Pagi di Swiss turun dengan cara yang tidak manusiawi.
Bukan sebagai permulaan—melainkan sebagai bayangan tipis yang menggantung di antara malam dan siang, seolah langit pun ragu apakah hari ini pantas dilanjutkan.
Di kejauhan, Jungfrau berdiri bagai takhta dewa yang dingin.
Puncaknya memantulkan cahaya pucat yang tidak membawa harapan apa pun.
Seolah gunung itu tahu:
hari ini bukan hari kemenangan,
melainkan hari ketika sesuatu dalam dua manusia akan retak tanpa suara.
Di kamar hotel yang sempit dan terlalu bersih untuk menampung kesedihan,
Kara menghabiskan malam dengan cara yang paling sunyi:
jatuh berulang kali ke lantai dingin, memeluk perutnya, merasakan gelombang mual yang tidak mengenal belas kasihan—
dan menangis dengan wajah terkubur di lengannya agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Air mata, muntah, napas yang tersendat-sendat.
Itu ritme malam yang memaksa tubuhnya menyerah sebelum hatinya sempat mati rasa.
Dan di tengah semua itu, satu kenyataan berdetak penuh ironi: Baekhyun tidak tahu apa-apa.
Ia tidak tahu tentang tubuh Kara yang mulai berubah.
Ia tidak tahu tentang kehidupan kecil yang bertumbuh tanpa izin waktu.
Ia tidak tahu tentang rasa takut yang mengunci mulut Kara, membuat setiap kata menjadi pisau.
Ia tidak tahu—karena ia memilih percaya bahwa semuanya sudah selesai.
Sementara di lantai berbeda, di kasur yang hangat, Baekhyun memejamkan mata dengan pikiran yang ingin ia yakinkan sebagai kebenaran:
Seulyeon adalah jawaban.
Ketenangan adalah jalan keluar.
Kara… hanyalah masa lalu yang perlu ia jauhkan sedikit demi sedikit.
Ia bahkan berbisik pada dirinya sendiri:
Dia pasti baik-baik saja.
Tidak ada kalimat yang lebih menyesatkan dari itu.
Karena pada saat ia memaksa dirinya tidur,
Kara sedang berlutut, tubuhnya gemetar tanpa henti, tenggelam dalam rasa sakit yang lebih tua dari cinta, lebih kelam dari penyesalan, lebih sunyi dari salju yang jatuh di luar jendela.
Pagi akhirnya tiba—bukan sebagai cahaya, tetapi sebagai pengingat bahwa hari tidak menunggu siapa pun untuk sembuh.
Dan hari itu…
Lembah hijau Swiss, sungai jernih, dan udara dingin yang menggigit kulit—
semuanya terlalu indah, terlalu terang, terlalu hidup, untuk dua hati yang diam-diam membusuk dari dalam.
Kara berjalan dengan tubuh lelah dan mata yang hanya tidur dua jam.
Baekhyun berjalan dengan langkah yang tegas tapi hati yang berantakan oleh sesuatu yang tidak berani ia beri nama.
Mereka berada di kota yang memaksa siapa pun untuk bahagia.
Namun di antara pegunungan yang tak tergoyahkan itu, cinta yang belum mati justru semakin terasa seperti kutukan.
Sebab tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mencintai seseorang yang berdiri di depan mata—namun memilih mengambil langkah menjauh.
Hari itu, Swiss menjadi saksi dua hal:
seorang perempuan yang berusaha berdiri kembali meski tubuhnya sedang membangun kehidupan lain, dan seorang laki-laki yang berpura-pura baik-baik saja agar tidak perlu mengakui bahwa ia masih mencintai perempuan yang sedang ia biarkan menjauh.
Dan sebelum matahari sepenuhnya naik,
takdir diam-diam menutup satu pintu lagi—mengikat keduanya dalam jalan yang akan memisahkan mereka sebelum mereka sempat memilih.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️
Fanfiction[SELESAI] "Aku mencintaimu. Tapi aku takut terluka. Dan cara untuk membantu diriku sendiri hanya perlu menjauh darimu." Park Kara "Aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa meyakinkanmu. Dan cara untuk membuatmu terus di sisiku hanya dengan seperti ini."...
![AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️](https://img.wattpad.com/cover/376621384-64-k522896.jpg)