Marven terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya terbuka lebar, mencoba memahami di mana dia berada. Semua yang baru saja dialaminya terasa begitu nyata—kecelakaan itu, darah, kematian Jay. Dia memindai sekeliling, dan perlahan menyadari bahwa dia sedang berada di kamar Jay.
"Itu cuma mimpi..." gumamnya pelan, suaranya hampir bergetar. Dia mencoba menenangkan diri, meski rasa takut masih menyelimuti. Napasnya belum sepenuhnya teratur, dan dadanya terasa sesak. Semalam, setelah pertemuan keluarga, ia memutuskan untuk menginap di rumah Jay. Tapi sekarang, mimpi buruk itu menghantui pikirannya.
Langkah kaki terdengar dari luar kamar. Pintu perlahan terbuka, dan Jay muncul dengan wajah penuh kekhawatiran. "Marven?" panggilnya pelan.
"Lo nggak apa-apa?"
Marven masih terduduk di tempat tidur, tangannya gemetar, dan wajahnya pucat. Dia menatap Jay dengan mata berkaca-kaca.
"Jay..." suaranya serak, hampir pecah.
"Gue mimpi buruk. Lo... kecelakaan... gue nggak bisa nyelamatin lo." Napasnya tersengal lagi, dan dia mengusap wajahnya dengan panik. "Rasanya nyata banget... gue takut."
Jay mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menatap Marven dengan lembut. "Marven, dengerin gue." Suaranya tenang, penuh keyakinan. "Itu cuma mimpi. Lo nggak perlu takut, oke? Gue di sini. Itu nggak nyata."
Marven menggelengkan kepala, menunduk, lalu memandang Jay dengan mata yang mulai basah. "Tapi, Jay... gue nggak mau kehilangan lo. Gue nggak tahu apa jadinya gue kalau itu beneran terjadi."
Jay meraih tangan Marven, menggenggamnya erat. "Gue nggak ke mana-mana, Ven. Lo nggak bakal kehilangan gue. Gue janji." Ia tersenyum kecil, mencoba memecah kekhawatiran di wajah Marven. "Lo harus percaya sama gue. Itu cuma mimpi buruk. Nggak ada hubungannya sama kenyataan."
Marven menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Perlahan, rasa paniknya mulai surut, meski hatinya masih terasa berat. "Oke..." katanya akhirnya.
"Gue butuh mandi biar lebih segar."
Jay mengangguk, berdiri, lalu menuju pintu. "Gue tunggu di ruang makan, ya. Mama lagi nyiapin sarapan. Kita makan bareng setelah lo selesai."
Marven mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski samar. "Makasih, Jay. Lo selalu tahu cara bikin gue tenang."
Jay menoleh sekilas, senyum hangatnya menguatkan. "Gue selalu ada buat lo, Ven."
Marven berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Kata-kata Jay terngiang di benaknya, menenangkan rasa takut yang masih menggantung. Setelah mandi, ia merasa lebih segar meski mimpi buruk itu tetap membekas.
Saat sarapan bersama Jay dan ibunya, Anita, dia mulai merasa lebih baik. Suasana hangat dan kehadiran mereka membuatnya sadar bahwa kenyataan jauh lebih baik daripada mimpi buruk yang menghantui tidurnya.
•••
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela ruang makan, memberikan kehangatan yang menenangkan. Aroma kopi yang baru saja diseduh berpadu dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.
Di meja makan, Jay dan Marven duduk berdampingan, sementara Anita sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir kecil. Suasana tenang, hanya diiringi kicauan burung di luar rumah.
Jay menoleh ke Marven, yang masih tampak sedikit canggung setelah mimpi buruknya semalam. "Ven, lo udah lebih tenang sekarang, kan?" tanyanya, sambil menyelipkan sepotong roti ke mulutnya.
Marven mengangguk pelan, menyesap kopinya. "Iya, gue udah mendingan."
Anita, yang duduk di seberang mereka, tersenyum lembut sambil menyendok bubur ke mangkuknya. "Syukurlah kalau sudah tenang, Marven. Mimpi buruk itu biasanya cuma refleksi pikiran kita yang lagi capek."

KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Rival. (END)
Fiksi PenggemarNasib Jay yang malang akibat menerima taruhan dari rivalnya sendiri--Marven. Penuh percaya diri, jika dirinya yang akan menang. Namun kenyataannya justru sebaliknya. °°°° Lapak BXB! cr; pinterest, Twitter, Instagram, dll.