Sabil POV
"Apa sebenarnya masalahmu?" tanya seseorang pria yang sudah kupercaya sebagai kakak, adik, teman, sahabat, segala dan segalanya."Ini.. umm, rumit?"
Ia terlihat tidak puas "Apa yang rumit? Jelaskan padaku agar aku mengerti dan secepatnya menghajar pria yang membuatmu hancur begini"
Kisah cintaku rumit, Jo....
Kisah cinta? Apa serangkaian alur dimana hanya seorang yang merasakan cinta dapat dikatakan kisah cinta? Beritahu aku jika aku salah, namun sampai sekarang aku menganggap bahwa kisah cinta itu bermakna atau identik dengan bahagia, perasaan berbunga, dan lain sebagai macam rupa. Lalu, jika tidak ada alur bahagia, perasaan berbunga, pemberian bunga sudah pasti tidak dapat diharapkan dan sebagainya-sebagainya masihkah itu dikatakan kisah cinta?
Tragis, kisah tragis lebih pantas untuk dikatakan.
Ohh, baiklah aku memang mendramatisir. Namun kamu akan mengerti suatu saat nanti. Saat kau jatuh cinta. Menggelikan bukan? Cinta.. bagi seseorang sepertiku, cinta itu terlalu naif. Aku perempuan modern yang menganggap bahwa cinta adalah hal yang tidak masuk logika. Seseorang bisa gila karenanya.
Dan kini aku gila.
Are you fuckin' kidding me?
Hal yang tak ku percayai, bahkan untuk menyebutnya saja aku enggan dan pernah berpendapat bahwa hal ini menjijikan, kini aku alami. Jatuh cinta.
Ohh God!
Ini memang tidak masuk logika, tidak ada satupun sikapku yang masuk logika saat jatuh cinta. Seperti kau akan mengingat detail tentang si dia sementara tak sedikitpun materi pelajaran yang kau ingat. Mana mungkin aku membiarkan materi yang kupelajari, kulupakan begitu saja?
Aku mulai mual dengan pembahasan cinta. Kurasa cukup.
Ah, ya. Sedari awal cerita penulis belum memperkenalkanku bukan? Panggil saja Sabil, usiaku 16 tahun dan berada di bangku tingkat kedua sekolah menengah akhir. Aku.. seperti remaja lainnya, kupikir. Suka bermain, malas belajar, usil, penasaran. Um, penasaran? Kata itu mengingatkanku pada satu hal. Seseorang lebih tepatnya. Oke lupakan.
Hidupku tidaklah seperti para pemeran utama yang sangat kaya raya, atau memiliki paras yang sangat menawan, tubuh yang menggoda, kebetulan yang menggiurkan, dan lain sebagainya. Kebalikan. Justru hidupku terkesan hancur dan berantakan.
Astagfirullah.
Tapi jujur, seperti itulah keadaanku. Seperti sekarang.. bagaimana aku menjelaskannya? Aku sedang berbaring lalu seperti semua orang dirumahku berteriak, aku mengerti mereka membicarakan apa, yang tak kumengerti mengapa harus berteriak? Mengapa harus dihadapan ketiga manusia yang dititipkan kepada mereka? Ok, aku tidak masuk hitungan karena anggaplah aku telah terbiasa. Maka dua manusia, mereka bertengkar dihadapan dua manusia yang dititipkan Tuhan.
Bugh! Bugh!
Sebutlah aku sudah terbiasa sedari kecil mendengar keributan seperti ini, bahkan kekerasan. Namun masih terasa sesak, aku bahkan telah memukul dadaku berulang dan menghela napas setelahnya. Masih sesak.
Mereka bertengkar dan terus saling berteriak. Kau kira aku takkan tahu akhirnya? Aku akan mendengar suara paling jelek di dunia, tangisan ibuku.
Cukup. Kumohon cukup Tuhan, aku tidak mau menangis kali ini, aku tidak ingin mataku membengkak dan semua orang akan tahu hidupku tidak baik-baik saja. Aku tidak mau dikasihani, itu hanya akan membuatku mual.
Ayah benar, hanya ia menyampaikannya dengan cara yang salah. Ibuku tidak salah, tapi ia turut andil dalam masalah ini. Lalu apa? Kenapa harus berteriak? Tidak cukupkah selama 16 tahun mereka berteriak dan merusak psikologisku?
Baiklah aku menyerah, dan air mata mengalir dengan bebas dipipiku.
"Astagfirulloh astagfirulloh.. Ampuni dosa hambamu Ya Allah, hamba taubat. Demi Allah hamba bertaubat, ampuni hamba"
aku terus mengulang kata tersebut berharap semua malaikat mendengar dan menyampaikan kepada Tuhan.
Entah apa yang memenuhi dadaku hingga terasa sesak dan menyakitkan. Lalu sekelebat bayangan tentang semua dosaku terputar seperti rol film dokumenter dalam otakku.
"And we kissed"
Aku terus menjaga agar suaraku tidak keluar secara berlebihan. Berusaha agar suaraku tidak terdengar siapapun. Ma first kiss.. Aku bersumpah bahwa itu juga ciuman terakhirku sebelum aku menemukan seorang pria yang mengucap janji sakral pernikahan dihadapan ayahku.
-FIN-