02. Keintiman yang Tidak Seharusnya Kita Bagikan

873 24 12
                                        

Aku benci bagaimana suara mereka-Jong Dae dan Minseok-mengucapkan kata "putus" seolah itu hal biasa.

Aku benci bagaimana mereka menatapku seolah aku ini pria dewasa yang bisa merelakan.

Yang lebih menyakitkan?
Aku benci karena mereka tidak mengerti satu hal yang paling penting, Aku tidak pernah putus dari Kara. Tidak di kepalaku. Tidak di tubuhku. Tidak di tempat terdalam yang sudah menjadi miliknya sejak lama.

Dia bilang mengakhiri hubungan karena "lelah". Tapi yang justru membuatku tidak bisa tidur setiap malam adalah ketidakmampuannya melepaskan genggamanku, bahkan setelah dia sendiri yang memutuskan.

Dan malam itu—saat suara seorang bartender asing terdengar dari ponselnya—aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Kara mabuk. Kara jarang mabuk. Kara hanya mabuk jika pikirannya sudah remuk, atau... jika rindunya sudah terlalu penuh dan tak lagi bisa ditahan.

Di detik itu, rasa egoku naik. Aku bangga. Aku kesal. Dan Tuhan tahu aku menginginkannya. Menghendakinya. Merindukannya dengan cara yang tidak sehat.

Aku seharusnya tidak merasa seperti itu setelah kami berpisah. Tapi perpisahan hanya membuat penglihatanku terhadapnya semakin tajam... semakin liar.
Seperti naluri hewan yang dipaksa puasa terlalu lama.

Saat aku menggendong tubuhnya yang mabuk ke kamarku, aroma alkohol bercampur wangi manis kulitnya menusuk kepalaku. Tangannya menahan kerahku—seakan dia lupa bahwa dia bukan milikku lagi. Atau... dia ingat, tapi memilih menyangkalnya.

"Jadi... kita belum putus, 'kan?" katanya sambil tersenyum setengah sadar.

Astaga, Kara. Kalau saja kau sadar betapa ingin aku menyeretmu kembali ke ranjangku setiap kali kau bertingkah seperti itu. Saat dia menangis, saat suaranya pecah karena menahan semua hal yang tidak pernah ia katakan,keinginanku untuk menyentuhnya berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. Lebih kuno. Lebih... memiliki.

Dia memelukku. Meminta kehangatan. Dan tubuhku merespons dengan cara yang tidak pernah bisa ku kontrol sejak pertama kali jatuh cinta padanya. Bibirnya tidak menyentuhku malam itu. Tubuhnya tetap utuh, suci, seperti yang selalu ingin kujaga.

Tapi kedekatan kami... napasnya di leherku... jemarinya yang meremas lengan bajuku... Itu lebih erotik daripada segala fantasi yang pernah kumiliki.

Dia tertidur dengan wajah menempel di dadaku. Dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, seluruh rumah ini terasa hidup kembali. Karena dia ada di sini. Di tempat semestinya. Dalam pelukanku, meski dalam keadaan kacau.

Pagi harinya...
Saat alarmnya berbunyi dan dia mulai sadar... Aku tahu apa yang dia pikirkan ketika matanya bertemu mataku.

"Apa yang terjadi semalam?"

Dunia berhenti.

Selimut yang melorot dari bahunya.
Kulitnya yang tersingkap oleh gerakan kecil. Caranya menatap dadaku yang telanjang. Dia sama terkejutnya seperti aku, tapi juga... tidak bergerak menjauh. Bukan karena mabuk. Bukan karena bingung. Tapi karena tubuhnya ingat sesuatu yang otaknya coba lupakan.

Dia masih menginginkanku. Dan Tuhan tahu... aku masih menginginkan setiap inci dirinya.

Dalam prolog ini, tidak perlu ada yang dipastikan. Tidak harus ada jawaban.
Yang penting hanya satu hal: Malam itu, Kara datang sebagai mantanku. Tapi dia tidur sebagai milikku. Dan aku tidak siap membiarkannya pergi lagi.[]

AFTER WE BROKE UP | BBH [2024] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang