Kenapa?

218 15 2
                                    

(Azka Poov)

Samar-samar aku mendengarkan suara kayu yang dibakar. Aku mengerjapkan mataku, hari sudah gelap berarti aku pingsan sudah cukup lama.

Aku duduk menatap api unggun yang entah bagaimana ada di situ. Uh... Dimana ini?

Bukankah tadi ada penyihir yang menghadangku? Ya Tuhan! Vee! Dimana dia?

Aku menolehkan kepalaku dan melihat Vee yang tergeletak pingsan beberapa meter dariku. Segera aku mendekatinya.

"Vee! Ya Tuhan, Vee!" teriakku membangunkannya sambil menguncang-guncangkan tubuhnya.

"Ternyata kau sudah sadar" kata seseorang di belakangku. Aku membalikkan kepalaku dan melihat seorang laki-laki. Wajahnya tidak terlihat jelas karena gelapnya malam.

Dia berjalan mendekat selangkah.

"Berhenti! Jangan mendekat!" desiku. Namun dia terus melangkah hingga cahaya dari api unggun menyinari wajahnya.

"Anda?" ucapku. "Apa yang terjadi? Mengapa kau ada di sini?"

"Aku justru mau bertanya padamu. Mengapa kalian sampai di hadang penyihir?" tanyanya. Ah suara itu, aku rindu sekali mendengarnya.

"Tidak tahu" jawabku singkat. Dia duduk di sampingku, hmm... Bau tubuhnya masih sama. Hatiku berdetak cepat. Apakah aku masih menyukainya ketika aku tahu ia pembunuh ayahku?

Aku memeluk lututku.

"Apakah kau kedinginan?" tanyanya canggung. Aku menggeleng. Aku tidak suka suasana ini, hening. Aku sedang mencari topik yang asik untuk di bicarakan, namun buntu.

Mendadak aku berdiri dan memutar tubuhku.

"Kau cari apa?" katanya.

"Kudaku. Dimana kudaku?"

"Sudah ku ikat di pohon. Kau tenang saja" aku mengangguk paham lalu kembali duduk dan menatap api unggun.

"Apa kabarmu?" aku diam tanpa berniat menjawabnya. "Aku merindukanmu" gumamnya.

Deg....

Aku menatapnya tepat di bola matanya, berusaha mencari kebohongannya namun aku tak berhasil. Bukan karena aku tidak bisa tapi karena konsentrasiku lebih dulu buyar karena detakan jantungku yang memburu.

"Aku bersumpah. Bukan aku yang membunuh ayahmu, saat itu kedatanganku murni karena ingin meminta bantuan"

"Berhenti berbicara, Anda" ucapku dingin. Ia menghembuskan napasnya sangat keras hingga terdengar olehku. Jika saja ia tak menyebutkan ayahku mungkin detakan jantungku akan terus cepat dan keras.

Namun di detik pertama dia menyebutkan masalah itu, aku langsung kehilangan detak jantungku bersamaan dengan hilangnya harapanku.

"Pamanmu orang jahat. Dia akan merebut Klan Anaru dan Klan Atsuki. Kau harus berhati-hati, dia sedang..."

"Anda!" teriakku marah, dia terdiam. "Berani sekali kau menyebut pamanku 'dia' dan mengatakan hal-hal buruk untuknya. Bagaimanapun juga beliau yang menjaga Klan Anaru saat aku tidak ada"

"Menjauh dari Princess Azka!" teriak Vee yang sepertinya baru sadar. Ia menarikku dengan keras dan menyembunyikanku di belakang tubuhnya.

"Aku bukan orang jahat" katanya pasrah pada Vee. Sempat terbersit rasa kasihan melihat bola matanya yang menatap kami lelah.

"Tidak apa-apa Vee. Dia telah menyelamatkan kita" ucapku sambil menepuk pundak Vee.

Akhirnya kami duduk bertiga, namun Vee tetap kekeuh untuk menjauh dari Anda.

Si "Rambut Biru"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang