Peringatan

46 8 0
                                    

Di lorong sekolah yang sepi, pagi itu tampak tidak begitu menyenangkan bagi Han Jisung.

Dia berjalan dengan langkah gontai, menggigit sedotan botol susu nya sambil memikirkan semua yang terjadi kemarin. Kejadian dengan Hyunjin di depan Felix terus terngiang di pikirannya. Tatapan Hyunjin yang dingin dan penuh tekanan tidak bisa ia lupakan. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah setiap kali Hyunjin marah. Bukan hanya karena itu menakutkan, tapi juga terasa... salah.

Ketika Jisung tiba di kelasnya, Felix sudah menunggunya dengan senyum khas yang menenangkan. Di tangannya ada sebungkus kue brownies yang ia buat sendiri.

"Pagi, Ji! Nih, gue bawain kue buat lo. Lo kelihatan capek banget akhir-akhir ini," kata Felix semangat sambil menyerahkan kue tersebut.

Jisung mengangkat alis, lalu mengambil bungkusan itu dengan senyum kecil. "Felix, serius deh. Lo itu udah kayak babysitter gue."

Felix tertawa kecil. "Kalau babysitter gue cuma dapat uang. Kalau sama lo, gue dapat senyum manis."

Jisung mengerutkan kening, mendengar lelucon itu. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Ada bakat buaya juga ya lo."

Felix terkekeh kemudian duduk di sebelah Jisung, memperhatikan pemuda itu mulai membuka bungkus kuenya. Tapi, Felix juga sadar ada sesuatu yang mengganggu pikiran Jisung. Meski Jisung mencoba menyembunyikannya dengan senyum, matanya tidak bisa berbohong.

"Ji, lo ngga apa-apa kan?" tanya Felix, suaranya penuh perhatian.

Jisung menatap Felix sebentar, lalu menghela napas. "Gue ngga tahu, Lix. Hyunjin kemarin... dia marah banget. Gue ngga pernah lihat dia kayak gitu sebelumnya."

Felix terdiam sejenak, lalu mencoba memberikan senyuman yang menenangkan. "Mungkin dia cuma kesal karena lo lupa janji. Lo tahu kan, Hyunjin emang emosional kadang-kadang."

Jisung mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. Dia tahu Felix hanya mencoba menenangkan, tapi ada sesuatu tentang Hyunjin yang membuat Jisung merasa... tidak aman. Tatapan Hyunjin, cara dia berbicara, bahkan cara dia memegang tangannya kemarin—semuanya terasa salah.

Di tempat lain, Hyunjin berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Matanya menatap pantulan dirinya dengan ekspresi penuh pemikiran. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah foto kecil. Foto itu adalah gambar Jisung yang terlihat bahagia, tertawa bersama teman temannya di taman sekolah. Jisung terasa begitu jauh.

Hyunjin menyentuh permukaan foto itu dengan ujung jarinya, seolah ingin menyentuh Jisung secara langsung. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tapi ada sesuatu yang gelap di balik senyum itu.

"Han Jisung..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. "Lo milik gue. Gue nggak akan biarin siapa pun ngambil lo."

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk, dan Minho berbicara di balik pintu dengan suara datar. "Hyun, berangkat."

Hyunjin cepat-cepat menyimpan foto itu. Dan segera keluar dari kamarnya dan di sambut oleh tatapan Minho yang mengamati adiknya dengan curiga. Lalu melangkah mendahului Hyunjin.

"Inget. Jangan berbuat aneh aneh, Hyunjin. Semua yang lo lakuin itu salah." Ucap Minho.

Hyunjin hanya menatap Minho tanpa menjawab, tapi sorot matanya sudah cukup menjawab pernyataan itu. Tapi itu tidak puas.

"Lo itu sakit." Tambah Minho.

Hyunjin menyipitkan matanya, rahangnya mengeras. "Jangan sok tau, Ho. Lo sendiri juga ngga lebih baik. Lo pikir gue ngga tau apa yang lo lakuin? Lo pakai alasan 'menjaga' buat dekat sama dia, padahal lo juga punya niat lain."

Minho mendesah, mencoba menahan emosinya. "Dengar, gue cuma mau Jisung aman. Kalau lo terus begini, lo malah akan nyakitin dia."

"Nyakitin?" Hyunjin tertawa kecil, tapi tawanya penuh ironi. "Ho, gue ngga akan nyakitin dia. Gue cuma mau dia ngerti kalau dia butuh gue lebih dari siapa pun."

BULLYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang