Sore ini, terdapat seorang gadis yang sedang menghisap batang rokok ketiganya. Hal ini baru pertama kalinya ia lakukan, tetapi ini enak. Membuatnya merasa kecanduan. Walaupun sempat terbatuk-batuk dan sulit bernapas pada percobaan pertama, Bea tidak menyerah dan ingin menghisapnya lagi dan lagi.
Bea mengapit batang rokok itu dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, kepulan-kepulan asap putih berkeluaran liar dari mulutnya. Gadis itu tahu bahwa ini salah, tak seharusnya ia lakukan. Tetapi Bea tidak memiliki pilihan lain, hal ini adalah salah satu cara agar tidak menangis pada saat ia menyendiri.
Terdengar lantunan lirik-lirik lagu dari mulut Bea selagi ia menghisap rokoknya, tangan kiri gadis itu beranjak untuk mengambil secangkir coklat panas yang berada di meja sebelah kursinya.
"Beaa!" sepasang indra pendengaran Bea menangkap suara seorang cowok menyeru dari luar kamarnya, terdengar beberapa kali ketukan yang terbilang cukup nyaring.
Gadis itu terkesiap, kemudian menaruh sisa-sisa rokok dan pematiknya ke dalam tempat sampah. Dia menegak cklat panas yang masih berada di dalam cangkir tersebut dalam hitungan detik, hal tersebut ia lakukan untuk menghilangkan bau rokok dari mulutnya.
Bea membuka pintu balkon kamarnya dengan cepat, sesampainya di kamar ia mencari-cari parfum agar tidak tercium bau bekas asap rokok yang melekat di tubuhnya.
"Bea! Lo ngapain, sih!" lagi-lagi terdengar suara omelan yang diiringi dengan ketukan. "Bea, yaelah, gue udah sms sama nelpon tapi ga di jawab-jawab. Sekarang gue samperin kesini, lo ga bukain. Lo kenapa, sih? Mati?"
"Sabar, Louis." Bea ngedumel saat membuka pintu kamarnya dan melihat seorang cwok yang sedang memakai kaos hitam tidak berlengan berdiri di hadapannya. "Emang mau ngapain, sih. Ganggu."
"Mama lo berangkat apa gimana?"
Bea mengangguk malas. "Berangkat."
"Pembantu lo?"
"Ada, di bawah."
"Dia bakal ngadu ga kalo lo pulang malem?"
"Dia juga ga bakal tau."
"Mantep, gue mau ngajak lo pergi ke pesta di rumah Harry. Harus ikut."
Perlu berpikir dua kali untuk Bea agar ia dapat menyetujui pertanyaan Louis yang tadi. Ia takut jika nantinya ia akan berhadapan dengan Ibunya yang memarahinya karena pulang larut malam. Memang Ibunya tidak ada disini, namun satpam pasti akan melaporkan hal tersebut ke Ibunya.
"Ayolah, Bea. Lagian, besok hari Sabtu."
Bea kembali berpikir, lalu satu tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue ─"
Akan tetapi perkataan Bea sekarang terputus karena tangan Louis memegang lengannya, lalu menatapnya lekat-lekat. "Apa-apaan, nih?" cowok itu menatap lengannya lekat, suaranya terdengar bergemetar menunjukan seakan sebentar lagi ia akan meledak-ledak.
Panggil saja Bea bodoh, karena ia lupa memakai luaran atau gelang agar bekas sayatannya tidak terlihat. Melihat Louis yang menatap matanya dengan tatapan mematikan membuat Bea diam seribu bahasa, dia tidak tahu harus berkata apa kepada cowok yang berada di hadapannya itu. Jelas-jelas ia sudah tertangkap basah. Gadis itu membuang muka dari Louis, sama sekali tidak berani menatapnya kembali.
"Bea. Jawab. Gue." Desak Louis dengan penekanan di setiap katanya.
"Itu kena cakar kucing," jawab Bea dengan spontan. Dia tidak tahu darimana alasan tersebut terlontarkan dari mulutnya tanpa ia saring dan pikirkan. Padahal, Bea tahu bahwa Louis tidak akan percaya dengan apa yang ia katakan barusan.
Louis melepaskan tangan Bea. "Disini ga ada kucing. Lo ga suka main sama kucing."
Skakmat. Bea tidak tahu apa yang harus ia katakan lagi kepada Louis, tidak ada lagi alasan logis yang dapat menutupi kebohongannya.
"Lo cutting?" tanya Louis, membentaknya.
Tiba-tiba hati Bea mencelos akibat suara Louis yang menyentaknya tadi, dia ingin menangis tetapi tidak disini. Tidak boleh. Setidaknya, ia tidak boleh menangis lagi di depan Louis. Tetapi dada Bea semakin sesak akibat suara Louis yang nyaring tadi, terlebih cowok itu memarahinya. Dengan tidak sadar, sebuah tetesan air mata keluar dari pelupuk matanya.
Rasanya begitu sakit ketika melihat seseorang yang Louis sayangi menangis tepat di hadapannya, apalagi hal itu karena dirinya. Louis mengamati wajah gadis itu, tiap butir air mata yang berjatuhan membasahi pipinya. Cowok itu benar-benar merasa bersalah karena sudah membentaknya. Bea tidak bisa di bentak.
Louis membawa tangannya ke udara, kedua tangannya memeluk tubuh Bea. Louis membawa Bea ke dalam pelukannya yang hangat agar gadis itu tidak menangis agi. Tangan Louis mengusap punggung Bea, lalu ia mengecup dahi Bea.
"Gue ga bermaksud nyakitin elo," suara Louis terdengar melembut. "Coba, deh, sekarang lo lepasin pelukan gue. Trus lo tatap mata gue."
Bea yang masih terisak dalam pelukan Louis, kini mendorong tubuhnya dari rengkuhan Louis. Dengan penuh keberanian, gadis itu mengangkat pandangannya memenuhi mata Louis yang berwarna biru padam itu.
"Dengerin gue," ujar Louis. Masih menatap dalam-dalam mata Bea. "Gue sayang banget sama lo, lo udah gue anggep kayak sodara gue sendiri. Kalo lo sedih, pasti gue sedih."
Sedangkan Bea hanya terdiam, terhanyut dalam pikirannya.
"Kalo lo ngerasa butuh untuk cutting, lo bisa suruh gue datang ke rumah lo. Trus, lo ambil barang yang lo pake buat cutting, dan ambil tangan gue. Goresin sebanyak yang lo mau asalkan lo bahagia."
Bea benar-benar bungkam mendengar perkataan Louis, cowok itu benar-benar bisa membuat Bea merasa lebih nyaman. Gadis itu memang tidak menanggapi perkataan yang terlontar dari mulut Louis barusan, melainkan langsung memeluk erat Louis. Dekapan cowok itu terasa begitu nyaman dan hangat, saat ia merasa sedih ia hanya butuh dada Louis untuk bersandar dan dengan cepat rasa sedihnya memudar.
Tiba-tiba Louis melepaskan pelukan Bea dan beranjak masuk ke dalam kamar. Dengan alis yang bertautan, Bea membuntuti Louis dari belakang.
Tangan cowok itu dengan kasar bergerak mencari-cari sebuah benda. "Mana alat yang lo pake buat cutting?"
Mendengar perkataan tersebut, Bea langsung membelalak. "Lo mau ngapain?!"
"Tunjukin dimana, gue juga mau ngerasain cutting itu rasanya gimana."
"Lo gila atau gimana? Entar tangan lo bakalan jelek. Cutting itu ga baik," cerocos Bea dengan cepat.
Nada suara Bea yang tinggi membuat Louis menhentikan aktivitasnya dan menoleh. "Lo tau cutting itu ga baik, tapi lo tetep lakuin itu," komentar Louis dengan enteng kemudian kembali mencari barang tajam.
"Gue butuh!" jerit Bea, lalu dengan cepat tangannya menarik tangan Louis menjauh dari meja riasnya. "Pokoknya, lo ga boleh cutting."
Tetapi tetap saja, Bea tetap saja kalah dengan Louis. Tangan Louis membuka laci yang berisikan peralatan makeup dan menemukan sebuah silet yang sudah tidak terbungkus lagi disana. Dia mengambil silet tersebut."
"Louis, udah gue bilang, jangan." Bea berusaha mengambil silet yang berada di tangan Louis tetapi tetap saja tidak bisa.
"Pokoknya kalo lo ngerasa sakit, gue juga." Louis tetap bersikeras, lalu tangannya bergerak untuk menggoreskan silet tersebut di atas permukaan kulitnya.
Mata Bea membelalak akibat hal yang barusan ia lihat. "Louis!" Bea menjerit lalu mengambil silet tersebut dan membuangnya ke sembarang arah. "Udah. Cukup. Stop."
Louis hanya menghela napasnya. "Intinya, lo ga boleh cutting."
"Ga akan, gue janji."
Mendengar itu, Louis tersenyum.
Namun Louis tidak tahu, bahwa ia tidak bisa percaya dengan Bea begitu saja. Gadis itu masih banyak menyimpan hal-hal terlarang yang di lakukan olehnya.
***
Is this weird...
62�S�)�.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Soul » lt
Fanfiction❝ Sometimes, the saddest people smile the brightest. ❞ Copyright © 2015 by vischa All Rights Reserved