Part 23

558 21 0
                                    

"Gue mau cerita sesuatu ke elo, dan lo harus denger baik-baik."

Gabriel terdiam. Tak sedikitpun ia mengeluarkan sepatah kata. Rio. Ya, cowok itu tiba-tiba ingin berbagi cerita dengannya. Sebenarnya,Kak Rio mau cerita apa sih? Kok perasaan gue nggak enak ya? Jangan-jangan, ada hubungannya lagi dengan Sivia?

"Yel, lo sayang nggak sama Sivia?" Tanya Rio.

Gabriel kaget mendengar pertanyaan Rio. "Eng.. Sayang sebagai sahabat. Ya, sebagai sahabat." Jawabnya.

Terlihat Rio yang sedang menghela nafas berat. Sepertinya ia ragu melanjutkan kalimatnya. Tapi, Gabriel harus tau. Ya, dia harus tau!

"Sivia.. Sivia..."

"Via kenapa Kak?" Desak Gabriel kepo. Benarkan, ada hubungannya dengan Sivia!

"Via.. Dia.. Dia.."

Rio nggak mampu melanjutkannya. Sementara Gabriel kecewa sekaligus penasaran. Akhirnya Rio mendapatkan ide. Tulisan itu! Aha! Untung tulisan Sivia ia bawa. Rio pun memberi tulisan Sivia kepada Gabriel. Gabriel menerimanya dengan tangan bergetar.

Dan...

"Vi.. Via.. Ka.. Kamu.."

Entah perasaan apa yang dirasakan Gabriel saat ini. Tapi ia yakin. Ini tak mungkin. Itu bukan tulisan Sivia. Rasanya, seperti masuk ke dalam mimpi buruk yang tak berujung. Sekali lagi, Gabriel membaca tulisan Sivia dengan cermat. Barangkali ia salah baca. Namun, tulisan itu nggak berubah.

"Selama ini, dia menyembunyikan penyakitnya dari kita. Jujur, gue tidak suka dengan kelakuannya itu. Karena itulah, gue marah-marah seperti ini." Kata Rio.

Gabriel tak mendengar ucapan Rio. Ia pun beralih menatap wajah Rio yang mempunyai banyak kemiripan dengan wajah Sivia. Tulisan Sivia tadi ia remas-remas membentuk sebuah bola yang siap ia lempar kapan saja.

"Dimana sekarang Sivia?" Tanya Gabriel. Nada suaranya berbeda.

Yang ditanya nggak menjawab.

"Dimana Sivia?!" Tanya Gabriel sedikit membentak.

Dan, kalian tau apa jawaban Rio? Mungkin bagi kalian jawaban itu sangat menyakitkan.

"Gue nggak peduli dimana dia sekarang. Apa gunanya gue cari dia? Dia sudah membohongi gue dan tidak menganggap gue sebagai kakaknya." Jawab Rio.

Gabriel mulai emosi. "Lo gimana sih? Via itu adek lo! Adek kandung lo! Walau dia pernah seribu kali membohongi lo, seharusnya lo jangan marah!" Gabriel terdiam sesaat. Ia seperti gunung berapi yang siap mengeluarkan api panas. "Via.. Gue nggak nyangka. Dibalik keceriaannya, dia berusaha sekuat mungkin menahan tangis dan kesakitannya. Gu.. Gue.." Volume suara Gabriel menurun.

"Via.." Lirih Gabriel. Benar. Hari ini memang hari yang sangat aneh. Hari yang aneh. Berbeda dengan hari lainnya. Lantas, dimana ia bisa menemukan Sivia?

Tiba-tiba, terdengar suara rendah dan pelan dari mulut Rio. "Maaf." Hanya itu kata yang bisa diucapkan Rio. Rio sadar. Ia salah besar. Seharusnya, ia tidak marah dan berusaha menyembunhkan penyakit Sivia walau rasanya tidak mungkin.

"Maaf." Ucap Gabriel mengikuti kata yang tadi diucapkan Rio. Ternyata, ia masih belum bisa mengendalikan emosi meski kata orang ia bisa menahan emosi agar tidak kelepasan.

"Kak, dimana kita.."

"Gue tau tempatnya! Danau! Itu adalah tempat kesayangan Sivia dan Febby! Kita harus kesana." Kata Rio.

Danau? Bukannya tadi Febby pergi ke danau? Kuat juga ya ternyata ikatan batin Sivia dengan Febby. Yah, namanya juga sahabat dekat.

Tapi, sebelum Rio dan Gabriel hendak pergi ke danau, terdengar sebuah suara yang memanggilnya. Seakan-akan suara itu ingin memberitahu sebuah hal penting yang jika tidak ia terima, maka ia akan rugi.

We Love You SiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang