The Venus

38 3 0
                                    

Author POV

Venus. Identik dengan seorang wanita. Tapi kali ini bukan tentang wanita yang berasal dari planet Venus dan pria yang berasal dari Mars. Ini tentang sang bintang fajar.

Bintang yang paling dekat dengan Sabil, walaupun pada dasarnya venus bukanlah bintang, ia planet. Dan ini potongan kisah Sabil dengan pria yang disebutnya Venus.

Kenapa Venus? Lagi-lagi benda langit, entahlah mungkin Sabil berniat berbalik haluan dari peminatan MIPA menjadi Astronomi, Ok, fokus. Venus, bintang fajar, masih berhubungan dengan bintang. Karena pria ini... memiliki wajah yang cukup mirip dengan Bintang, yap, Bintangnya Sabil. Wajah Venus benar-benar menyerupai Bintang, belum lagi bibirnya, saat Venus menggigit bibirnya seperti yang Bintang lakukan. Lalu, dibandingkan Bintang yang pijakannya berjarak dengan Sabil, Venus lebih berkemungkinan untuk memijak satu ubin yang sama dengan Sabil. Ia begitu dekat dan jelas terlihat.

Beruntung atau malah kesialan hanyalah opini semata, yang Sabil ributkan disini ialah kentalnya kenangan bersama Bintang. Setiap melihat Venus, Sabil hanya membayangkan kalau Bintang yang berada disana dan melakukan apa yang Venus lakukan.

Tapi, tunggu, penulis harus mengklarifikasi bahwa kali ini, dalam kisah ini, Sabil tidak jatuh cinta pada Venus, sama sekali tidak. Mungkin nanti, who knows? Namun, intinya, Sabil sedikit banyak merasa kurang nyaman saat semua aktifitasnya dihantui bayangan Bintang dalam setiap gerak-gerik tubuh Venus.

"Bil," itu Venus. Sementara Sabil hanya melirik mempersilahkannya untuk melanjutkan "Laporan bahasa inggris sudah siap?"

"Emm.. ya" hanya menggumam, namun Sabil angkat bicara saat Venus tak menunjukan niatan untuk sekedar berpindah tempat "Apa?" dan terpaksa pula Sabil mengangkat pandangannya untuk bertemu pandang dengan Venus.

Venus menjawab dengan menggeleng polos lalu mengangguk sembari mengigit bibir bawahnya dan mulai melengos pergi.
Meringis, lalu menarik napas dalam dan hembuskan. Bibir itu... Sabil menggelengkan kepala menepis pikiran kotornya.

Bagaimana bisa aku berpikiran kotor membayangkan ciuman panas dengan Bintang saat melihat bibir Venus? Tidak, aku ini perempuan, mana ada perempuan memiliki nafsu binatang seliar ini. Aku bukan perempuan seperti itu.

Penulis kira 4 bulan cukup untuk membuat Sabil rindu dengan sentuhan Bintang. Rindu saat materi halus dan lembab itu mengecap bibirnya.

Tak ada yang ingin dikerjakan Sabil melebihi keinginannya tidur dikelas. Karena apa, karena ia tidak dapat berkonsentrasi saat melihat Venus, karena Venus, tapi, tidak, ini karena Bintang, karena Bintang yang terlalu mendominasi memori Sabil, memantrai Sabil agar terus menganggap Venus adalah bagian dari Bintang.

Lagi-lagi Bintang terlibat. Sebenarnya tidak, ini hanya kenangannya.

Penulis memaklumi, Bintang adalah yang pertama bagi Sabil. Cinta pertama, ciuman pertama, laki-laki pertama selain ayahnya yang bisa mengubah hidup Sabil.

Venus memiliki seorang kekasih, begitupula Bintang. Ah, ya, Bintang meresmikan seorang wanita beruntung untuk menjadi kekasihnya beberapa minggu lalu. Selanjutnya, Sabil? Ia tidak keberatan. Sabil mendukung hubungan Bintang dengan tulus, cintanya untuk Bintang lebih besar daripada keinginannya untuk memiliki Bintang secara utuh. Cinta? Sesederhana itukah? Ya, sesederhana Bintang datang memberi kenyamanan, perhatian, kasih sayang, semangat dan inspirasi dan mengubah semuanya dan menghancurkan semuanya. Brengsek! Tapi lagi-lagi semuanya tahu tidak ada yang boleh memanggil Bintang brengsek, baik dihadapan Sabil ataupun dibelakangnya.

"Brengsek? Tahu apa kau tentang ia? Pernah kau berada diposisinya? Atau sekedar disampingnya, menyimak keluh-kesahnya, mendengar suaranya yang bergetar, melihat tatapannya yang memelas?"

Alibi Sabil.

--

Venus pemeran utamanya kini, maka, fokus. Ya, seperti sekarang, Venus sedang bercanda dengan Shania, temannya, teman Sabil, yah, teman mereka.

Shania yang berisik dan Venus yang jahil, mereka begitu dekat dan akrab... Sabil baru menyadari sesuatu, ia cemburu. Bukan pada Venus dan Shania. Ia cemburu pada orang yang dapat setiap hari bersama Bintang, bercanda, atau setidaknya melihatnya setiap pagi, memberi senyuman sapaan. Apa rasanya menjadi kekasih Bintang, tiba-tiba saja pikiran itu terlintas dan begitu menohok hati Sabil. Pasti membanggakan, menyenangkan. Ia tahu perjuangan Bintang untuk mendapatkan kekasihnya yang sekarang. Lagi, "Apa saja yang telah mereka lakukan? Apa Bintang melakukan hal yang sama pada kekasihnya seperti yang kita lakukan?" pertanyaan itu terus menghantui Sabil, memunculkan perasaan tidak rela. Tidak rela saat ciuman Bintang bukan lagi untuknya.

Berpikir apa aku ini, bukankah seharusnya aku tidak rela karena Bintang sekarang memiliki kekasih? Kenapa harus karena ciuman? Tapi... jujur aku memang merindukannya, aishhhh.. Bintang, idk, i miss u.

Entahlah semenjak pikiran ini muncul, Sabil membenci kebiasaannya memperhatikan bibir seseorang. Karena bukan tidak mungkin ia memperhatikan bibir Venus dan menjadi gila karena merindukan Bintang. Bibirnya. Baiklah, semua yang ada pada Bintang ia rindukan, terutama bibirnya. Aih, anak ini.

Venus, venus, venus... jadilah penawar kegilaan Sabil pada Bintang walaupun Penulis tidak yakin.

-FIN-

SabilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang