Wind, wind and wind

48 5 0
                                    

"Harusnya kau tahu aku tidak cukup baik bagimu, tapi kau masih mau bertahan" -Angin

Author POV
"Baiklah, sekarang, kemana dia?" Jo serius menginterogasi Sabil.

Sementara Sabil?

Seperti biasa, ia terlihat cuek dan tak perduli, menjawab sekenanya dengan mengedikan kepalanya "Mungkin dirumahnya"

Jo menghela napas, "Kau tahu maksudku"

"Yah, kami telah berpisah, then what? Aku baik-baik saja" masih jelas kekhawatiran Jo, tapi Sabil terus meyakinkan dengan tatapannya.

Tidak ada yang baik-baik saja saat ditinggal seseorang yang disayang.

Begitu pula Sabil, Jo tahu itu.

Tidak ada yang berbeda, jika perempuan lain menangis saat berpisah dengan kekasihnya, Sabil tidak. Selalu seperti itu, hingga kali ke sepuluh. Ya, Angin resmi menjadi mantan ke-10 Sabil. Tersentak rupanya Sabil menyadari ia pernah bersama dengan 10 orang berbeda. Like, WOW! Oke, enough.

Tidak ada yang berubah..

Tidak ada..

Tidak, ada..

Ada.

Sekilas ia tidak menangis, biasa saja, cuek, datar. Bahkan terlalu datar, justru karena terlalu datar.

Tidak ada yang mampu membuat Sabil murung saat bersama temannya, kecuali Angin. Ya, sedikitnya teman-teman dekat Sabil pasti menyadari ini. Bahwa Sabil lelah, ia bahkan tak pernah benar-benar menyukai siapapun yang menjadi kekasihnya, namun lagi-lagi, kecuali Angin.

Kadang Sabil terlihat berpikir, lalu menghela napas kecewa. Ada yang kosong dalam rongga dadanya. Ia meraba perlahan, dan berharap semoga bukan jantung atau paru-parunya yang hilang, ia tak punya uang untuk membeli jantung atau paru-paru milik orang lain.

Lantas, bisakah ia membeli Angin?

Angin adalah angin, yang tergenggampun tidak.

Beberapa hari ini Sabil menjadi menyebalkan karena ia terus menerus senyum dan tertawa. Maksudku, hey! Semua orang tahu itu tipuan, dan kau tidak baik-baik saja seperti yang ingin kau tunjukan. Lagipula wajah Sabil tidak secantik pemeran iklan kosmetik, ia semakin hancur saat berpura-pura. Penulis hanya jujur.

--

Hari ini Sabil bangun dengan keadaan ditinggal sendirian dirumah. Menuju balkon rumahnya yang berada satu lantai dengan kamarnya di lantai 2. Penyegaran rohani, katanya setelah bangun dari mimpi yang takkan pernah menjadi nyata, sebelum mandi, seperti menyapa alam dan pemandangan perkebunan dan kota dari kejauhan. Berbicara pada sinar matahari pagi dan semilir angin membelai lembut tubuhnya yang tiba-tiba ringkih.

Hai, angin.
sampaikan pada seseorang yang kapanggil Angin, bahwa aku.. em, merindunya. Dan.. ia bisa kembali sebagai apapun statusnya.. bahwa.. entahlah, ia telah membawa milikku yang berharga, sebagian hatiku.

Ada hal tentang Angin yang membuat Sabil entah bagaimana dilanda dilemma berkepanjangan.

--

"Kau tahu aku pernah mengalami masa keterpurukan dengan Bintang. Lalu.. kau datang dan.. kau.."

Angin terlihat datar, namun sorotan matanya masih menatap Sabil possessive "Harusnya kau tahu aku tidak cukup baik bagimu, tapi kau masih mau bertahan"

"Aku takkan bertahan jika bukan kau yang memberi uluran tanganmu" menghela napas dan Sabil seperti menemukan kembali gumpalan kerikil yang mengganjal pernafasannya, sesak. "Baiklah, kurasa.."

"Maaf"

"Kurasa memang harus begini.."

"Maaf"

"Haruskah begini akhirnya?"

"Maaf..."

--

"Angin tidak memerlukan alasan untuk berhembus di suatu tempat, membelai apapun yang dilaluinya. Begitupula Angin tak memerlukan alasan untuk meninggalkan dan berpindah ke tempat lain, karena begitulah hidupnya, selalu bergerak" -Sabil

-FIN-

SabilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang