Song for this chapter: A Little Too Much - Shawn Mendes
***
Suara nada dering yang berasal dari ponsel Bea membuat gadis itu kembali membuka matanya. Gadis itu sama sekali belum tidur. Bea merasakkan perih yang luar biasa ketika ia bergerak. Lima goresan yang ia perbuat beberapa menit yang lalu terasa begitu perih.
Dengan susah paah, tangannya meraba-raba meja yang berada di samping kasurnya. Bea langsung menggeser layarnya agar dapat tersambungt dengan si pemanggil. Louis.
"Bea, cepetan keluar. Gue di depan." dan lagi-lagi Louis langsung saja menyerocos.
Kening Bea berkedut. Untuk apa Louis datang malam-malam seperti ini? "Louis, lo ngapain? Mending lo balik ke rumah aja. Udah malem, harusnya lo tidur."
"Gue ga bisa tidur kalo lo nangis. Cepetan keluar, gue pengen bikin lo seneng supaya ga nangis lagi."
Bukan, bukannya Bea tidak mau Louis menjemputnya ke rumah. Tetapi, Bea sudah melakukan hal yang paling Louis tidak suka; cutting.
"Malah diem, cepetan kesini."
Bea meneguk liurnya, jantungnya berpacu dengan cepat. "Gimana caranya gue kabur? Di depan ada satpam, gimana sih lo."
"Gue udah bukain gerbangnya, satpam lo tidur. Buruan bego."
"Trus gue kaburnya gimana? Yakali lewat jendela."
"Lewat pintu, canggih dikit dong tuh otak."
"Ini jam berapa sih?"
"Setengah empat. Cepetan, entar jam lima gue anterin pulang."
"Iya-iya, bentar."
***
"Mata lo sembab banget," gumam Louis saat Bea memasukki mobilnya dan duduk di kursi penumpang.
Bea bersandar di kursinya, tangannya bergerak untuk mengucek matanya yang terasa masih berat. Kedua matanya berkedip-kedip.
Tentu saja Bea berhasil kabur dari rumahnya. Bea bisa dengan mudah keluar dari kamar karena; letak kamarnya yang strategis. Kamarnya berada di lantai dua, sedangkan kamar Ibunya terletak di lantai bawah sehingga Ibunya pasti tidak mungkin menangkap suara-suara yang aneh. Di tambah dengan Louis yang dapat membuka pintu pagar tanpa membangunkan satpamnya.
Gadis itu memakai sweater berwarna merah muda yang menutupi luka di pergelangan tangannya sehingga Louis tidak dapat melihat luka-luka tersebut.
"Udah berapa lama lo kayak gini?" tanya Louis, matanya melirik keberadaan Bea dari kaca spionnya.
"Hampir dua minggu," jawab Bea. "Louis, gue bener-bener capek nangis tengah malem. Gue abnormal. Gue aneh."
Bea menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik napasnya dalam-dalam. Jangan menangis, jangan menangis.
"Anjing," umpat Bea saat air mata itu kembali menyapa dirinya. Gadis itu kembali menarik napas lebih dalam lagi, menggigit bibirnya agar isak tangisnya tidak keluar.
Ketika Louis mendengar umpatan tersebut, cowok itu langusng melirik Bea yang sedang berusaha menghapus air matanya dari kaca spion. "Bea, jangan gitu."
"Bahkan disaat seperti ini gue nangis!" pekik Bea, isakkannya semakin menjadi-jadi. Tubuhnya meringkuk di atas kursi.
Louis masih menatap gadis yang berada di sampingnya itu dari kaca spion, lalu menepikan mobilnya. Louis membawa tubuh gadis itu masuk ke dalam rengkuhannya, mengusap-usap kepala Bea agar gadis itu dapat merasa lebih tenang.
"Kenapa gue kaya gini? Kenapa mama gue selalu bertingkah dia nyesel ngelahirin gue? Kenapa gue sering nangis tanpa sebab? Kenapa mama gue bersikap seakan dia benci sama gue? Kenapa gue sering mikirin hal bodoh sampe akhirnya nangis? Kenapa gue sering mikirin berlebihan? Kenapa gue hidup? Kenapa harus ada yang namanya Beatrix Maguire di dunia ini? Kenapa ─"
"Bea, cukup!" Louis menyentak Bea.
Gadis itu terguncang, benar-benar terguncang. Suara nyaring Louis berhasil membuat mulutnya tertutup rapat-rapat. Bea merasakan air matanya semakin menumpuk di kelopak matanya, air mata itu kembali tumpah. "Louis..." lirih Bea.
"Gue sayang sama lo," kata Louis. "Dengar, kalo lo butuh gue kapanpun waktu lo lagi nangis kaya gini, hubungin gue. Gue sayang sama lo, Bea. Gue bakal selalu ada buat lo."
Bea menarik napasnya dalam. Namun, gadis itu kembali menangis lepas dalam pelukan Louis. Jarak mereka benar-benar dekat, bahkan Bea dapat merasakan hembusan napas panas Louis menelusuri rambutnya.
"Bea, udah, jangan nangis. Lo ga sayang sama mata lo? Entar mata lo jelek kalo terus-terusan nangis," ujar Louis pelan, suaranya benar-benar lembut.
"Gue juga ga mau nangis kaya gini, tapi gue bisa apa?" jawab Bea.
"Lo tau, lo punya gue."
Mulut Bea yang biasanya tak berhenti berceloteh kini hanya mengatup sama sekali tidak ada mengeluarkan sepatah kata pun.
Louis melepas pelukannya, wajahnya mulai beralih berhadapan dengan wajah Bea. Hidung mereka bertemu sehingga dapat merasakan napas satu sama lain. Jarak yang tersisa pun hanya beberapa inci, sampai akhirnya tidak ada lapisan lagi yang ada di antara mereka ketika Louis memiringkan wajahnya dan mencium bibir mungil gadis yang berada di hadapannya itu. Tangan cowok itu menyentuh dan menelusuri garis rahang Bea dengan jemari-jemarinya.
Tertegun; hanya hal itulah yang berada di dalam diri gadis berambut coklat itu. Bahkan ia sama sekali tidak membalas ciuman tersebut, rasanya benar-benar aneh untuk membaas ciuman seorang sahabat.
Ini salah. Benar-benar salah. Namun apa boleh buat, Bea menyukai hal itu.
Napas Bea memburu ketika mulut mereka tidak bertautan lagi. Namun, mata Louis masih menatap mata Bea dengan intens, seakan menelusuri pupil matanya. Gadis itu tentu sadar dengan apa yang barusan Louis lakukan. "Louis!"
Louis membelalak lalu cepat-cepat menjauhkan wajahnya dari Bea dan kembali duduk tegak di kursi pengemudinya. "Makanya jangan nangis mulu, entar gue cium lagi."
"Ew."
***
Fixgue keinspirasi bikin ff ini dari lagu a little too much. Jfhaifudh
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Soul » lt
Fanfiction❝ Sometimes, the saddest people smile the brightest. ❞ Copyright © 2015 by vischa All Rights Reserved