Author POV
Suara detak jam terdengar nyaring diruangan berukuran 5x6 meter yang hanya diisi satu set kasur, dua lemari besar, dan satu line besar rak buku, serta beberapa accessories seperti pigura, poster dan gantungan baju. Tak ada suara lain selain jam tersebut sehingga suara detaknya mendominasi.Bugh!
Suara lain muncul, dimulai dari pintu yang terbuka lalu tertutup, langkah seseorang, hingga benturan keras antara tubuh dan kasur yang memantul. Sabil, seseorang yang memasuki ruangan ini ialah Sabil.
Masih dengan seragam putih-abunya ia bergegas menyambar novel yang kemarin belum sempat ia selesaikan. Tidak sampai satu jam dan novel tersebut resmi telah terbaca seluruhnya. Tidak banyak memang, kalau saja kemarin ia tidak dihantui tugas, mungkin novel tersebut selesai saat itu juga. Namun seakan belum puas, ia berniat membaca novel lagi.
Didalam lemari besar yang diperuntukan untuk seprai, cadangan bantal dam selimut, Sabil menyembunyikannya. Novel erotis. Terkadang judulnya saja vulgar, dengan cover menantang, isinya? Samar, tidak seerotis judul dan covernya. Tapi tetap saja bahaya jika seseorang mengetahui koleksi yang cukup 'menyimpang' bagi seorang remaja putri, katanya.
Satu jam.. Dua jam...
Sabil masih asik membaca novel, tidak ada yang berubah, masih Sabil yang sama, pecandu sex. Keingintahuan yang besar dan keberanian yang diatas rata-rata, atau lebih dikenal dengan keberanian yang negative.
Namun waktu berjalan, tidak ada yang tidak berubah.
Jika dahulu Sabil akan dengan tenang membaca novel maka akhir-akhir ini ia lebih sering menghela napasnya.
Helaan napasnya lebih seperti 'baiklah-aku-menyadari-pengaruh-dirinya-memang besar'. Sementara helaan napas kedua dan selanjutnya sama artinya dengan 'aku-menyesali-ini-sangat-banyak'. Bagaimana tidak? Sabil baru menyadari hidupnya sedikit banyak seperti beberapa adegan dalam novel. Ya, hidupnya, terutama bagian percintaan.
Oh, sungguh Sabil muak dengan kata percintaan. Ia bukanlah seseorang yang dengan tulus berkorban demi seorang lawan jenis, mendamba, mengharap, bersabar, dan selebihnya yang membuat Sabil mual. Ia lebih seperti seorang yang hari ini ia memuja seorang lawan jenis lalu besoknya ia lupa apa yang ia katakan tentang orang tersebut. Tapi sekarang ia dipaksa menelan pil pahit dimana kenyataannya sekarang ia terjebak dalam kisah percintaan yang rumit.
Ia mulai merasakan segala macam virus, bakteri dan kuman mulai menggerogoti dirinya. Ah, lebih tepatnya psikologisnya, kondisi psikisnya tidak terlalu baik. Ia sehat secara fisik, dapat berjalan, mengerjakan sesuatu, berpikir, berpikir dalam kegiatan belajar, namun terkadang itupun terganggu. Psikisnya sakit. Jiwanya tertekan.
Bukannya berlebihan. Bayangkan, hampir 3 bulan penuh ia mengenal 'cinta' dan mereka hampir melakukan banyak hal, membicarakan segala macam kejadian masa lalu, sekarang dan rencana yang kini tinggalah rencana.
Sabil hanya membaca beberapa kalimat.
Ciuman Christian menggebu-gebu, keras namun terasa lembut. Sabrina terlena, rasanya ia bisa hidup hanya berciuman dengan Christian. Sabrina yang memiliki kemampuan berciuman yang minim tidak mampu menandingi Christian. —One Night Stand, Part I, @Chantiqe
Hanya satu paragraf dengan beberapa kalimat dan sejumlah kata yang sederhana. Namun dapat dengan tepat memutar memorinya tepat saat ciuman pertamanya.. dan Bintang. Penulis menyebutnya disini Bintang, karena.. entahlah, Sabil memanggilnya dengan berbagai macam sebutan tapi penulis tertarik dengan sebutan Bintang.
Bersinar, dikagumi banyak orang dan tak tercapai. Sangat tinggi, konsisten pada tempatnya, tak tergenggam.
Tapi mungkin sedikit tidak masuk akal. Berciuman dengan bintang? Tergenggampun tigak. Tapi Sabil berciuman dengan Bintang.
Matanya tertutup, alisnya mengkerut, sementara lengkungan bibir mungilnya meringis perih. Sekelebatan itu terus saja mengganggu kinerja otak Sabil dan membuatnya pusing. Benar-benar pusing, seperti penyakit, kau tahu? Saat tubuhmu demam dan kau harus berjalan, kau merasa pusing. Ya, seperti itu. Untunglah Sabil sedang bersandar pada tumpukan bantal yang sengaja dibuatnya, karna dapat dipastikan tubuhnya akan oleng menjelang jatuh dalam sekali hentakan untuk mencoba berdiri.
Belakangan ini Sabil tahu bahwa Bintang memiliki bintang dihatinya. Sabil merasa tidak apa-apa akan hal itu. Ia merasa itu wajar karena laki-laki akan selalu tertarik dengan perempuan dan begitupula sebaliknya. Tapi yang tidak wajar justru dirinya, karna sebagai seorang perempuan, kini ia tidak tertaril dengan laki-laki, melainkan Sabil akan selalu tertarik dengan Bintang. Ah, ralat, kenangannya.
Ya, karena bukan bagaimana kita melupakan seseorang saat patah hati, tapi bagaimana kita melupakan kenangan. Seperti yang Sabil alami kini, ia sudah bisa 'move on' dari Bintang, tapi tidak dengan kenangannya.
Belum.
Sabil hanya perlu punya banyak kenangan bersama orang lain dan ia akan menyudahi terror kenangan ini.
Sebutlah Penulis seorang yang kuper, pengetahuan cetek, kurang bergaul, belum punya banyak refrensi pengalaman dan atau sebagainya. Tapi bagi penulis, 'terror kenangan' yang dialami Sabil cukup parah. Sangat. Paling parah dari sekian yang pernah Penulis tahu.
Sabil hanya akan merasa sakit walaupun dengan satu kata sederhana yang pernah mereka bahas. Memejamkan matanya sebentar untuk menghilangkan kilatan cahaya yang membawanya mengenang saat itu.
Dengan begitu, ia terlalu takut untuk sekedar berdiskusi atau membaca sesuatu tentang percintaan. Dan mulai kemarin hingga hari ini, hari dimana ia memberanikan diri lagi untuk sekedar membaca novel. Ia tidak sanggup, berulangkali kamarnya terasa kekurangan oksigen dan ia harus bersusah payah menghirup pahit-pahit entah apa yang masuk kedalam paru-parunya karna itu terasa sesak.
Terlambat untuk menyudahi ini tapi terlalu menyiksa jika terus dilanjutkan.
Sabil tetaplah Sabil yang pada pendiriannya.
Lebih baik sakit yang teramat sangat hingga titik tertingginya lalu tidak merasakan sakit yang berarti dikemudian hari.
Lebih baik lelah yang membuat seluruh otor lemah hingga titik stamina terbawah lalu tidak merasakan lelah mengerjakan hal lain dikemudian hari.
Lebih baik berdosa besar sekarang tanpa mengulanginya daripada berbuat dosa kecil yang dilakukan terus menerus berulang dan beragam.
Ia berpegang teguh pada ketiganya, ah, kecuali yang ketiga. Setelah dosa besarnya saat itu dengan Bintang, kau tahu cium dan segala macam, ia terus mengulang dengan berbagai macam dosa lain.
Sabil ingin bertaubat, namun nampaknya setan telah mengetahui spot yang tepat untuk menggoda cucu Adam. Seperti berlangganan, dibisikan lagi dan lagi godaan untuk berdosa. Sementara dengan psikisnya yang lemah, ia kalah.
Tidak ada alasan untuk berdosa, entah itu psikis atau kenangan. Dosa tetaplah dosa. Dosa kembali saat Sabil menikmatinya.
Menikmati dosa sekaligus kenangannya.
Jika dilihat-lihat, Sabil sedikit banyak seperti seorang yang terkena gangguan jiwa rendah. Kadang ia merasa sangat sedih, kesepian dan ditinggalkan sementara sebagian lain ia merasa cuek bebek dan lebih kepada tidak peeduli. Sangat sensitif akan suatu hal. Ditambah jika hal tersebut menyangkut Bintang.
Ia, Sabil, terlalu lemah dan sudah dapat dipastikan kalah oleh kenangannya sendiri. Kalah telak.
-FIN-
———————————————————
Note: Sampe saat ini, part ini terpanjang yahh, fiuuuhh. ctb gaakan maksa buat vote kok kalo emang ga suka, tapi kalo suka sama ceritanya jangan pelit dong:(( dan buat yang udah vote cerita sebelumnya dengan paksaan makasih udah mau dipaksa aw wkwk. fyi aja ini based on real story lhooo. ok gapenting, intinya makasihhh