[Pacar Autis]
Rein Galvaro memiliki hidup yang sempurna. Dengan kecerdasan luar biasa, pesona yang memikat, dan masa depan yang cerah, ia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan terguncang oleh kehadiran Sella Bram-seorang gadis yang hidup dalam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Dan jika berhasil," ucapnya lirih, "risiko utamanya adalah aku akan kehilangan ingatanku... dua tahun terakhir."
/flashback ON
Ruangan pribadi Dr. Octo terasa sunyi meski dihiasi dengan peralatan medis modern. Aku dan Sella duduk di hadapannya. Dokter Octo dengan tenang menjelaskan segala risiko yang mungkin terjadi.
"Operasi ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, tapi jika berhasil, ada kemungkinan besar ingatan pasien akan mengalami amnesia parsial, terutama untuk jangka waktu dua tahun terakhir," jelasnya.
Sella menatap dokter itu dengan ekspresi tak percaya, lalu perlahan mengalihkan pandangannya padaku. "Rain, kau tahu ini sebelumnya, kan?"
Aku tidak menjawab, hanya menunduk, merasa seperti duri menusuk dadaku.
Sella menatapku tajam, lalu beralih menatap Dr. Octo, kembali lagi padaku. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kau tahu... dan tidak memberitahuku?" suaranya bergetar.
Aku tetap diam, merasa tidak mampu berkata apa-apa.
Air mata Sella akhirnya jatuh. Dia menggelengkan kepalanya sambil menatap kami bergantian, ekspresi kecewa jelas tergambar di wajahnya.
/flashback Off
Aku terpaku, tak mampu berkata-kata. Kilas balik itu terus terngiang dalam pikiranku.
Sella menatapku dengan mata yang kini tampak lebih tenang, meski penuh rasa sakit. "Rein, aku akan melupakanmu."
Kata-kata itu menusukku seperti belati. Aku menggeleng cepat, air mata yang sejak tadi kutahan kini tak lagi bisa dibendung. "Tidak, kau tidak akan melupakanku, Sella. Kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Aku akan memastikan kau mengingatku."
Sella menggeleng pelan, tangannya terangkat, menyentuh pipiku, mengusap air mata yang membanjiri wajahku. "Ini kesempatan untukmu, Rein," katanya lembut.
Aku mengernyit, tidak memahami maksudnya. "Kesempatan apa, Sella?"
Dia menarik napas dalam, lalu melanjutkan, "Kita bisa berpisah setelah ini. Aku akan hidup dengan kehidupan baru, dan kau bisa kembali menjalani hidupmu, bahagia seperti sebelum aku datang."
Aku menggeleng lagi, kali ini lebih lemah, air mata terus mengalir. "Apa yang kau katakan? Kau tidak merepotkanku, Sella. Aku akan selalu ada untukmu, aku akan membuatmu mengingatku. Percayalah padaku."
Dia menggelengkan kepalanya lebih tegas. "Aku tidak lagi mencintaimu, Rein."
Ucapan-ucapan itu membuatku tertegun. Kata-katanya menghantamku seperti badai, menghancurkan seluruh keyakinanku. Aku berdiri, melangkah menjauh dari tempat tidurnya, mencoba mengatur napas yang terasa berat.