Mata Bea terasa sangat berat ketika ia terbangun dari alam bawah sadarnya. Menangis di beberapa terakhir, di tambah tangisan tanpa sebab semalaman membuat matanya bengkak dan begitu perih, hidungnya pun memerah.
Pikiran Bea kembali melayang ke arah percakapan kedua orang tuanya, benar-benar tidak dapat di cerna oleh otaknya. Ibunya membencinya, bahkan tidak menginginkan keberadaannya.
Lalu dengan Louis, cowok itu masih saja bersikap seolah tidak ingin bertemu dengan Bea lagi. Padahal biasanya, mata yang berwarna biru teduh itu menghangatkannya ketika bertemu dengan matanya.
Louis.
L o u i s. Cowok itu berhasil menyita seluruh perhatian Bea meskipun seluruh perhatiannya jatuh kepada kekasihnya saat ini, Haley. Tawaan cowok itu terdengar begitu renyah, juga dekapannya yang terasa begitu nyaman dan damai.
Gadis itu melirik jam dinding yang berada di atas meja belajarnya. Pukul dua belas siang. Sialan, dia meninggalkan sekolah hari ini.
Bea bergerak dari tempat tidurnya, kemudian berjalan ke kamar mandi. Dia sedang malas untuk berada di rumah, begitu pula dengan sekolah. Bea ingin keluar sebentar, setidaknya untuk mencari angin.
Sesampainya di kamar mandi, Bea menanggalkan seluruh pakaiannya lalu menyalakan keran dan mengaturnya ke suhu air hangat. Sekelompok butiran air hangat seketika menghujam pori-pori kulitnya, rasa hangatnya kian memasuki kulit Bea melalui pori-pori, membuat tubuhnya lebih rileks walaupun rasa sakit di pipinya dan bekas sayatan di tangannya terasa ketika terkena air hangat. Di beberapa menit kemudian, Bea mengambil sabun.
Tidak perlu waktu lama untuk Bea mandi kali ini, hanya sepuluh menit dan gadis itu keluar dari kamar mandi dan cepat-cepat mencari pakaian yang akan ia kenakan. Bea menguap selagi ia menggosok-gosokan rambutnya di handuk.
Setelah selesai, pun ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar dan menapaki satu per satu anak tangga yang membawanya ke lantai bawah. Ketika sampai di ujung anak tangga, sepasang telinganya mendengar suara teriakan yang lebih sengit. Di tambah dengan suara tangisan yang sepertinya keluar dari suara Mrs. Maguire.
Dia melirik kamar orang tuanya yang terbuka; benar saja, suara isak tangis tersebut keluar dari mulut Ibunya yang sedang menangis di pojokan kamar sembari memegangi pipinya. Bea tahu wanita tua itu adalah wanita yang membencinya, tetapi Bea begitu menyayangi Ibunya sendiri. Dengan langkah cepat, gadis itu langsung pergi ke kamar orang tuanya yang terbuka dan dengan refleks memeluk tubuh Ibunya erat.
"Ma, aku sayang sama mama. Mama jangan nangis. Papa ngapain, mama, sih?!" tanya Bea, nyaris menyentak. Posisinya masih sama, berjongkok dan memeluk tubuh Ibunya erat. Bea tidak mendengarkan apa yang di katakan oleh Ayahnya setelahnya.
Ketika Bea ingin berkata sesuatu, Ibunya malah mendorongnya untuk mejauh dan menatapnya tajam. Tatapannya benar-benar tidak suka. "Jangan panggil saya mama lagi. Saya bukan mama kamu lagi."
"ANJ─ Ngomong lagi, ngomong! Kamu ngomong apa, sih, Lauren?! Kamu bisa bikin penyakitnya kambuh! Dia itu anak kamu, keluar dari rahim kamu! Gimana biasa kamu nyuruh dia untuk ga manggil kamu dengan sebutan 'mama'?!" Mr. Maguire menggertak.
Bea benar-benar kehabisan kata-kata, otaknya tidak dapat mencerna kejadian ini. Semuanya sudah terlalu banyak untuk dicerna. "Aku. Gak. Akan. Manggil. Kamu. Dengan. Sebutan. 'Mama'. Lagi. Lauren. Sialan."
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang masih saja beragumentasi. Bea tahu kata-kata tersebut kelewat kasar, memanggil Ibunya dengan nama, bahkan mengatainya dengan umpatan yang benar-benar kasar. Bea tahu dia benar-benar durhaka, tapi hatinya kelewat sakit sehingga tidak dapat lagi mengontrol atau bahkan menyaring kata-kata yang terlontarkan dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Soul » lt
Fanfiction❝ Sometimes, the saddest people smile the brightest. ❞ Copyright © 2015 by vischa All Rights Reserved