Bohong

141 10 10
                                    

(Eka Poov)

Aku mengusap sudut bibirku yang berdarah akibat tamparan keras ayahku. Ayah jelas marah besar padaku tak peduli dengan apapun alasan yang aku katakan pada ayah.

"Sudah Ayah katakan JAUHI DIA! Mengapa sulit sekali untuk membuatmu mengerti hah?" teriak Ayahku marah.

"Aku hanya tidak mau di tuduh sebagai pembunuh. Ayah! Aku adalah Putra Mahkota. Apa yang akan di katakan rakyatku nanti?"

"Rakyat pasti mengerti kita di fitnah. Dari awal juga klan Akatsuki dan Klan Anaru selalu berselisih jadi untuk apa kau bersikeras membuktikan kau bukan pembunuh?"

Aku terdiam. Ayah benar. Untuk apa aku melangkah sejauh ini?  Mengancam nyawaku? Aku yakin jika ayah tahu aku bekerja sama dengan Black Witch. Ayah bukan hanya menamparku saja, aku merinding membayangkannya.

Tiba-tiba dari dalam istana terdengar suara para dayang dan pengawal yang terlihat panik. Aku berjalan masuk ke dalam istana melihat apa yang terjadi.

"Ibu!!!!" jerit Azka parau. Aku berlari ke asal jeritan suara yang ternyata adalah kamar Lady Fiona.

Kulihat tubuh Lady Fiona yang bergetar hebat. Di sekelilingnya para dokter sedang sibuk melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan Lady Fiona.

Lalu seorang dayang masuk membawa nampan berisi obat. Aku mencegatnya.

"Obat apa ini?" tanyaku pada dayang itu. Dengan takut-takut dayang itu menjelaskan dengan takut-takut.

"APAKAH KAU GILA?!" teriakku kencang. Kamar yang tadinya sibuk menjadi hening.

"Ini yang kalian sebut obat?"

"ANDA!" teriak Azka.

"Azka! Ini itu racun! Kau di tipu mentah-mentah!"

"Kalian juga! Siapa yang bayar kalian hingga kalian rela memberi racun hah? Dimana rasa belas kasih kalian terhadap pasien?" teriakku kalap. Wajah para dokter memucat.

"Tapi itu obat! Bukan racun" jelas dokter itu gugup.

Aku mengambil nampan berisi obat lalu membawanya ke dokter yang terlihat seperti pemimpin. Lalu menyodorkan obat itu kepadanya.

"Buktikan" ucapku dingin.

"Anda! Keluar dari sini!" teriak Azka yang berdiri di belakangku.

"Aku tak akan pergi sebelum dokter ini meminum obatnya" jawabku tanpa menatap Azka. "Ayo minum! Kenapa? Kau takut?" kataku meremehkan. Dokter itu meneguk ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Prang!!!

Aku membanting mangkok obat itu. Membuat pias seisi ruangan.

"Katakan. SIAPA YANG BAYAR KALIAN?!" dokter itu menunduk dalam. "JAWAB!" teriakku di wajahnya.

"Vee!" panggil Azka pada asistennya.

"Periksa apa benar obat itu adalah racun?" perintah Azka.

Tanpa banyak tanya ia segera keluar ruangan melaksanakan tugasnya. Semoga dia benar-benar memihak pada Azka bukan mata-mata yang dikirim oleh orang itu untuk mencelakakan Azka.

Tubuh Lady Fiona kembali bergetar hebat bahkan di ikuti dengan muntah darah. Para perawat sigap bertindak. Tapi dokter itu diam mematung tak bergerak seinci pun.

Aku melangkah keluar istana dan menemukan seekor kuda yang dengan santainya merumput di halaman istana. Tanpa berpikir panjang aku segera menaikinya.

Dengan kecepatan tinggi aku membawa kudaku menuju gunung Ranveld. Aku jelas tidak bisa diam saja melihat Azka yang menangis saat Lady Fiona sakit. Benar apa kata ayahku aku tidak memiliki alasan untuk mengorbankan semua yang kumiliki. Aku tahu semua orang tahu alasan bahwa aku adalah Putra Mahkota hanyalah alasan belaka.

Aku sudah sampai. Belum, masih 2 malam lagi hingga aku sampai di Gunung Ranveld dan 1 hari lagi agar sampai di puncaknya.

Yang aku maksud adalah hutan rapat yang menurut Klan Anaru adalah tempat yang terlarang.

Mereka salah, tempat ini jadi terlarang karena ayahku, King Akihiko. Aku juga baru mengetahuinya baru-baru ini.

Mengapa ayahku menjadikannya tempat terlarang? Karena disinilah para penyihir tinggal.

Jika penyihir itu melihat satu saja bagian tubuhku, aku yakin tak butuh satu detik bagi mereka untuk menjadikanku santapan untuk binatang peliharaan mereka, atau bahkan mereka sendiri yang akan memakanku.

Aku tahu ini gila, sekarang aku sudah melupakan semua misiku, saat melihat Lady Fiona yang sakit dan melihat Princess Azka yang menangis.

Aku mengubah semua misiku, aku akan mengorbankan diriku agar Azka bahagia, aku tak peduli lagi dengan keselamatanku. Tak apa jika aku harus mati, yang penting Dita tahu aku adalah orang yang baik

Namun aku sudah memilih jadi dengan mantap aku menjalankan kudaku. Di detik terakhir Dita muncul di hadapanku.

"Anda!!!" Aku mengerjapkan mataku. "Apakah kau sudah gila? Kau ingin ke gunung Ranveld? Menembus tempat musuhmu?"

"Diam kau! apakah kau lupa kau bagian dari musuhku? Ah iya aku, yang tak tahu apa-apa dan dengan polosnya mengikuti kemauanmu. Aku tahu kau sedang menertawakan ku kan?" Teriakku kalap.

"Anda! Apa maksudmu?!"

"Maksudku? Bukannya seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau lakukan padaku, Hah? Apa yang terjadi hingga aku yang sedang tertidur di kamarku berada di kamar Princess Azka dan hampir membunuhnya?"

"Lalu kau pikir aku pelakunya? Aku juga tak tahu apa-apa! Mengapa kau berpikir itu aku? Aku sedang di rumahku"

"Ah. Ya sudah kalau kau tak mau mengaku, suatu saat akan ku buat kau berlutut memohon ampun kepadaku!" Aku segera menjalankan kudaku.

Saat aku sudah mulai memasuki hutan, aku menyadari kalimat Dita. Rumah.

Aku tak pernah tahu Dita punya rumah dan dimana dia. Dia yang selalu mendatangiku, jadi aku tak pernah curiga dan bertanya tentang rumahnya.

Apakah dia membohongiku?



Udah lama gak nulis, udah lupa sama konsep ni cerita. Mungkin ada yang bakalan nggak nyambung dengan cerita awal, mohon dimaklumi.


Si "Rambut Biru"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang