[Pacar Autis]
Rein Galvaro memiliki hidup yang sempurna. Dengan kecerdasan luar biasa, pesona yang memikat, dan masa depan yang cerah, ia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan terguncang oleh kehadiran Sella Bram-seorang gadis yang hidup dalam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku mendesah sedikit bosan, melihat dua pria yang sebelumnya sedang berbincang tentang konsep ulang tahunku kini sudah terlelap tidur di posisi masing-masing. Aku berniat untuk keluar kamar dan ingin berjalan-jalan menikmati hari ke tiga di london.
Aku keluar dengan style pakaian kasual. Saat kini langkah kaki ku akan melewati pintu hotel kamar Sella, Aku berjalan perlahan. Kemarin setelah menghabiskan sarapan pagi bersama, dan pulang Sella memintaku untuk tidak menggangunya sampai dia yang akan mengubungiku, dengan alasan ingin mengembalikan staminanya, dan menyuruhku untuk tidak khawatir dengan makannya, dia akan memesan kemudian makan di kamarnya.
/Flashback ON
Sella menatapku sejenak sebelum masuk ke kamar hotelnya. "Terima kasih, Rain, untuk sarapan dan jalan-jalannya," katanya.
"Your welcome," jawabku singkat.
Saat hendak melangkah, dia menoleh. "Aku ingin beristirahat. Jangan hubungi aku sebelum aku yang menghubungimu. Dan kau tak perlu khawatir soal makananku. Aku akan memesan sendiri." Ucapannya lugas, seperti biasa.
Aku hanya mengangguk, memahami bahwa keramaian tadi mungkin cukup mengganggunya. Pintu kamarnya tertutup perlahan, meninggalkan keheningan di koridor.
/Flashback Off
Perjalanan kemarin terlintas di benakku-senyumnya saat melihat pemandangan di jembatan, wajahnya yang tenang meski dikelilingi keramaian. Dia pasti berusaha menyesuaikan diri, meski melelahkan.
"Dia pasti baik-baik saja," gumamku, meyakinkan diriku sendiri sebelum akhirnya kini melanjutkan langkah untuk menikmati soreku.
Menikmati udara sore yang sejuk, di kota london dengan jalanan basah yang disebabkan oleh hujan pada waktu pagi tadi.
"Rein!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Zelyn, teman sekelasku, yang sedang berdiri di dekat sebuah kafe, tersenyum lebar ke arahku.
Aku terkejut sedikit. Selama ini kami lebih banyak berinteraksi sebagai teman sekelas, namun tidak pernah benar-benar dekat. Dia tampak sedikit canggung, tapi senyumannya tetap cerah. "Oh, Zelyn. Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya.
"Aku sdeang jalan-jalan sore sendirian. Pemandangan di sini bagus, kan? Kebetulan saja ketemu kamu. Kita bisa jalan-jalan bareng," tawarnya dengan suara yang agak ragu, meskipun matanya terlihat penuh harapan.
Aku terdiam sejenak. Terus terang, aku tidak ingin. Namun tidak ragaku sedang tidak ingin mencari alasan untuk menolak. aku mengangguk pelan. "Baiklah, ayo. Toh, kita hanya jalan-jalan."
Kami mulai berjalan bersama, namun ada ketegangan yang terasa di antara kami. Meskipun dia sering menunjukkan perhatian di kelas, suasananya tetap canggung. Zelyn, yang selalu terlihat percaya diri, tampak sedikit kikuk saat kami berbicara. Sesekali dia tersenyum, namun matanya tampak melirik-lirik ke arahku, seakan ada sesuatu yang ingin dia katakan.