◊ Beatrix ◊
Bea merasakan matanya memanas mendengarkan pertengkaran Louis dengan pacarnya tadi, lagi-lagi Bea menjadi masalah untuk hubungan Louis. Sedaritadi, Bea sudah berada di samping Louis, tepat di tempat biasanya untuk duduk; kursi penumpang sebelah Louis.
"Anjing, anjing, anjing," umpat Louis dengan bergetar.
Air mata tiba-tiba kembali mengalir dari pelupuk mata Bea, semua ini salahnya. Kenapa dia tidak langsung saja meninggal sehingga tidak membuat banyak orang susah lagi karenanya? Hidupnya hanya seperti sebuah parasit yang selalu membawa kerugian bagi inangnya.
Mobil Louis berhenti di parkiran rumah sakit, tetapi cowok itu masih tetap berada di dalam mobilnya dan mengistirahatkan kepalanya di atas stir.
Bea tidak berucap apa-apa kecuali menangis, dia benar-benar merasa hidupnya tidak pernah berguna. Gadis itu menutup mulutnya, berusaha untuk menangis tanpa suara walaupun Bea tahu Louis tidak akan mendengar suara tangisnya.
"Mungkin emang udah waktunya gue putus sama Haley," ujar Louis lalu mengambil ponselnya yang tadinya ia lempar sembarang. Ketika benda itu sudah berada di tangannya, Louis nampak berpikir seperti menimbang-nimbang.
"Jangan, Louis. Jangan," pinta Bea, masih terisak. Gadis itu tahu bahwa Louis pasti tidak akan mendengarkan apa yang dikatakan olehnya. "Kenapa gue bego?!" umpat Bea kepada dirinya sendiri kemudian menjambak-jambak rambutnya dengan kedua tangannya.
"Bea. Gue harus liat kondisinya dulu," tukas Louis, setelah itu dia keluar dari mobilnya yang disusul oleh Bea di belakangnya.
Sesampainya, Bea melihat Louis lagi-lagi harus berhadapan dengan seorang perawat yang tidak memperbolehkannya masuk namun Louis tetap bersikeras. Kemudian, mata Bea memicing ke dalam ruangan yang tehalang oleh kaca itu. Di dalam sana terdapat seorang pria yang memakai jas berwarna hijau dengan masker dan tutup kepala yang senada. Itu adalah Ayahnya. Pria itu kemudian mencium kening Bea.
Gadis itu kemudian beranjak pergi masuk ke dalam ruangan.
"Louis."
Sialan, langkah gadis itu terhenti. Tentu dia tahu betul siapa yang memanggil nama Louis tersebut. Bea melangkah mundur dan berbalik, kemudian dia harus menghadapi dua orang cowok yang sedang berhadap-hadapan.
Gigi Louis menggertak. "Isaac?" panggilnya pelan dengan nadanya yang bergemetar seperti menahan emosi.
"Ikut gue," kata cowok yang berpostur sedikit lebih pendek dari Louis itu.
Isaac kemudian berjalan terlebih dahulu, sementara Louis mengikutinya dari belakang, oh jangan lupa Bea juga mengikuti pergerakan mereka. Dapat Bea lihat bahwa tangan Louis mengepal, seperti menahan emosinya dalam-dalam. Mereka kemudian berada di taman rumah sakit yang cukup sepi.
"Gue udah jauhin Bea karna lo ga mau gue nyakitin Bea dan gue pergi. Tapi beberapa bulan setelah gue pergi, ini yang Bea dapetin? Katanya lo bakalan jagain dia, tapi akhirnya dia berusaha bunuh diri."
"Lo ga baik buat Bea. Yang terbaik buat Bea cuma gue." sesudah menyelesaikan perkataan tersebut, Louis langsung menghantam pelipis Isaac dan menatap cowok yang sedang terkapar itu bengis.
Isaac kemudian segera bangun. "Apa lo bilang? Cuma lo yang terbaik buat Bea? Tapi, lo malah ninggalin Bea trus pacaran sama adek kelas kesayangan lo. Ha ha ha." Isaac tertawa sinis.
Lagi-lagi Louis kembali menyerang Isaac terlebih dahulu sehingga mengakibatkan Isaac kembali terkapar.
"Semua ini salah lo," ujar Isaac kemudian bangun dari tempatnya, cowok itu lalu menendang perut Louis. "Lo ga becus jagain dia, lo ga becus," ujar Isaac lagi lalu tangannya bergerak untuk meninju cowok yang berada di hadapannya.
Louis tersungkur.
"Lo bilang, gue ga becus buat jagain dia. Tapi malah kebalikan, lo yang ga becus." Isaac kemudian menginjak perut Louis mengakibatkan cowok itu terbatuk sedikit.
Bea yang melihat kejadian tersebut hanya dapat menangis. Jadi, selama ini alasan Isaac memutuskan Bea adalah karena Louis yang mengancam mantan kekasihnya itu. Dan dari perkataan Louis barusan, dapat Bea simpulkan bahwa cowok itu mengancam Isaac untuk putus dari Bea karena... cowok itu cemburu. Louis cemburu dengan Bea, tetapi saat itu Louis masih bersama Allison.
Itu artinya, mungkin memang benar Allison dan Louis putus karena Bea. Lalu, Allison marah karena Louis cemburu dengan Bea yang sedang hangat-hangatnya dengan Isaac sehingga memutuskan untuk melabrak Isaac.
Dan sekarang, dua cowok itu kembali bertengkar di hadapannya.
Hidupnya benar-benar rumit untuk dijalani.
Kaki Bea melangkah mundur, kemudian berlari menuju ruangan tempatnya di rawat. Gadis itu berlari sambil sesekali mengelap air matanya yang kembali menetes dari pelupuk matanya. Hidupnya serba salah, dia tidak tahu harus melakukan apa-apa. Sesampainya di depan ruangan bertuliskan ICU, Bea terdiam sebentar melihat seorang wanita yang sedang bercakap-cakap dengan sahabatnya. Itu Ibunya dan Ava.
Pun Bea melangkah untuk mendekat.
"Tante, tolong. Bea bener-bener sayang sama tante, tolong sekali aja liat keadaannya. Keadaannya semakin parah."
Wanita paruh baya itu memperbaiki rambutnya. "Saya kesini hanya untuk mengantarkan berkas-berkas untuk mengurus perceraian saya dengan Mr. Maguire. Bukan untuk mengenguk anaknya."
Hati Bea tiba-tiba mencelos. Tubuhnya benar-benar lemas mendengar pernyataan Ibunya. Hidupnya memang benar-benar rumit, dia ingin mengakhiri semua ini. Dia membenci dirinya sendiri. Dia membenci segalanya.
"GUE PENGEN SEMUANYA SELESAI! GUE PENGEN MATI! GUE PENGEN MATI!!" teriak Bea. Dia membawa tangan kanannya ke rambut, lalu menjambaknya frustasi. Wajahnya penuh dengan air mata. Gadis itu melangkahkan kakinya mundur, kemudian kembali berteriak. "GUE MAU MATI! SEMUANYA BENCI SAMA GUE SEMUANYA BENCI!"
Bea menangis tersedu-sedu, sampai akhirnya terdapat sebuah cahaya putih yang memenuhi pandangannya. Silau, bahkan terlalu silau untuk dapat masuk ke dalam matanya sehingga pandangannya kabur. Gadis itu menutup bagian matanya dengan kedua tangannya, setelah itu terpejam lalu dapat dirasakannya tubuhnya terhempas jatuh.
Namun ia masih sadar. Bea masih sadar.
Dengan perlahan mata Bea terbuka dan mendapati dirinya berada masih berada di atas ubin rumah sakit yang dingin.
"Lah gue kira tadi gue bakal mati?" tanya Bea kepada dirinya sendiri, matanya memicing ke sekitar. Namun setelah itu kepalanya menggeleng perlahan, "Nggak. Gue belum boleh mati sampe gue bisa ngomong untuk terakhir kalinya."
Namun ada satu hal yang membuat Bea terkejut; layar monitor alat pendeteksi jantung itu menunjukan garis datar.
***
Pls maafin gue sama katakata terakhir bea okE
ps. MAAF WOYYY INI JD KAYAK SINETRON ALAY SKSHSOWLWHE
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Soul » lt
Fanfic❝ Sometimes, the saddest people smile the brightest. ❞ Copyright © 2015 by vischa All Rights Reserved