Alunan lagu Bruno Mars yang berjudul When I Was Your Man mengalun di kamarnya. Namun, sang pemilik kamar itu nggak konsen dengan lagunya. Pikirannya tertuju pada sebuah keributan. Siapa lagi kalo bukan Mama dan Papa?
Rio menghela nafas panjang. Masalah yang dialaminya semakin bertambah banyak. Kepalanya menjadi pusing memikirkan semua masalah itu.
Selanjutnya, terdengar suara Sivia yang bergetar. Rio merasa kasian dengan adik sematawayangnya itu. Tampaknya Sivia sedang meluapkan amarahnya. Lalu, suara Ayah yang keras mengalahkan teriakan Sivia.
"Jaga mulutmu anak haram!"
Sakit sekali rasanya mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ayahnya sendiri. Ingin sekali Rio menemui Ayah dan langsung menghajarnya.
Ketika pertengkaran mulai reda, Rio mencoba mengecek kamar Sivia. Siapa tau kan adiknya itu menangis dan butuh pelukannya.
"ASTAGA VIAA !!!"
Jantung Rio serasa mau copot melihat keadaan Sivia yang mengenaskan. Darah segar menyirami lantai kamar Sivia. Cepat-cepat Rio membantu Sivia untuk duduk.
"Vi.. Lo kenapa?" Tanya Rio khawatir.
Sivia nggak menjawab. Air matanyalah yang menjawab pertanyaan Rio. Segera Rio mengatar Sivia ke kamar mandi yang udah dibangun di kamar Sivia. Setelah membaik, Rio membaringkan Sivia di kasur.
"Apa yang terjadi dengan lo? Apa Papa memukul lo?" Tanya Rio.
Percuma Rio bertanya panjang lebar kali tinggi(?). Sivia nggak merespon omongan Rio. Ohya, Rio kan belum tau tentang penyakitnya. Bi Nah juga nggak akan membertitahu kepada Rio.
Sepertinya Rio mulai emosi karena omongannya tidak dirsepon oleh Sivia. "Vi, lo kenapa? Jawab! Apa lo nggak anggap gue sebagai kakak lo? Ayo jawab!" Kata Rio sedikit membentak.
Namun, ia salah bertindak. Tangisan Sivia semakin parah. Nafas Sivia tersengal-sengal. Ayo kak, ayo! Bentak gue lagi! Ayo! Biar derita gue lengap.
"Besok kita ke dokter." Kata Rio dingin lalu meninggalkan Sivia.
Belum sempat ia memegang ganggang pintu, Sivia berkata, "Nggak perlu. Gue nggak butuh dokter!" Katanya ketus.
Rio menatap Sivia tajam. "Terserah."
***
Rasa ketidaknyamanan menyelimuti malam ini. Jam dinding hampir menunjukkan pukul sepuluh malam, dan ia belum juga tidur. Cowok bernama Alvin itu merasakan ada hal ganjil. Apa itu? Ia sendiri tidak tau. Tapi entah mengapa hatinya merasa tidak tenang.
"Argh, Vin! Lo kenapa sih? Apa yang lo pikirkan? Sivia? Dia kan udah jadi pacar lo. Jadi, apa yang lo khawatirin?" Kata Alvin.
Jangan-jangan, ada sesuatu lagi yang terjadi dengan Sivia. Alvin segera mengambil ponselnya dan mencari nama 'MyLove Via' di kontaknya.
Tut.. Tut.. Tut...
Telpon diangkat, tetapi disebrang sana tidak ada suara. Kemudian orang disebrang sana memutuskan panggilan. Alvin mengulang lagi. Ia memencet tombol hijau. Namun, operator bilang nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.
"Via.. Lo kenapa?"
***
Kedua matanya belum juga terpejam. Rasa sakit di kepalanya serta paru-parunya yang sedikit sesak membuatnya insomnia. Sivia menangis lirih. Tangisan lembut yang tentunya membuat semua orang yang melihatnya ikut menangis.
"Sa.. Sakit.." Lirih Sivia.
'Gapai sebuah jemariku rangkul aku..'
Ponselnya berdering. Hmm, malam-malam gini ada juga yang menelponnya. Dengan malas, Sivia meraih ponselnya yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Love You Sivia
FanfictionSivia, gadis cantik yang jago main basket ini mempunyai seorang sahabat bernama Gabriel. Tetapi tidak disangkanya persahabatan itu berubah menjadi cinta. Tetapi sosok bernama Alvin tiba-tiba hadir di dalam hidupnya dan membuat Sivia harus memutuskan...