Marven tiba di UKS dengan tubuh yang lelah dan terluka. Ia duduk di kursi yang telah disediakan, wajahnya terlihat pucat, namun senyum kecil tak bisa ia sembunyikan. Beberapa anak PMR langsung sigap mendekatinya dan mulai menangani luka-lukanya, membersihkan dan membalutnya dengan hati-hati.
Marven mencoba tetap tenang, meski tubuhnya terasa begitu nyeri. Jay tidak tinggal diam. Ia ikut membantu, membersihkan luka di sekitar mulut Marven, dengan tangan yang lembut namun penuh perhatian.
Marven menatap wajah Jay tanpa henti, menikmati setiap detik kebersamaan ini.
"Cantik... cantik... dan cantik," kata Marven dalam hati. Kata-kata itu seolah jadi definisi sempurna untuk Jay, yang kini sedang merawatnya. Jantung Marven berdegup tak teratur, entah karena rasa sakit atau perasaan yang lebih dalam terhadap Jay.
Melihat tatapan Marven yang penuh kekaguman, Jay memutuskan untuk mengingatkan.
"Eh, jangan lihatin terus gitu dong," ujarnya dengan nada ringan, meski dalam hatinya sedikit canggung.
Marven hanya tertawa kecil, senyumnya tetap menghiasi wajahnya. Teman-temannya yang berada di dekat situ, Arlan, Kelana, dan Javian, saling melirik dan terkekeh. Mereka baru kali ini melihat Marven begitu bahagia dengan Jay, rasanya seperti ada sisi baru yang mereka lihat dari Marven.
Arlan yang kangen dengan pacarnya yang sedang berada di Amerika juga ikut tersenyum simpul, merasa sedikit iri namun juga senang melihat kebahagiaan sahabatnya.
Sesekali, mereka menggoda Marven, membuatnya sedikit kesal.
"Bubub Arlan, Pipi aku juga sakit nih. Abis di tampar harapan." Ujar Kelana, dengan ekspresi mengejek. Ia bergelayut manja di lengan Arlan, seolah memperagakan gaya berpacaran Marven. Padahal ngga gitu.
Sintingnya, Arlan pun ngeladenin aja. "Aduh, Bubub. Sini aku kecup manja. Mau kering atau basah kecupan nya?" Tanya Arlan.
Kelana berpikir sejenak, Lalu menjawab. "Basah aja, Bub. Jangan pedes pedes, karetnya dua, ya!" Javian terkekeh, geli.
"Lo mau parodi orang pacaran apa mau jualan nasgor, Anjir?!" Arlan memukul lengan Kelana. Menghasilkan ringisan dan protesan dari si Empu.
Namun, Marven dengan ekspresi serius melayangkan tatapan melotot, menuntut mereka diam.
Jay yang melihat itu malah mencubit pelan tangan Marven. "Bisa-bisanya lagi sakit juga tetep galak," ujarnya dengan senyum nakal.
Marven yang merasa geli, segera mengubah ekspresinya saat berbicara dengan Jay. Wajahnya yang penuh kehangatan menunjukkan bahwa ia memang benar-benar bucin habis.
Setelah luka-luka Marven dibersihkan dan dibalut, Jay tetap menemani Marven hingga bel kedua berbunyi. Teman teman Marven udah ke kelas duluan. Sedangkan Jay masih berada disana. Marven menolak untuk ditinggalkan oleh Jay.
"Jangan pergi, Jay... temeni aku," katanya dengan wajah memelas. Jay sempat mencoba membujuknya, namun Marven tetap kukuh.
Ia berpura-pura merasakan sakit di perutnya agar Jay tetap tinggal. Jay, yang percaya, akhirnya mengizinkan dirinya untuk absen dan memilih tetap bersama Marven di UKS.
Di sana, Jay tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kenapa bisa sampe begini, sih? Kok bisa ada yang nyakitin kamu?" tanyanya, masih terkejut.
Marven hanya menghela napas, mencoba untuk tidak terlalu membebani Jay dengan cerita ini. "Lupain aja, Jay," jawab Marven pelan.
"Aku cuma... butuh kamu sekarang."
Marven meminta pelukan dari Jay, dan Jay, meskipun sedikit ragu, dengan lembut memeluk Marven. Rasanya seperti candu, seperti hangat yang menyelimuti tubuh mereka berdua. Entah perasaan atau pikiran Marven, ia merasa begitu nyaman dalam pelukan Jay, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Mereka melanjutkan percakapan, berbicara tentang hal-hal ringan, bahkan merencanakan untuk makan bersama setelah pulang sekolah. Marven, yang meskipun baru saja terluka, tetap mengajak Jay makan.
"Ayo, Jay, kita makan bareng setelah ini," kata Marven dengan semangat.
Namun, Jay menolaknya. "Gimana sih, Marven? Kamu lagi sakit, kok malah ngajak makan. Gila aja," jawab Jay, sambil terkekeh. Marven hanya tertawa kecil, merasa hangat di dalam hatinya. Meski tubuhnya terluka, hatinya merasa aman.
•••
"Bangsat! Kok dia bisa bebas sih?! Ah, Anjing!" Fabian menonjok tembok di hadapan nya. Ia tadi tak sengaja menyaksikan Marven tengah berduaan dengan Jay.
Tentu saja hatinya terasa panas, Lantaran cemburu. Harusnya yang jadian sama Jay itu dia! Secara Fabian lebih dulu suka sama Jay.
"Awas aja Lo, Ven. Gua masih ada rencana lain, yang lebih parah dari ini." Fabian mendudukan dirinya di kursi. Berusaha menenangkan diri yang terbalut emosi.
•••
Setelah bel sekolah berbunyi, Marven dan Jay berjalan keluar dari gerbang sekolah bersama-sama. Marven, yang baru saja pulih dari luka-lukanya, tampak lebih ceria dan energik meski tubuhnya masih sedikit pegal. Dengan senyum lebar, Marven mengajak Jay untuk mampir ke rumahnya.
Marven dengan senyum nakal.
"Jay, mampir dulu yuk ke rumah. Aku pengen kamu tahu rumah calon suami kamu.Jay hanya tertawa kecil, tidak begitu mengira bahwa ajakan Marven itu serius. Namun, ia setuju saja, mengikuti langkah Marven yang sudah lebih dulu berjalan ke arah mobilnya. Mereka berdua tiba di rumah Marven dalam waktu singkat, dan Jay langsung terkejut begitu melihat rumah Marven yang sangat besar dan mewah.
"Rumah kamu... gede banget, Ven."
Marven hanya tersenyum lebar, tampak bangga dengan rumahnya. Begitu mereka masuk, Jay bisa melihat betapa luasnya rumah tersebut, dengan berbagai perabotan yang tampak mahal dan elegan. Pembantu rumah tangga terlihat hilir mudik, menambah kesan mewah dari rumah tersebut.
Jay memandang sekeliling dengan takjub, "Ini... kamu sekaya ini, Ven? Aku nggak nyangka deh."
Marven hanya tertawa ringan, tak peduli dengan komentar Jay. Ia mengajak Jay untuk naik ke kamar pribadinya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah kamar yang terlihat sangat besar dengan furnitur yang serba mewah.
"Ayo, Jay, duduk sini. Tempat ini cuma buat orang spesial."
Dengan lembut, Marven mengisyaratkan Jay untuk duduk di atas pangkuannya. Jay merasa sedikit canggung, tapi akhirnya duduk juga, sementara Marven menariknya lebih dekat.
Marven dengan nada menggoda.
"Jangan malu-malu, Jay. Ini kan cuma kita berdua."Marven lalu memeluk Jay dengan manja, sambil mengecup wajah Jay dengan penuh kasih sayang. Jay yang tadinya masih terkejut, kini hanya bisa diam, sedikit bingung tapi juga merasa hangat dengan perhatian Marven yang begitu intens.
Marven berbisik, lembut.
"Aku cinta banget sama kamu, Jay. Kamu itu cantik banget, nggak ada tandingannya."
Marven terus memuji Jay, kali ini seolah seperti orang yang sedang mabuk cinta. Setiap kata yang keluar dari mulut Marven adalah pujian, bahkan ia tak berhenti memuji betapa cantiknya Jay.
Marven tersenyum nakal, mendekatkan wajahnya ke wajah Jay. "Kamu tahu nggak, Jay? Kamu itu sempurna."
Tanpa memberi kesempatan untuk berkomentar lebih lanjut, Marven dengan lembut mengecup bibir Jay, singkat namun penuh perasaan. Jay, yang tak tahu harus bagaimana, hanya bisa menatap Marven dengan tatapan bingung, namun hatinya merasa campur aduk antara canggung dan senang dengan perlakuan Marven.
"I'm so horny, Right now." Marven berbisik, Suaranya mendadak berat. Jay terkejut. Ia diam membeku. Marven mengubah posisi, yang tadinya Jay ada di atas tubuhnya. Justru kini berada di kungkungan nya.
"Wanna hook up with me?"
Mau atau pun nggak. Tetep Marven gas aja!
To be continued.
![](https://img.wattpad.com/cover/376181697-288-k933173.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Rival. (END)
Fiksi PenggemarNasib Jay yang malang akibat menerima taruhan dari rivalnya sendiri--Marven. Penuh percaya diri, jika dirinya yang akan menang. Namun kenyataannya justru sebaliknya. °°°° Lapak BXB! cr; pinterest, Twitter, Instagram, dll.