Ada sejenak hening yang jatuh di antara mereka—jenis hening yang tidak kosong, melainkan penuh seperti gelas yang terlalu banyak menampung air.
Hening yang menunggu seseorang menumpahkannya.
Baekhyunlah yang melakukannya.
Ia menarik Kara perlahan, bukan kasar, namun dengan tekad yang tak dapat disalahartikan. Sentuhannya tidak terburu-buru, tapi setiap gerakannya menyimpan kekuatan seorang pria yang terlalu lama menahan diri.
Jarak mereka terhapus.
Napas mereka bertaut.
Dan tatapan Baekhyun—gelap, dalam, nyaris memabukkan—membuat waktu merunduk.
“Kau sadar,” bisiknya, “bahwa aku tidak bisa bersikap setengah pada dirimu.”
Kara tidak menjawab. Dan diamnya—diam yang jinak namun bukan pasrah—
mengundang sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari kata-kata.
Baekhyun menangkup wajahnya, jemarinya menelusuri rahang Kara dengan kelembutan yang bertentangan dengan intensitas yang dipendamnya. Sentuhan itu seperti garis tinta di atas kertas kusut—pelan, terkendali, tapi jelas mengklaim ruangnya.
Ketika bibir mereka bertemu, itu bukan ledakan. Melainkan gravitasi—lambat, pasti, tak dapat dihindari.
Ciuman itu tidak liar, namun menekan Kara dengan cara yang membuatnya lupa bagaimana caranya bernapas. Ada kehati-hatian yang indah, tetapi di bawahnya, tersimpan bahaya halus, seperti bara di balik kain sutra.
Baekhyun mencium Kara seolah ia sedang menulis sebuah kalimat: panjang, dalam, dan tidak mengizinkan jeda yang tidak ia setujui.
Tangan Kara meraih kerahnya.
Gerakan kecil itu, cukup untuk membuat Baekhyun kehilangan sisa ketenangannya.
Ia menarik tubuh Kara ke arahnya, membiarkan kehangatan mereka menyatu tanpa celah.
Bukan karena ia ingin.
Tapi karena ia membutuhkan.
“Aku akan berhenti,” bisiknya di antara napas mereka, “jika kau meminta. Sekalipun hanya dengan satu kata.”
Namun Kara tetap diam.
Dan diam itu lebih mengguncang daripada permintaan apa pun.
Baekhyun menutup mata sesaat, nafasnya pecah pelan. Di balik kendalinya, ada badai kecil yang akhirnya diberi pintu untuk lewat.
Ia menunduk lagi. Ciumannya kini lebih dalam, namun tetap terukur—tidak liar, tidak terburu-buru—seperti seseorang yang ingin mengingat bentuk bibir yang sudah terlalu lama dirindukan.
Jemarinya melingkari tengkuk Kara, bukan untuk memaksa, melainkan untuk mengikat momen itu agar tidak lari dari mereka.
Ia mencium sudut bibir Kara, garis rahangnya, kemudian kembali ke pusatnya.
Setiap sentuhan terasa seperti pengakuan yang tak pernah ia izinkan keluar sebelumnya.
“Kau membiarkan aku,” gumamnya rendah, hampir tak terdengar. “Kau tidak seharusnya.”
Tapi Kara tidak menyingkir. Ia tetap di sana, dalam jaraknya, dalam bahunya, dalam genggamannya.
Dan dengan keheningan itu, Baekhyun mengabaikan setiap alasan untuk menjauh.
Ia menunduk sekali lagi. Lebih pelan, lebih dalam, lebih berat. Dan merengkuh Kara seolah ia sedang memeluk sebuah keputusan yang tidak akan pernah dia bicarakan, namun akan dia simpan di tulang-tulangnya.
Malam itu, mereka bukan hanya dua orang.
Mereka adalah dua garis yang akhirnya, meski salah waktu, bertemu di satu titik paling sunyi dan paling tak terelakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️
Fanfiction[SELESAI] "Aku mencintaimu. Tapi aku takut terluka. Dan cara untuk membantu diriku sendiri hanya perlu menjauh darimu." Park Kara "Aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa meyakinkanmu. Dan cara untuk membuatmu terus di sisiku hanya dengan seperti ini."...
![AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️](https://img.wattpad.com/cover/376621384-64-k522896.jpg)