022

4.1K 654 275
                                    

Lima hari sudah Bea belum bangun juga dari komanya, dan sudah lima hari pula Louis selalu menunggu dengan setia di depan ruangan tempat dimana Bea dirawat. Cowok itu benar-benar menyesal.

Louis melihat mesin pendeteksi jantung yang dengan konstannya bergerak di dalam ruangan sana, menandakan bahwa Bea masih hidup. Kini sudah lima hari gadis itu tergeletak tak berdaya di atas kasur rumah sakit dengan alat-alat medis yang berada tubuhnya. Setidaknya gadis itu masih hidup, bernapas, berdetak. Tetapi Louis tidak tahu kapan kedua kelopak mata Bea akan terbuka.

Dari kejauhan Louis menatapnya. Pikirannya semakin berkecamuk. Rasanya cowok itu benar-benar putus harapan dengan pikirannya yang percaya bahwa Bea akan kembali bangun. Bagaimana jika gadis yang berada di dalam itu hanya mengulur-ulur waktu untuk pergi?

"Louis, pacar lo nelpon mulu daritadi," ujar Ava yang berada di sebelahnya. Mata Ava sembab akibat menangis.

Louis sama sekali tidak melirik Ava. "Biarin aja."

Ava diam. Tidak berkutik sama sekali.

"Udah lima hari aja gue kangen banget sama dia, gue ga bakal bisa hidup tanpa dia," papar Louis dengan nadanya yang lemah. Matanya melihat Bea yang sedang berada di dalam ruangan tanpa bisa ia sentuh. Rambut coklat Bea itu tergerai. Banyak selang-selang medis yang membantunya untuk bertahan hidup. Louis ingin sekali menyentuh pipinya itu, namun sayangnya tidak bisa. "Bea please bangun, buat gue, buat Ava, buat papa lo dan buat semuanya. Kita semua kangen sama lo.."

Dan di beberapa detik setelah perkataan Louis, di sisi yang lain, di dalam ruangan kelopak mata Bea terbuka dan mengerjap beberapa kali, mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang berwarna putih dihiasi dengan alat-alat medis. Suhu tubuhnya terasa sangat dingin walaupun sudah tertutup oleh selimut berwarna biru pucat khas rumah sakit. Tubuhnya terasa mati rasa, tidak merasakan apa-apa walaupun terdapat banyak peralatan medis yang menghiasi tubuhnya. Terdengar suara alat pendeteksi jantung di ruangan ini.

Bea baru menyadari bahwa dia baru saja masuk ke dalam tubuhnya dan kemudian terbangun. Sorot matanya menangkap seorang pria yang sedang tertidur, lengannya menopang kepalanya sebagai bantal.

"Papa.." panggilnya, hampir terdengar seperti merintih. Bea menoleh kesamping tanpa melepaskan masker oksigen yang terdapat di sekitaran wajahnya.

Pria itu terbangun, kemudian dengan cepat mengangkat kepalanya. "Kamu udah sadar?" ujarnya dengan nada yang bahagia namun masih tersirat sebuah kesedihan yang mandalam.

Bea tersenyum kecil. Hanya sebuah senyuman kecil yang dapat tertoreh di wajahnya itu karena seluruh bagian tubuhnya sangat susah untuk bergerak.

"Papa harus panggil dokter dulu buat periksa keadaan kamu."

Tidak, jangan. Bea tidak ingin memeriksa keadaannya, gadis itu ingin pergi sekarang juga. Namun masih terdapat sesuatu yang mengganjal. "Pa," panggilnya dengan nada tipis. "Jangan."

Mr. Maguire menengok lalu menaikan alisnya. "Kenapa?"

"Tolong panggilin Ava, Louis sama mama, pa. Aku pengen ngomong," ujar Bea dengan susah payah dan dia berhasil untuk tidak berbicara sambil tertatih.

Ayahnya menggeleng.

"Pa, aku mohon," pinta Bea.

Mr. Maguire nampak berpikir, namun di detik selanjutnya pria itu keluar.

Berselang beberapa menit, akhirya Mr. Maguire masuk ke dalam ruangan bersamaan dengan Ava dan Louis yang sedang memasang wajah cemas. Sedangkan Ibunya sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Rasanya Bea ingin menangis, tetapi sepertinya persediaan kantung air matanya sedang kering. Lalu matanya beralih ke Louis, wajah cowok itu lebam membuat Bea kembali ingin menangis.

Sad Soul » ltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang