"Karena aku tidak perduli jikapun kau bercucuran keringat, berlumuran oli atau bahkan bertaburan bubuk mesiu.. aku tetap mencintaimu" -Sabil
Sabil POV
Tidak ada manusia sempurna, sama halnya denganku maupun Angin. Setiap orang memiliki dark side dalam hidupnya.Angin.
Ia sudah mulai merokok sejak Sekolah Menengah, bolos sekolah, terlibat pertengkaran, bahkan narkoba.
"Sekolah dimana?"
Bukannya aku malu untuk menjawab, hanya saja aku takut Ibu tidak paham keputusan Angin seperti aku memahaminya. Jadi aku menggeleng, dan tentu saja kening Ibu berkerut "Angin lulus tahun lalu, ia bekerja" jawabku akhirnya.
"Kerja? Dimana?" nada bicara Ibu meninggi.
Aku kira Ibu senang jika aku memiliki kekasih yang sudah mampu membiayai minimal kebutuhan sehari-harinya "Em, bengkel kakeknya.."
Ibu diam, aku tahu Ibu kurang setuju tapi aku menyukainya.
"Pakai narkoba?!"
"Jo.."
"Kamu harus berbicara padanya, kau atau narkoba"
"Jo tidak semudah itu.." aku menyukainya, kau tahu aku tidak pernah menyukai pacarku dengan tulus kecuali dia, Jo. Mengertilah..
"Aku hanya khawatir padamu. Lakukan apa yang menurutmu terbaik" Jo menyerah "Tapi sampai aku dengar kau terjerumus, ia akan habis ditanganku"
Aku tersenyum, Jo selalu membuatku lebih berarti.
Entahlah, aku menerima Angin bagaimana adanya ia. Hidup adalah pilihan, tapi mencintainya bukanlah pilihanku. Itu terjadi begitu saja, dan aku tidak masalah dengan itu.
Tentang wanita lain..
Sama halnya seperti angin yang cepat hinggap kesana kemari, Angin juga seperti 'hinggap' pada wanita satu dan lainnya.
Angin hanya menambah teman, katanya saat itu. Aku paham dan aku menerima sikapnya.
"Ibu setuju jika memang keputusan kalian untuk bersama" ingin aku memekik saat itu juga jika saja Ibu tak menambahkan "Bersikaplah seperti remaja lain, wajar. Seorang anak gadis harus dapat menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya dihadapan Tuhan. Jangan berlebihan"
Seandainya Ibu tahu kehormatanku telah tercoreng. Tapi bukan berarti aku tidak dapat menjaga kehormatanku kali ini.
Tapi malam ini berkata lain.
Tangan kekarnya melingkari bahuku sementara aku bergelayut manja. Hangat tubuh kami bercampur menjadi rasa nyaman.
Belaian angin daratan tinggi yang dingin menusuk dan nyamannya pelukan ini membuaiku kedalam dunia alam bawah sadar, mimpi. Aku memejamkan mata untuk menikmati momen ini semakin nyaman karena jarinya yang mengusap lembut daguku.
Diantara suara gesekan daun bambu kuning yang kutanam dihalaman dan angin yang berhembus malam itu.. we kissed.
Masih terasa memabukan dan aku masih tidak dapat menolaknya.
Jika boleh membandingkan, ciuman kali ini terasa tak terburu-buru, lembut dan.. entahlah. Dosa ini lagi-lagi kunikmati.
Hh~ betapa hinanya aku, namun tidak munafik, aku merindukan saat seni kedua bibir bersatu.
"I love you.." hanya untaian tiga kata sederhana namun semua kekhawatiranku tentang dirinya, narkoba dan wanita lain sirna begitu saja.
Aku tersenyum, "love you too" balasku hampir ta bersuara.
Ia sangat manis kurasa, dengan cengiran khasnya dan ciuman ringan di keningku.
Kupikir hidup dengannya tidak buruk, aku akan cukup hanya dengan sikap manisnya ini.
Tunggu, tunggu, apa setiap orang jatuh cinta berubah menjadi naif dan munafik? Maksudku siapa manusia yang bisa hidup hanya dengan sikap manis? Iya jika manusia hidup tanpa perut yang perlu dipertimbangkan. Belum lagi zaman sudah serba maju segalanya perlu uang.
Okey, skip. Intinya aku menyukainya, sangat!
-FIN-