🍁Ice cream🍁

23 8 0
                                    

BAB 21
________________

BAB 21________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Author Pov.

Mengendarai mobil sport putih yang melaju mulus membelah jalanan pagi, aku, Gelvino Rein Galvaro, hanya berteman dengan suara mesin yang berirama stabil. Tangan kanan menopang kepala, sementara tatapanku terpaku ke depan, kosong, tenggelam dalam rutinitas yang terasa semakin membosankan.

Aura "handsome" yang sering kubanggakan tampaknya tak begitu terpancar pagi ini. Bukan karena aku kehilangan pesonaku—tidak mungkin—hanya saja, suasana hati sedang datar. Bahkan sorot kagum dari beberapa gadis yang ku lewati di jalan tak cukup untuk membangkitkan semangatku.

Drtt... Drtt...

Getaran ponsel di dasbor mengalihkan perhatianku. Nama "Ayah" tertera di layar. Aku menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Halo, Ayah? Ada apa?" tanyaku, mencoba terdengar tenang.

"Ada rapat dengan beberapa perusahaan lain soal proyek kemarin. Kau tahu, proyek itu gagal, jadi kita harus mengevaluasi ulang. Bisa ikut ke kantor pagi ini?"

"Jam berapa aku harus ke sana?"

"Setengah sepuluh kau sudah harus sampai," jawabnya tegas.

"Baik, Ayah," jawabku singkat sebelum panggilan berakhir.

Melirik arloji di pergelangan tangan, waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Masih ada waktu untuk menuju kampus sebelum rapat dimulai. Tapi ada satu hal lagi yang harus kulakukan.

Mobil sportku meluncur menuju rumah Sella. Sebuah "janji" yang entah kenapa terus kupegang teguh—mengawasi gadis autis itu. Berat? Tentu saja. Tapi apa boleh buat.

Dari kejauhan, Sella tampak melangkah keluar dari gerbang rumahnya, wajahnya terlihat bingung saat melihat mobilku mendekat. Tepat di depannya, aku menghentikan mobil, lalu menurunkan jendela.

"Ayo berangkat," ucapku singkat.

"R-Rein? Kau menjemputku lagi?" tanyanya ragu.

Aku mendengus pelan, mencoba menahan kekesalan. 'Kalau bukan karena Mama, aku tidak akan mau.'

"Sudahlah, ayo naik. Aku buru-buru," kataku, sedikit tidak sabar.

"T-tapi..."

"Kalau tidak mau, ya sudah," jawabku dingin.

Menutup jendela tanpa menunggu jawabannya, aku segera menginjak pedal gas, meninggalkan Sella yang masih berdiri di depan rumahnya.

Setibanya di kampus, aku memarkir mobil di tempat biasa. Tapi belum sempat aku turun, kerumunan wanita tiba-tiba mengelilingi mobilku. Mereka berteriak histeris, wajah-wajah penuh semangat memadati kaca mobilku.

"Apa-apaan ini?" gumamku, bingung.

Sebelum aku sempat bertindak, dua pria muncul dari kerumunan. Erik dan Jack. Mereka mengetuk kaca mobil dengan tergesa-gesa.

Autistic Girlfriend [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang