Persimpangan Jalan

52 11 0
                                    

Malam itu, Freano duduk di tangga depan rumahnya, ditemani udara dingin dan cahaya rembulan yang samar. Helm tua yang biasa ia pakai untuk balapan tergeletak di sebelahnya, mengingatkannya pada kebebasan yang selalu ia cari. Rumah sudah sunyi. Ayah dan Ibu sudah di kamar mereka, sementara suara kecil Christy terdengar dari lantai atas, mungkin sedang berbicara dengan bonekanya.

Freano menyalakan rokok, menghisapnya pelan. Ia memandang jauh ke depan, menatap kosong ke jalanan yang gelap. Dalam pikirannya, semua kejadian beberapa hari terakhir berputar seperti film. Kata-kata Ayah, ucapan peduli dari Indah, dan ajakan Aldo untuk balapan semuanya bercampur menjadi satu.

"Fre, lo mau sampai kapan kayak gini?" gumamnya pada dirinya sendiri, tapi seperti biasa, tidak ada jawaban.

---

Sabtu pagi

Freano duduk di meja makan, mengaduk kopinya dengan malas. Di hadapannya, Alzee sedang berbincang dengan Ayah tentang program pertukaran pelajar ke Jerman yang akan segera ia ikuti.

"Kalau semua berjalan lancar, bulan depan gue udah di Jerman," ujar Alzee dengan nada bangga.

Ayah mengangguk sambil tersenyum puas. "Kamu memang selalu bikin kami bangga, Zee. Saya yakin kamu bisa beradaptasi dengan baik di sana."

Freano melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangan. "Selalu Alzee," pikirnya sinis. Ia mengaduk kopinya lebih cepat, mencoba mengabaikan rasa panas di dadanya.

"Freano," suara Ayah tiba-tiba terdengar, membuat Freano mendongak.

"Hah?"

"Ayah nanya, kamu sudah putuskan mau ikut les tambahan atau belum?"

Freano menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Ayah dengan malas. "Nggak tahu. Lihat nanti aja."

"Freano," suara Ayah berubah tajam, "hidup itu bukan soal 'lihat nanti'. Kamu harus punya rencana. Kalau terus begini, kamu pikir bisa jadi apa?"

Freano mendengus pelan. "Rencana gue sederhana. Gue cuma mau lo semua berhenti ngatur hidup gue."

"Freano!" suara Ayah meninggi.

Ibu Chika yang sedari tadi diam mencoba menenangkan. "Freano, jangan bicara seperti itu ke Ayahmu. Ayah hanya ingin yang terbaik buat kamu."

"Yang terbaik?" Freano berdiri dari kursinya dengan kasar. "Yang terbaik menurut lo semua itu cuma yang bikin keluarga ini keliatan sempurna di mata orang lain, kan? Apa gue pernah ditanya gue maunya apa?"

Ayah membanting cangkir kopinya ke meja, wajahnya memerah. "Kalau kamu terus-terusan begini, kamu nggak akan jadi siapa-siapa, Freano! Hidup ini nggak cuma soal kebebasan yang kamu pikirkan!"

"Ya udah, gue jadi orang yang gak berguna aja, biar puas!" bentak Freano sebelum berjalan cepat ke luar rumah, membanting pintu di belakangnya.

Christy yang sedang bermain dengan bonekanya di ruang tamu hanya menatapnya dengan bingung.

"Kak Freano kenapa?" tanyanya polos kepada Ibu.

Ibu Chika menghela napas panjang, menepuk kepala Christy. "Kakakmu cuma lagi banyak pikiran, sayang."

---

Siang itu, Freano bertemu Aldo, Rasya, dan teman-temannya di tempat biasa, sebuah lahan kosong dekat pinggir kota yang sering mereka gunakan untuk nongkrong.

"Fre," Aldo memulai, "jadi lo fix ikutan balapan malam ini?"

Freano mengangguk sambil memainkan botol soda di tangannya. "Gue ikut."

"Gue udah tahu lo nggak bakal nolak," Aldo menyeringai sambil menyulut rokoknya.

"Ini bakal jadi gila," Rasya menambahkan. "Rutenya sempit banget, tapi itu yang bikin balapan ini seru."

Freano mendengarkan mereka sambil memandang jauh ke arah jalan. Ragu-ragu menyelinap dalam hatinya, tetapi ia tidak menunjukkannya.

"Fre," suara lembut Olla membuatnya menoleh.

"Hah?"

"Lo yakin mau ikut? Ini nggak kayak balapan biasa. Banyak tikungan tajam, dan lo tahu sendiri risiko kalau ada yang salah."

Freano tersenyum tipis, meskipun senyum itu tidak benar-benar meyakinkan. "Gue udah sering balapan, Oll. Ini nggak jauh beda."

"Tapi gue tahu lo," Olla membalas, nadanya penuh kekhawatiran. "Lo lagi nggak fokus. Balapan ini bisa ngerusak lo kalau lo nggak siap."

Freano diam sejenak. Ucapan Olla menusuk langsung ke pikirannya. Tapi alih-alih mengakuinya, ia hanya menjawab singkat, "Gue tahu apa yang gue lakuin."

---

Malam harinya, Freano berdiri di depan motornya di lokasi balapan. Jalanan sempit dan gelap itu dipenuhi suara bising dari mesin motor dan sorakan penonton. Di sekelilingnya, teman-temannya sudah bersiap di atas motor mereka, wajah mereka penuh antusiasme.

"Fre," Aldo memanggil sambil menghampirinya. "Lo pasti menang malam ini, Bro. Gue yakin."

Freano hanya mengangguk.

"Freano," suara lain membuatnya menoleh.

Ia melihat Olla berdiri tidak jauh darinya, wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran yang sama.

"Lo yakin ini jalan yang lo pilih?" tanya Olla pelan, hampir tidak terdengar di tengah keramaian.

Freano mengangguk pelan. "Ini cuma balapan. Gue bisa handle, Oll."

"Lo nggak harus buktiin apa-apa ke siapa pun, Fre," lanjut Olla, mencoba meyakinkan. "Lo nggak harus ngejalanin ini cuma buat nunjukin lo bisa."

Freano terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Tapi gue harus buktiin ini buat diri gue sendiri."

Olla tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menatap Freano dengan mata yang penuh kecemasan sebelum akhirnya berbalik dan berjalan pergi.

---

Saat peluit tanda balapan berbunyi, Freano memacu motornya dengan kecepatan penuh. Angin malam menerpa wajahnya, suara sorakan terdengar sayup-sayup di belakangnya. Untuk beberapa saat, ia merasa bebas.

Namun, ketika memasuki tikungan terakhir, sebuah cahaya terang tiba-tiba menyilaukan matanya. Sebuah truk melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi.

"Fre! Rem!" suara seseorang berteriak dari belakang.

Freano mencoba menghindar, tetapi semuanya terjadi terlalu cepat. Dentuman keras menggema di udara, diikuti suara jeritan dan kebisingan yang mendadak berhenti.

---

ketegangan yang menggantung. Balapan yang dianggap sebagai pelarian oleh Freano kini menjadi awal dari tragedi yang tidak dapat dihindari. Apa yang akan terjadi selanjutnya akan mengubah hidup orang-orang di sekitarnya?.

****
Next chapter selanjutnya

PENYESALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang