• A POLITICAL ROMANCE •
Satu video skandal seks berdurasi tujuh menit tersebar di media sosial. Lily Rose dan Francisco Ruiz, mantan suami istri yang ada di dalam video tersebut, terpaksa harus kembali berurusan demi membersihkan nama dan karir poli...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sel yang Lily tempati bersama para budak itu pasti pernah digunakan FARC untuk menyandera pejabat-pejabat dan warga sipil di masa konflik. Sejak tadi ia telah coba memecah keheningan dengan mengajak mereka bicara. Namun masih belum ada satu pun yang mau bersuara. Pertanyaan-pertanyaannya juga hanya dijawab dengan sorot mata datar, anggukan atau gelengan saja. Mereka pasti berpikir menjawab pertanyaan Lily sama sekali tidak akan mengubah nasib.
"Kampungku di Cali," kata Lily setelah diam yang cukup lama. "Aku tinggal di bawah kaki bukit Las Tres Cruces."
Masih hening.
"Apa ada dari kalian yang berasal dari sana juga?"
Beberapa orang menggeleng, selebihnya diam. Mungkin memang bukan waktu yang tepat untuk mengajak mereka bicara.
"Disana banyak kupu-kupu."
Lily yang baru saja menundukkan kepala pun langsung mengangkat kembali wajahnya. Anak laki-laki berusia lima atau enam tahun yang bergelung di dalam pelukan ibunya itu yang berbicara.
Lily menantikan jawaban namun sang ibu melarang si anak bicara lagi. Ketika ia hendak membuka mulut, wanita paruh baya itu langsung bersuara. "Kenapa kau bicara kepada kami, Nona?"
Lily dapat melihat sorot mata yang tadinya datar kini perlahan-lahan berubah menjadi tajam.
"Kami sudah muak dengan basa-basi," sambung wanita itu. "Kami seharusnya sudah di Amerika dan mendapat pekerjaan."
"Tidak ada pekerjaan seperti yang diiming-imingi Chris Huang. Dia penjahat—"
"Lantas?" potong wanita itu dingin. "Apa menurutmu nasib kami akan berbeda jika tetap tinggal di negara sendiri?"
"Apa kau tahu akan dijadikan apa kalian disana?"
"Pelacur, budak, lantas kenapa?"
"Disini lebih buruk, Nona," timpal seorang pria albino yang bersandar di sudut sel. "Disini kami tidak menjadi apa-apa selain anak tangga yang dipijak-pijak pemerintah saat mereka mau naik ke atas."
"Dengan penuh manipulasnya." timpal yang lain.
"Persis seperti yang sedang kau lakukan sekarang, bersikap seolah menyelamatkan kami dari penjahat, padahal ini semua untuk kepentinganmu, ya kan, Nona?"
Kini giliran Lily yang bungkam.
Juga sedih.
Ia pikir orang-orang ini akan senang karena mereka terselamatkan. Siapa sangka, mereka pergi memang atas keinginan sendiri. Mereka pergi bukan karena tidak tahu tentang akan dijadikan apa mereka di negara asing. Namun mereka tetap memilih jalan itu karena menurut mereka, negara sendiri lebih buruk. Lily lantas memeluk tubuh sambil menggosok-gosok lengannya ketika hawa dingin hutan mulai merasuk ke pori-pori. Sisa-sisa malam dihabiskan dalam keheningan lagi. Kini mereka semua sudah terlelap, meringkuk di atas tanah yang hanya beralaskan tikar usang. Ketika udara kian dingin, Lily mulai menggigil. Namun tidur mereka tidak terusik sama sekali. Deru napas mengalun damai tetapi kesengsaraan tak mau kalah.