[Pacar Autis]
Rein Galvaro memiliki hidup yang sempurna. Dengan kecerdasan luar biasa, pesona yang memikat, dan masa depan yang cerah, ia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan terguncang oleh kehadiran Sella Bram-seorang gadis yang hidup dalam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Duduk di kantin yang sedikit lebih sepi hari itu. Erik, yang selalu ceria dan tak pernah kehabisan bahan obrolan, kembali mengoceh tanpa henti. Kali ini, fokusnya tertuju pada Jack, yang tampaknya masih saja tak bisa lepas dari topik perjalanan bisnisnya yang akan segera dimulai.
"Jack, bro, serius! Aku pengen banget ikut perjalanan bisnismu ke Italia! Bisa tidak? Pasti seru banget, ketemu orang penting, jalan-jalan, dan tentu saja... belanja barang branded!" Erik berkata dengan ekspresi memelas, tangannya terangkat-angkat seolah-olah meyakinkan Jack akan keseriusannya.
Aku hanya bisa tersenyum, melihat tingkah Erik yang selalu saja kocak dan penuh warna. Di sisi lain, Jack hanya tertawa kecil, sedikit geli dengan permintaan Erik yang seolah tak pernah tahu malu itu. Aku tahu, Jack pasti sudah terbiasa dengan tingkah temannya yang satu ini.
"Kalau aku bukan anak tunggal, mungkin aku akan mempertimbangkan, kau bisa ikut," jawab Jack sambil menyandarkan punggungnya di kursi. "Tapi apa boleh buat, dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Orang tuaku membutuhkan aku, terutama dengan semua urusan perusahaan yang harus aku tangani." Jack sedikit meluruskan tubuhnya, lalu melanjutkan, "Lagipula, aku tidak hanya ke Italia. Aku juga akan ke beberapa negara lain, seperti Perancis, Jerman, mungkin Jepang, atau bahkan Amerika. Banyak hal yang harus aku urus di sana."
Aku mendengarkan dengan seksama, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan Jack. Rasanya, walaupun Jack terlihat tenang dan santai, ada banyak tanggung jawab besar yang sebenarnya tengah dia pikul, dan itu bukan hal yang mudah.
"Sepertinya nggak mudah juga jadi kamu, ya, Jack?" kata Erik sambil mengaduk minumannya. "Untung aku punya tiga saudara, jadi aku nggak perlu mikirin banyak hal sendirian kayak kamu," lanjutnya
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Erik. "Kalau begitu hidupmu, kenapa nggak ambil jalur bisnis seperti kakak perempuanmu?" aku bertanya, mencoba menanggapi keinginan Erik untuk ikut perjalanan bisnis Jack. "Kenapa malah kuliah kedokteran?"
Erik menatapku sejenak, lalu tersenyum nakal. "Eits, sebelum kamu kasih saran, aku pasti sudah mikir soal itu. Tapi, kakek dan nenekku kan dokter, bro. Mereka berharap aku bisa melanjutkan karier mereka di bidang kedokteran sebelum terjun dalam dunia bisnis. Jadi, ya... aku nggak bisa begitu saja mengabaikan itu."
Aku mengangguk-angguk, mengerti. "Jadi, itu alasanmu? Memang, kalau dilihat dari keluargamu, selain ayahmu yang pengusaha, ibumu juga seorang selebriti. Pasti banyak ekspektasi besar dari keluarga."
Erik cuma mengangkat bahu, tersenyum lebar. "Yah, begitulah. Tapi tetap aja, kadang aku penasaran juga kenapa nggak bisa lebih bebas kayak kamu atau Jack."
Jack mengerlingkan matanya ke Erik dan kemudian tertawa pelan. "Kamu pikir hidup kita bebas, Erik? Tanggung jawab itu ada di setiap langkah, cuma bedanya kita nggak selalu kelihatan seperti beban. Kalau aku bukan anak satu-satunya, mungkin aku bakal mikir lain, tapi sekarang semua keputusan besar bakal balik ke aku."