Author POV
Sabil menjalani hidupnya dengan baik.Tidak, tidak ada yang baik-baik saja setelah Bintang datang, hidupnya penuh kekhawatiran. Sabil tidak akan suka aku menulis Bintang lagi sebagai pemeran utama. Akupun tidak suka. Jadi, ok, ulangi.
Sabil menjalani hidupnya dengan lebih baik, lebih baik dari beberapa bulan terakhir. Ibadahnya mulai berjalan tanpa berdampingan dengan dosa. Maksud penulis, dosa akan selalu ada, tapi Sabil mulai meminimalisir.
"Sehabis gelap, aku kerumah"
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabil merasakan jantungnya berdegup cepat dan secara reflek mengukir senyum. Entahlah, kalian tahu, sepertinya ia mulai membuka hatinya untuk satu pria ini. Aw, penulis sangat bersemangat melihatnya seperti ini, berbunga.
Spontanitas, berani, tidak banyak basa-basi, to the point. Penulis kira itu yang membuat Sabil mulai sedikit demi sedikit menaruh hati padanya.
Bukan satu, dua pria yang mencoba mendobrak lingkaran pertemanan Sabil. Yah, banyak, banyak pria yang mencoba menjadikan Sabil miliknya, tapi hanya akan ada dua akhir dari nasib hubungan keduanya. Teman, atau tidak sama sekali.
Di bawah langit telanjang yang kelam dan dinginnya area pegunungan malam itu..
"Aku menyukai Rissha"
Pernyataan itu entah mengapa membuat Sabil berhenti bernapas untuk sepersekian detik. Hanya sepersekian detik. Tak ada yang terjadi pada jantungnya.
Ia belum benar-benar membuka hati ternyata.
--
"Aku sayang kamu"
Ini klimaksnya. Sabil benar-benar tidak dapat berpura-pura bodoh dengan semua kalimat manis pria ini lalu tertawa garing menanggapinya atau mengganggap semua berbatas 'teman'.
Ia menahan perasaannya selama ini mengetahui ia memiliki 'wanita' lain dihati pria itu. Tapi tiba-tiba ia bilang bahwa Sabil lah yang telah mengambil hatinya.
Dan diantara tugas perpangkatan milik Sabil yang baru setengahnya dikerjakan.. Mereka mengikatkan sebuah hubungan sederhana. Disaat yang bersamaan, angin berhembus. Mengingatkan Sabil pada percakapan singkatnya kemarin dengan pria ini.
"Kamu kedinginan?"
Sabil menggeleng "Aku suka angin"
"Aku juga" Sabil menatap pria yang sebenarnya telah terlebih dahulu menatapnya.
Dan penulis tahu Sabil akan memanggil pria itu.. Angin
"Kamu yakin dia pantas untukmu? Aku tidak mau kamu terluka seperti kamu dilukai Bintang"
Peringatan Jo membuyarkan lamunan Sabil. Ia tersenyum.
"Ia berbeda. Semoga.." sebenarnya Sabil tidak yakin dengan pernyataannya, tapi yang ia yakini adalah tidak ada yang sia-sia. Jikapun ia gagal kali ini, ia percaya ada hikmah setelahnya.
Jo menatap Sabil dengan tatapan yang teduh namun penuh kekhawatiran seakan menuntut keyakinan untuk mempercayakan Sabil pada pria satu ini.
Sama seperti Jo, penulis juga menaruh harapan pada Angin. Karena jujur, siapa pun yang mengenal Sabil pasti tau masa 'jatuh' nya Sabil sejatuh-jatuhnya dan Angin lah yang membuatnya sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukan.
Hidup memang tidak ada yang tahu akan bagaimana selanjutnya. Tapi kemarin, selama perjalanan hidup Sabil, adalah masa keterpurukannya. Dan semoga tak ada keterpurukan lainnya lagi dimasa mendatang, kalaupun ada, semoga Sabil lebih kuat dan tegar.
Sabil POV
Angin.. Angin..Entahlah, aku selalu suka saat angin berhembus menyapa kulitku, menggoyahkan tatanan hijabku.
Memabukan, menenangkan.
Aku bingung harus mendeskripsikan bagaimana lagi, tapi yang pasti aku menyukai angin, sangat!
Bukan karena pria yang kusebut Angin, tapi memang pada dasarnya aku menyukai angin.
Dan terlepas dari masalah kepercayaan, elemenku angin. Aku digambarkan sebagai angin yang selalu berpindah, berubah, dan bebas.
Dan benar apa yang penulis katakan sebelumnya, aku menyukai caranya berterus terang, spontanitas, berani mengambil langkah, tidak banyak basa-basi, dan.. sweet. Seperti semua takarannya pas, sikap sopannya, manisnya, dewasanya, lucunya, konyolnya, semuanya. Semua, yah semua, eh, kecuali sikap genitnya.
Yah, dia genit, sebenarnya aku mengerti ia hanya mencoba bersikap baik dan manis dihadapan semua orang, terkhusus, perempuan. Niatnya tak lebih dari sekedar memperluas pertemanan-
Entahlah, saat menulis dua paragraf terakhir aku menemukan kemiripan Angin dan Bintang. Yah, keduanya mirip secara sikap dan pemikiran, dari caranya berbicara juga saat tertawa. Tunggu, aku benar-benar menyukai Angin karena Angin adalah Angin. Bukan karena Angin yang berperilaku seperti Bintang, bukan kemiripannya. Aku yakin itu. Aku tidak akan membahas Bintang lebih jauh lagi dan yang perlu kutegaskan bahwa aku benar-benar menyayangi Angin.
Entahlah bagaimana bisa aku menyukainya. Tapi semoga ini takkan membuatku terjatuh lagi.
-FIN-