Sejak pertemuan di rumah Kakek Rajendra, Ananta tidak fokus pada apapun kecuali pada pikiran tentang ayah dan Ibunya. Mimpi buruk tentang kejadian tujuh tahun silam pun tak pernah meninggalkan Ananta barang sekalipun. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi tujuh tahun lalu kecuali Ananta, ayahnya yang pergi, Ibunya yang gila dan Pak Adjie.
Pak Adjie sudah mengucap sumpah pada Kakek Pramoedya untuk tidak membuka satu kata pun tentang kejadian itu.
Awal mula kehancurkan Keluarga Pramoedya yang Kakek tutupi sampai akhir usianya.
Ananta jadi gelisah. Cepat atau lambat. Alegra akan tahu─atau malah harus tahu. Apakah pria itu akan pergi ketika mengetahui kebenarannya? Tentang apa yang terjadi pada Ananta dan hidupnya? Apakah pria itu akan menerima masa lalunya yang lebih hitam dibandingkan warna hitam itu sendiri? Apakah Alegra tidak akan meninggalkannya? Bagaimana jika Kakek Rajendra tahu? Tidak mungkin beliau mengijinkan cucu kesayangannya bersanding dengan perempuan bermasa lalu hitam.
Pada akhirnya Ananta akan berakhir seorang diri lagi.
Kira-kira itu akhir ceritanya. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang memiliki akhir bahagia, karena semua orang akan mati.
Ananta terbangun untuk yang kesekian kalinya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Hantu-hantu di kamarnya sedang berbondong-bondong berkeliaran, tetapi bukan itu yang menjadi buah ketakutan Ananta. Melainkan, Alegra yang meninggalnya. Sebagai satu-satunya keluarga yang Ananta miliki, ia sudah tidak mampu menghadapi kehilangan berikutnya.
Suara connecting door terbuka membuat Ananta semakin terjaga. Di tengah ruangan gelap, pintu itu terbuka dan menampilkan sosok gagah nan tampan─walaupun wajahnya tidak kelihatan, berdiri menjulang di ambang pintu. "Ta? Kebangun?"
Seketika suara Alegra menenangkan Ananta.
Pria itu melangkah masuk melewati perbatasan kamarnya dan kamar tunangannya, lalu menutup connecting door itu.
"Kok lo tau?"
"Gak biasanya lo bolak-balik jam segini. Pasti kebangun." Alegra sudah duduk di tempat tidur Ananta.
Mata Ananta menatap sendu manik gelap Alegra. Bagaimana ia masih bisa terlihat sempurna di tengah kegelapan? Mungkin saat Ananta mati, ia hanya berharap malaikat pencabut nyawanya tampan seperti Alegra agar Ananta dengan senang hati ikut dengannya. Setidaknya ada hal indah dari sebuah kematian.
"Al, mau tidur di sini gak?" tawar Ananta. Tidak ada keraguan dari nada bicaranya yang membuat Alegra tersenyum.
"Dengan senang hati. Geseran, Ta..." Alegra mengangkat selimut berenda Ananta dan menyesuaikan tubuhnya di dalam sana.
Ananta dan Alegra tidur berhadapan sekarang. Kegelapan tidak menghalangi pandangan mereka yang tertuju langsung ke satu sama lain.
Tangan Alegra bergerak, menyelipkan anak rambut Ananta ke belakang telinganya. Tidak ada yang boleh menghalangi pandangan Alegra saat ia sedang memandangi tunangannya. Aturan mutlak.
"Mau cerita?" bisik Alegra menawarkan.
Ananta menggelengkan kepalanya. "Kalau nanya boleh gak?"
"Nanya ke gue maksudnya?"
"Iya."
"Silahkan. Apapun."
"Kalau besok lo bangun tidur tiba-tiba gue jelek. Lo masih mau nikah sama gue gak, Al?"
Pertanyaan macam apa ini? "Lo gak mungkin jelek, Jovanka," jawab Alegra.
Ananta meremas tangan Alegra, membuat pria itu tertawa. "Ih. Bukan gitu cara mainnya! Anggap bangun tidur besok gue langsung berubah jadi jelek."
"Lo gak bisa jelek, Taaa. Jangan maksain hal yang mutlak deh."
Pipi Ananta memerah di tengah kegelapan. Untung gelap!
"Bagi gue, mau dilihat dari atas Monas pakai sedotan, lo tetep cantik. Udah. Pertanyaan lain yang lebih masuk akal, please."
"Kalau tiba-tiba gue gendut?"
"Gapapa. Lucu. Chubby. Gue bisa panggil lo Si Ndut."
Ananta berlagak muntah. "Jiji tau gak sih, Al?"
Alegra terbahak. "Makanya nanya tuh yang bener. Jam-jamnya deep talk lo malah nanya yang gak penting. Time is money, Sayang," lalu mengedipkan matanya menggoda.
"Kalau gitu pertanyaannya gue ganti. Apa yang bikin lo gak mau nikah sama gue?"
"Sebentar." Alegra langsung duduk. "Lo gak lagi nyari cara buat batalin pertunangan kita, kan? Karena gue gak mau."
Ananta menarik ujung kaos Alegra agar pria itu kembali ke posisi tidurannya. "Enggaaaak. Jawab aja!"
"Ini mau jawab jujur apa jawab serius nih? Gue gak tau lo mau ngobrol serius apa cari validasi doang."
"Idih, kampret banget. Ngapain gue cari validasi?"
"Mana tau. Namanya juga cewek. Cuma dukun beranak yang bisa nebak mood cewek tau gak!" protes Alegra secara tidak langsung.
"Serius. Jawab serius."
"Gak ada." Alegra menjawabnya dengan mudah. "Selama itu Ananta Jovanka Pramoedya, mau bentuk lo kayak cecurut pun gue pasti nikahin. Jadi jangan coba-coba gocek gue pakai pertanyaan kosongan karena cinta gue udah beneran buat lo. Emangnya elo, Ta..."
"Cinta itu apa sih?"
"Ini lo beneran serius nanya gak sih? Males gue kalau ujung-ujungnya kena prank."
"Suudzon banget. Beneran. Cepet jawab."
"Gue selalu berdoa buat keselamatan lo. Gue selalu mengusahakan kebahagiaan lo. Gue selalu mengutamakan kenyamanan lo. Gue selalu memprioritaskan lo lebih dari apapun. Bukan sekedar kasih bunga, unlimited ciuman, having sex. Much more than that. So, please love me back ya, Ta. Gue udah jadi tolol gara-gara lo."
Ananta tertegun mendengar jawaban Alegra yang jauh dari perkiraannya. Ananta tidak pernah mengenal pengertian cinta yang sesungguhnya karena ia tidak pernah mendapatkan itu. Kakek Pramoedya satu-satunya contoh konkret mengenai cinta yang Ananta miliki, namun beliau pergi dengan mengirim Alegra masuk ke dalam kehidupan Ananta.
Semakin diselami maksud dibalik Alegra yang masuk ke dalam kehidupannya atas perintah Kakek, semakin Ananta mengerti maksud Kakek melakukannya.
Kakek tidak ingin Ananta seorang diri, sebatang kara, tanpa keluarga, tanpa cinta. Lalu, beliau mengirimkan seseorang yang mampu mencintai dengan besar dan benar.
Ananta merinding.
"Kok diem? Salah ngomong ya gue, Ta? Maaf." Alegra jadi tidak enak hati sendiri. Pengakuan yang menurutnya sudah sempurna hanya dibalas keheningan oleh sang pujaan hati.
Sejak awal. From the start. Ananta sudah mematahkan hatinya. Jika Ananta yang mematahkan, maka hanya Ananta yang bisa mengembalikannya.
"Alegra..."
"Ya, Sayang?"
"What if─
"Jangan aneh-aneh lagi pertanyaannya ya. Gue gak mau jawab." Alegra memperingati.
Ananta tertawa sambil menganggukkan kepalanya.
"Jangan ngomong what if gue jadi zombie terus lo rela gak kalau otak lo gue makan. Karena jawabannya gue rela."
Ananta semakin tertawa mendengar pengakuan Alegra. Ternyata ini rasanya dicintai begitu besar dan benar. Ia menghapus sedikit air mata yang tanpa sadar muncul hasil campuran tawa dan kegelisahan.
"What if... Suasana sudah kembali hening ketika Ananta terlihat ragu-ragu melontarkan pertanyaannya. Alegra sengaja diam, ia tidak ingin suasana ini rusak.
"What if, kalau gue korban pemerkosaan. Lo masih mau nikah sama gue gak?"
.
.
.just tell me your honest opinion about this chap!!! 🙃🙃🙃

KAMU SEDANG MEMBACA
From The Start
FanfictionKematian sang kakek mengharuskan Ananta Jovanka Pramoedya memenuhi perjodohannya dengan Alegra Putra Rajendra─the number one heartbreaker in history.