08. Strawberry

775 23 12
                                        

Ada ruang dalam diri manusia yang tidak pernah diberi nama—ruang di mana cinta berbaur dengan luka, dan rindu berbaur dengan amarah.

Ruang itu milik Kara dan Baekhyun.
Ruang yang seharusnya sudah ditutup, namun selalu terbuka sedikit, cukup untuk menggoda keduanya kembali masuk.

Hari ini, Kara datang hanya untuk mengantarkan strawberry.

Hanya itu.

Tapi dari awal ia tahu: tidak ada yang pernah hanya “itu” ketika menyangkut Baekhyun.

Ia tahu dari cara nafasnya terhenti di depan pintu kamar laki-laki itu.
Dari cara tangannya gemetar kecil.
Dari cara jantungnya berdegup tidak seperti orang yang sedang mengantarkan buah—melainkan seperti seseorang yang sedang mendatangi masa lalunya yang belum ia kubur.

Baekhyun, dari awal, sudah siap.
Siap untuk menyambutnya, atau siap untuk menghancurkannya sedikit lagi—tidak ada yang tahu.
Yang jelas, tatapannya langsung jatuh pada Kara seperti sebuah tuntutan yang tidak pernah diucapkan.

Kara memanggil—ia tidak menjawab.
Kara mengetuk—ia tetap diam.
Ia hanya menunggu momen ketika Kara masuk sepenuhnya ke dalam ruangnya,
sebelum suara rendah itu akhirnya terdengar:

“Letakkan di kamarku.”

Kalimat yang terdengar datar, tapi dibangun dari niat yang gelap.
Niat untuk membuat Kara melangkah masuk, melangkah terlalu dekat, melangkah sampai batas yang seharusnya sudah mereka bakar sejak dulu.

Dan Kara, entah karena bodoh atau karena merindukan sesuatu yang tidak boleh ia rindukan… mengikuti.

Di dalam kamar, sunyinya hampir sensual.
Sunyi yang menekan bahu Kara, membuat napasnya terdengar lebih keras dari seharusnya.
Sunyi yang seakan membisikkan: kau sudah terlalu dekat untuk mundur.

Baekhyun menahannya sebelum ia sempat keluar.
Hanya dengan lengan di ambang pintu—
gerakan sederhana yang berubah menjadi jerat tak terlihat.

Tatapannya merambat pelan ke wajah Kara, ke bibirnya, ke tangan yang memegang kotak strawberry.
Dan ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuat darah Kara bergerak lebih cepat dari logika.

“Suapi aku.”

Permintaan itu bukan permintaan.
Itu adalah perintah lembut, yang dibungkus dengan kebutuhan palsu, yang tujuannya bukan untuk makan… melainkan untuk melihat Kara menyerah.

Ketika Kara berusaha menolak, Baekhyun justru mendekat. Dekat sekali. Cukup untuk panas nafasnya menyentuh kulit leher Kara, cukup untuk membuat tubuh Kara kaku namun tidak menjauh.

Ada sesuatu yang erotik dalam cara Baekhyun memanipulasi jarak.

Tidak menyentuh, tapi membuat Kara merasa disentuh.

Tidak memaksa, tapi membuatnya menyerah.

Dan Kara, seperti selalu, kalah pada bagian dirinya sendiri.

Ketika Baekhyun pura-pura tersedak,
Kara panik—dan Baekhyun tersenyum samar, senyum yang hanya muncul ketika ia berhasil menyentuh titik rapuh yang ia incar.

Ciuman ringan di pipi Kara bukan kecupan.
Itu adalah tanda kemenangan. Tanda bahwa meskipun mereka telah berakhir,
ada bagian dari Kara yang masih ia genggam.

Dan ketika tubuh Kara terjatuh ke ranjang,
ketegangan di antara mereka berubah bentuk.

Bukan lagi kemarahan.
Bukan lagi nostalgia.

Melainkan sesuatu yang lebih kelam.
Lebih dalam. Lebih intim dari sekadar sentuhan—sebuah tarikan batin yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Dan Kara merasakannya.
Begitu pula Baekhyun.

Sekalipun luka mereka tidak sembuh,
keduanya selalu menemukan jalan untuk kembali saling melukai.
Entah karena cinta, atau karena ketagihan pada sakit yang hanya mereka bisa berikan pada satu sama lain.

Dan hari ini… ruang itu terbuka lagi.
Lebih lebar daripada sebelumnya.[]

AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang