Malam itu menjadi saksi bagaimana satu keputusan membawa kehancuran. Dentuman keras yang diikuti jeritan dan suara motor yang ringsek menghantam jalanan menciptakan keheningan yang mencekam di tengah keramaian balapan liar. Sorak-sorai penonton berganti menjadi kepanikan, sebagian dari mereka bahkan memilih kabur sebelum polisi tiba.
Aldo adalah yang pertama berlari ke tempat kejadian. Begitu melihat tubuh Freano tergeletak di jalan, darah mengalir deras dari kepalanya, Aldo merasa dunia seperti berhenti berputar.
"Freano! Freano! Bangun, Bro!" teriak Aldo, mengguncang tubuh sahabatnya yang terhimpit motor.
Rasya menyusul tak lama kemudian, wajahnya pucat pasi. Ia berlutut di samping Aldo, mencoba membantu mengangkat motor yang menimpa tubuh Freano. "Aldo... dia-dia banyak banget keluar darah..."
Olla datang terakhir, dan begitu melihat Freano, tubuhnya gemetar hebat. Ia menutup mulutnya, mencoba menahan tangis. "Ya Tuhan, gue udah bilang lo jangan ikut..." gumamnya di antara isak tangis.
Freano membuka matanya perlahan, bibirnya bergerak lemah. "Aldo... gue... maaf... gue nggak bisa... gue nggak kuat, Bro..."
"Enggak! Lo bakal baik-baik aja! Gue nggak bakal biarin lo mati di sini!" Aldo memeluk tubuh Freano, berusaha menahannya tetap sadar.
---
Di rumah Jayawardana
Suasana rumah tampak tenang malam itu. Ayah Aransyah sedang membaca koran di ruang kerjanya, sementara Ibu Chika menemani Christy yang baru selesai menggambar. Alzee sedang di kamarnya, mengerjakan dokumen persiapan keberangkatannya ke Jerman.
Namun, ketenangan itu hancur ketika telepon rumah berdering keras. Ibu Chika mengangkat telepon dengan santai, tetapi begitu mendengar kabar di seberang, tubuhnya melemas.
"Halo, ini rumah keluarga Jayawardana. Ada apa?" tanyanya.
"Bu Chika, anak Anda, Freano, terlibat kecelakaan saat balapan liar. Kondisinya sangat kritis. Kami butuh Anda segera ke rumah sakit."
Telepon terlepas dari tangan Ibu, dan suaranya bergetar. "Kecelakaan... Freano..."
Ayah Aransyah langsung mendekat. "Kecelakaan? Apa maksudmu?" tanyanya tajam.
"Freano... Dia... dia di rumah sakit..." Ibu Chika mulai menangis, tangannya gemetar.
Alzee, yang mendengar suara gaduh dari kamarnya, buru-buru turun. "Ada apa, Bu? Freano kenapa?"
"Freano... kecelakaan, Nak..."
Tanpa banyak bicara, Ayah, Ibu, dan Alzee segera bergegas ke rumah sakit, meninggalkan Christy bersama tetangga yang mereka percayai.
---
Di rumah sakit
Lorong ruang gawat darurat dipenuhi suasana tegang. Aldo berdiri di sudut dengan wajah penuh penyesalan, sementara Olla terduduk di lantai, menangis tanpa henti. Rasya mencoba menenangkan Olla, meskipun dirinya sendiri tidak bisa berhenti gemetar.
Ketika keluarga Jayawardana tiba, Ibu Chika langsung mendekati Aldo. "Mana Freano? Mana anak saya?" tanyanya dengan nada putus asa.
Aldo menunduk, tidak mampu menjawab. Air mata mulai mengalir di wajahnya.
"Bu, Freano masih di dalam," kata Rasya akhirnya, suaranya parau.
Ayah Aransyah menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat. "Dok, bagaimana anak saya? Apa dia baik-baik saja?"
Dokter menghela napas panjang, ekspresinya berat. "Kami sudah melakukan yang terbaik, tetapi luka-lukanya terlalu parah. Dia mengalami cedera kepala berat dan pendarahan hebat. Maaf... anak Anda tidak bisa diselamatkan."
Kata-kata itu seperti petir yang menghantam semua orang.
"Tidak! Tidak mungkin!" jerit Ibu Chika, terjatuh ke lantai. "Anak saya... anak saya masih hidup! Dia pasti masih hidup!"
Ayah Aransyah hanya berdiri terpaku, mencoba mencerna kenyataan pahit itu. Tangannya mengepal, matanya kosong.
"Dokter, tolong... lakukan sesuatu," pinta Ibu Chika dengan suara bergetar, menggenggam tangan sang dokter. "Dia anak saya... dia masih terlalu muda..."
"Maafkan saya, Bu," jawab dokter pelan. "Dia sudah pergi."
---
Di kamar jenazah
Keluarga Jayawardana berdiri di depan tubuh Freano yang terbujur kaku. Wajahnya yang biasanya penuh kehidupan kini pucat dan dingin. Ibu Chika tidak mampu menahan tangisnya, tangannya terus mengelus rambut anaknya.
"Freano... maafkan Ibu... Ibu nggak pernah benar-benar ngerti kamu..." ucapnya di sela isak tangis.
Ayah Aransyah, yang biasanya tegas dan berwibawa, kini hanya berdiri diam. "Gue terlalu keras sama dia... gue cuma mau dia sukses..." gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Alzee menatap adiknya yang terbujur di depannya. Air matanya jatuh, meskipun ia mencoba menahannya. "Fre, lo tahu gue selalu iri sama lo, kan?" katanya lirih. "Gue pikir lo lebih bebas dari gue. Tapi gue salah... gue yang bikin lo ngerasa nggak berarti. Maafin gue, Fre..."
---
Di pemakaman
Hari pemakaman Freano penuh dengan isak tangis dan rasa penyesalan. Teman-temannya, seperti Aldo, Olla, dan Rasya, berdiri di samping pusara dengan wajah penuh duka.
Indah, yang baru tiba di pemakaman, berjalan pelan mendekati makam Freano. Air matanya mengalir tanpa henti. "Freano... gue harusnya bilang dari dulu kalau gue suka sama lo... Gue bodoh karena nggak pernah ngasih lo tahu..." ucapnya dengan suara gemetar.
Marsya, yang juga hadir, berdiri di kejauhan, matanya merah. Dalam hatinya, ia merasa bersalah karena selama ini lebih sering bertengkar dengan Freano daripada mendukungnya.
Sementara itu, Ibu Chika menangis di pelukan suaminya. "Kita kehilangan dia, Aran... kita kehilangan dia..."
"Kita salah, Chika," jawab Ayah dengan suara bergetar. "Kita terlalu sibuk menuntut dia jadi seperti Alzee. Kita nggak pernah benar-benar peduli apa yang dia inginkan."
Christy berdiri memegang tangan ibunya. Wajah polosnya menatap nisan kakaknya. "Kak Freano tidur lama banget, ya, Bu?" tanyanya dengan suara kecil.
Tidak ada yang mampu menjawab. Penyesalan kini menjadi teman setia bagi keluarga Jayawardana dan orang-orang yang mengenal Freano.
---
suasana duka mendalam. Kehilangan Freano menjadi pukulan besar yang tidak hanya menghancurkan keluarganya tetapi juga memberikan pelajaran pahit tentang pentingnya memahami dan mendukung orang yang kita cintai sebelum terlambat.
*****
Next chapter selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYESALAN
AventuraFreano berjalan ke kamarnya, membanting pintu.di dalam, ia Dudu dilantai, memeluk lututnya. ia tahu apa yang dibilang kakaknya benar, tetapi ia terlalu lelah untuk mencoba lagi. Freano yang semakin terjebak dalam perasaan frustasi dan kekosongan, se...