas, tetapi suara langkah Alzee yang menjauh menunjukkan kakaknya tidak peduli dengan protesnya.

Setelah beberapa menit, Freano akhirnya menyeret dirinya dari tempat tidur. Ia menarik kaos kusut dari kursi dan mengenakan celana jeans yang tergulung di lantai. Tanpa berpikir panjang, ia keluar kamar menuju ruang makan, wajahnya masih menunjukkan ketidaksenangan.

---

Di ruang makan, suasana tidak berbeda dari biasanya. Ayah Aransyah duduk dengan koran di tangannya, sementara kopi panas mengepul di atas meja. Ibu Chika sibuk di dapur, memastikan bekal untuk Christy selesai tepat waktu. Suasana hangat itu tampak normal bagi siapa saja, kecuali bagi Freano.

"Duduk," ujar Ayah dengan nada dingin begitu melihat Freano muncul.

Freano duduk dengan kasar, menopang dagunya dengan tangan. "Apa lagi, sih?"

Ayah menurunkan korannya perlahan. Tatapannya tajam. "Saya dengar dari gurumu, nilai akademik kamu makin hancur. Kamu pikir ini lelucon?"

Freano mendengus. "Lelucon, ya? Gue cuma gak peduli."

"Kamu memang gak pernah peduli!" suara Ayah mulai meninggi. "Saya sudah berusaha sabar, tapi ini keterlaluan. Mau sampai kapan kamu hidup tanpa tujuan? Apa kamu pikir masa depan bisa dibeli dengan gaya hidup malas kayak gini?"

Freano menatap Ayahnya tanpa ekspresi, meskipun di dalam dirinya ada kemarahan yang mulai membara. "Masa depan? Lo peduli sama masa depan gue, atau lo cuma peduli supaya gue gak bikin malu keluarga ini?"

"Jangan kurang ajar, Freano!" bentak Ayah. "Mulai minggu depan, kamu ikut les matematika dan fisika dengan Alzee."

Freano langsung berdiri. "Gue gak butuh les, gue gak butuh lo atur hidup gue!"

Ibu Chika yang sejak tadi diam langsung berusaha menengahi. "Freano, tolong bicara yang sopan. Ayahmu hanya ingin yang terbaik buat kamu."

"Yang terbaik buat gue?" Freano tertawa pahit. "Atau cuma yang bikin lo semua puas? Apa pun yang gue lakuin gak pernah cukup!"

Tanpa berkata lebih banyak, Freano berjalan ke pintu depan. Christy yang sedang duduk di meja kecilnya menatap kakaknya dengan tatapan khawatir, tetapi Freano tidak peduli. Ia keluar dari rumah, membanting pintu keras-keras.

---

Di sekolah, Freano duduk di bangku paling belakang. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, menendang-nendang kaki meja dengan gelisah. Guru sedang menjelaskan sesuatu di papan tulis, tetapi pikirannya melayang jauh.

"Lo kenapa lagi, Fre?" Olla, teman sebangkunya, menoleh dengan penasaran.

"Biasa," jawab Freano singkat tanpa menoleh.

"Masalah rumah?"

Freano tidak menjawab. Ia hanya mendengus pelan. Olla mengerti bahwa itu artinya dia tidak ingin bicara lebih banyak, jadi ia kembali memusatkan perhatian ke guru di depan kelas.

Bel istirahat berbunyi, dan Freano langsung meninggalkan kelas tanpa menunggu siapa pun. Ia berjalan menuju lapangan olahraga, tempat yang selalu jadi pelariannya. Di bawah pohon besar di sudut lapangan, ia melihat Indah sedang membaca buku.

"Hai," sapa Freano sambil berjalan mendekat.

Indah mendongak, tersenyum tipis. "Hai. Tumben ke sini? Biasanya lo nongkrong di kantin sama anak-anak."

"Gue lagi gak mood ketemu orang banyak," jawab Freano sambil duduk di dekatnya.

Indah menutup bukunya perlahan. "Lo kenapa? Ada masalah lagi di rumah?"

Freano menarik napas panjang sebelum menjawab. "Biasa. Bokap gue nyalahin gue lagi. Gak ada yang baru."

Indah memiringkan kepalanya sedikit, menatap Freano dengan perhatian. "Mungkin lo cuma perlu waktu buat nunjukin apa yang lo bisa."

Freano menatap Indah sejenak. Kata-katanya menenangkan, tapi tetap saja tidak mengubah rasa kecewanya. "Kadang gue ngerasa, apa pun yang gue lakuin gak bakal cukup. Kayaknya mereka gak bakal ngerti gue, Ndah."

Indah tersenyum lembut. "Jangan terlalu keras sama diri lo sendiri, Fre. Lo itu bisa jadi apa pun yang lo mau, asal lo percaya sama diri lo."

Freano hanya tersenyum kecil, meskipun di dalam dirinya masih ada keraguan besar.

---

Sore harinya, Freano kembali ke tempat nongkrong. Aldo dan yang lainnya sudah berkumpul di sana, bercanda sambil menyeruput kopi instan dari warung terdekat.

"Eh, lo udah denger?" Aldo membuka percakapan. "Sabtu malam ada balapan gede di kota sebelah."

"Seriusan?" tanya Lukman sambil bersandar di motor. "Gue dengar hadiah utamanya gede banget, kan?"

"Gede banget, Bro. Tapi rutenya gila. Jalanan sempit, banyak tikungan tajam," kata Aldo dengan nada antusias.

Freano yang duduk di tepi trotoar hanya mendengarkan tanpa banyak bicara.

"Lo mau ikut, Fre?" tanya Aldo sambil meliriknya.

Freano menggeleng pelan. "Gue gak tahu. Bokap gue bakal ngamuk kalau gue keluar malam."

"Ah, bokap lo selalu drama," kata Rasya sambil tertawa kecil. "Lo udah gede, Bro. Lo yang harus ambil keputusan sendiri."

Freano tidak langsung menjawab. Dalam hatinya, ia tahu balapan itu berbahaya, tetapi sensasi yang ia rasakan saat memacu motor selalu membuatnya merasa hidup.

"Gue pikir-pikir dulu," jawab Freano akhirnya.

"Pikir-pikir apa lagi? Lo pasti ikut!" Aldo menyeringai. "Gue tahu lo, Bro. Lo gak pernah nolak tantangan kayak gini."

---

Malam itu, Freano duduk sendirian di kamarnya. Ia memikirkan ucapan Ayahnya, nasihat Indah, dan ajakan teman-temannya. Di satu sisi, ia ingin membuktikan dirinya kepada keluarganya. Tetapi di sisi lain, hanya dengan balapan ia merasa bisa jadi dirinya sendiri.

Ia mengambil helmnya yang tergantung di dinding, menatapnya lama. Keputusan mulai terbentuk di pikirannya.

"Mungkin ini satu-satunya cara gue bisa ngebuktiin siapa gue sebenarnya," gumamnya pelan.

Namun, Freano tidak menyadari bahwa keputusan itu akan membawa konsekuensi yang lebih besar daripada yang ia bayangkan.

---

semakin jelasnya konflik internal Freano. Ia terjebak di antara tuntutan keluarganya, harapan teman-temannya, dan keinginannya untuk membuktikan dirinya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Kita lihat nanti.




****
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang