[Kara POV]
Air shower jatuh mengenai kulitku seperti sentuhan yang mencoba menghapus malam itu, tapi gagal. Setiap tetesnya justru mengingatkanku pada cara Baekhyun menyentuhku—tidak pernah tergesa, tidak pernah sopan sepenuhnya, selalu seolah ia tahu persis di mana tubuhku paling mudah menyerah.
Aku menutup mata, berharap sensasi itu memudar. Tapi ingatan tubuh terlalu jujur.
Jika aku menyentuh tengkukku, aku teringat bagaimana jemarinya pernah menahan bagian itu agar aku tetap dekat. Jika air mengalir di tulang selangkaku, aku merasakan kembali bagaimana napasnya turun perlahan di sana, seolah ia sedang menghukumku karena pernah meninggalkannya.
Aku membenci betapa jelas semuanya.
Air hangat mengalir di antara kedua belah pahaku, membuatku menggigit bibir tanpa sadar—karena tubuhku malah mengingat suara rendah Baekhyun yang memanggil namaku dengan cara yang membuatku kehilangan logika.
Bukan karena ia menyentuhku semalam.
Tidak. Tapi bahaya itu… kemungkinannya…sudah cukup untuk membuatku gemetaran sekarang.
Yang paling erotik bukanlah fisiknya. Melainkan cara ia memandangku. Cara ia mencengkeram lenganku ketika aku hampir jatuh. Cara ia menahanku agar tetap sadar, tetap dekat, tetap berada di lingkarannya.
Aku memeluk diriku dalam shower, berusaha menenangkan pikiran yang terus berputar. Tapi percuma.
Tubuhku ingat terlalu detail. Pikiranku ingat lebih dalam daripada yang ingin kuakui. Dan hatiku—sialan hati itu—masih bereaksi terhadap Baekhyun seperti seluruh sistemku dirancang untuk dia.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, handuk membungkus tubuhku rapat. Tapi rasa telanjang itu masih ada, seolah dinding-dinding kamar ini menyimpan bayangan tentang apa yang terjadi semalam… atau apa yang hampir terjadi.
Spreinya berantakan. Bantalnya jatuh ke lantai. Ada jejak samar tubuh kami di tempat tidur—bukan tindakannya, tapi intensitasnya.
Dan ketika tanganku menyentuh bagian ranjang yang masih lembap, aku merasakan panas merambat dari perut hingga ke dada.
Semalam…aku terlalu dekat dengannya. Terbuka. Lemah. Dan mungkin, dalam beberapa detik tertentu, aku juga menginginkannya.
Mengakuinya membuatku nyaris ingin berlutut dan memukul lantai.
Aku mendekap handuk lebih erat. Kebodohan paling fatal seseorang adalah merindukan seseorang yang berbahaya untuk dicintai.
Pintu balkon terbuka.
Suara langkah itu…aku langsung tahu. Baekhyun masuk dengan kaus tipis yang menempel di tubuhnya. Rambut sedikit berantakan. Mata sedikit merah. Dan cara ia menatapku—seolah ia masih memegang hak atas setiap sentimeter tubuhku—membuatku ingin mundur tapi juga ingin mendekat.
Aku membelakanginya. Untuk menyelamatkan diri. Atau setidaknya berpura-pura kuat.
“Kara.” Suaranya lembut, tapi merayap masuk seperti janji yang sulit ditolak. “Bicaralah denganku.”
“Aku sedang—”
“Lihat aku.”
Nada itu turun. Lebih dalam. Nada yang dulu selalu membuat lututku melemah.
Aku menggigit bibir. Kesal karena tubuhku bereaksi duluan.
“Apa kau selalu begini saat merasa bersalah?” Kalimatnya telak. Aku terdiam.
Langkah Baekhyun mendekat perlahan, seperti predator yang tidak terburu-buru karena ia tahu mangsanya tidak akan lari jauh. Kehadiran tubuhnya di belakangku terlalu dekat, udara di antaranya terlalu sempit.
“Aku takut kehilanganmu semalam.” Ia bersuara rendah tepat di telingaku. Nada itu membuat seluruh tubuhku menegang. “Ada banyak hal yang bisa terjadi… terutama pada seseorang seindah dirimu dalam keadaan tidak sadar.”
Aku meremas handuk. “Jangan bicara seperti itu.”
“Kenapa?” Ia menyandarkan telapak tangannya pada dinding, membatasi gerakku tanpa menyentuhku. “Karena kau takut aku benar?”
“Baekhyun…”
“Kau mabuk. Tidak bisa berdiri. Memanggilku—dengan suara yang… terlalu jujur.”
Ia menghela napas pelan, suaranya melebar menjadi senyum yang tidak kulihat tapi kurasakan.
“Kau tahu apa yang paling membuatku gila? Cara tubuhmu bersandar padaku. Seolah kau masih… milikku.”
Aku menahan napas. Sudah kuduga. Ia mengingat semuanya.
“Satu sentimeter saja,” bisiknya, “dan aku tidak akan bisa menahan diri.”
Jantungku berdebar liar. Bukan karena bahaya itu—tapi karena aku menginginkannya lebih dari yang pantas.
Aku menutup mata, memohon pada diriku yang lebih waras untuk menang.
Tapi suara Baekhyun menembus semua benteng. “Sebulan tanpamu sudah cukup menyiksa, Kara. Jangan paksa aku melalui itu lagi.”
Ia tidak menyentuhku. Ia tidak perlu. Cara ia berdiri dekat saja sudah cukup membuatku kehilangan pertahanan.
Aku ingin marah, ingin memukulnya, ingin menciumnya, ingin lari keluar dari kamar ini.
Namun yang kulakukan hanya berdiri diam—seperti seseorang yang tersihir oleh bahaya yang terlalu familiar, terlalu intim, dan terlalu sulit ditinggalkan.
Karena yang paling menakutkan dari hubungan ini bukanlah Baekhyun.
Tapi caraku kembali padanya, bahkan tanpa ia menyentuhku sedikit pun.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️
Fiksi Penggemar[SELESAI] "Aku mencintaimu. Tapi aku takut terluka. Dan cara untuk membantu diriku sendiri hanya perlu menjauh darimu." Park Kara "Aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa meyakinkanmu. Dan cara untuk membuatmu terus di sisiku hanya dengan seperti ini."...
![AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️](https://img.wattpad.com/cover/376621384-64-k522896.jpg)