015

4K 620 161
                                    

"Louis sibuk banget sama Haley sampe lupa sama gue, kesel."

Bea menutup panggilannya yang kerap kali masuk ke dalam mailbox. Gadis itu tidak tahu kenapa tetapi ia tiba-tiba merasa kesal. Ayolah, Bea tahu dia sedang dilanda oleh cemburu sekarang. Karena sudah hampir seminggu lebih setelah Louis dan Haley berpacaran, Bea tidak pernah sama sekali bercakap-cakap dengan Louis, dan ketika Bea baru saja berinisiatif untuk memulai percakapan mereka terlebih dahulu, Louis malah mematikan panggilannya.

"Wah, ada yang mukanya ketekuk lagi." tiba-tiba Ava masuk ke dalam mobil dengan segelas es teh di tangannya.

Bea hanya melirik sekilas, lalu menopangkan dagunya di atas stir.

"Ada apa?" tanya Ava dengan was-was sambil menyeruput es tehnya.

Bea mendesah kesal, dan secara tidak sengaja memukul stir sehingga terdengar bunyi klakson mobil yang nyaring. "Anjir," umpatnya setelah menyadari suara klakson yang nyaring itu.

"Lo kenapa, sih."                       

"Kenapa?" Bea mencibir. "Louis kayaknya ga mau banget gue hubungin."

"Lo kayak gitu kayak dia pacar lo aja."

Bea terdiam, lalu melirik Ava dengan sebal. Kata-katanya barusan sangatlah akurat dan tentunya menyayat hatinya. Hati Bea seketika menciut, tidak seharusnya dia cemburu kepada Louis yang hubungannya tengah hangat dengan Haley. Seharusnya gadis itu turut bahagia, bukannya mencaci-maki Haley dan selalu mengumpat dalam hati ketika melihat kemesraan mereka berdua. Bea harus bahagia untuk mereka, walaupun dia sakit hati.

Lucu rasanya untuk cemburu kepada Louis yang memberikan perhatian penuh terhadap Haley di tengah kenyataan bahwa Bea bukanlah siapa-siapa untuk Louis. Hanya seorang sahabat, tidak lebih. Bea harus benar-benar mencamkan hal tersebut.

Bea menyengir tipis kemudian menggelengkan kepalanya saat air matanya menumpuk di pelupuk matanya. "Lo bener, dia bukan siapa-siapa gue. Cuma sahabat, ga lebih dan ga akan pernah lebih."

"Iya, gue tau lo cemburu. Tapi, inget, dia bukan siapa-siapa lo. Lo ga boleh cemburu atau blahhblahblah." Ava kembali menyeruput esnya itu. "Kadang kalo lo emang bener sayang sama dia, lo harus bisa ngerelain dia. Dia bahagia sama orang lain dan lo harus senang juga atas itu."

"Tapi, entar ga ada lagi yang jemput gue tengah malem pas gue nangis."

"Ada, gue."

"Tapi, entar ga ada lagi yang anter jemput gue dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah."

"Ada, gue."

"Tapi, entar ga ada lagi yang anterin makanan pas gue laper."

"Ada, gue. Gue juga bisa kali beliin lo makanan, lebih dari yang Louis bisa, bahkan. Entar gue bawain satu bucket ayam KFC."

"Tapi, entar gue gendut kalo lo kasih satu bucket."

"Jadi, maunya apa?"

"Makanan yang ga bikin gue gendut, gimana, sih."

"Sip, makanan yang ga bikin Beatrix Maguire gendut. Conteng."

"Tapi, entar ga ada lagi yang anterin green tea pas gue pengen."

"Ada, gue."

"Tapi, entar gue ga bakal dapet ciuman itu lagi dari dia." Bea terkesiap, kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulutnya tanpa saringan. Memutarkan bola mata, Bea sambil berkata. "Jangan bilang lo bakal nyium gue, lesbi."

"Hah?" Ava terkikik sarkastik. "Gue ga se-lesbi itu, kali."

Bea tidak menghiraukan perkataan barusan, pikirannya masih saja melayang ke Louis meskipun hatinya berteriak tegas untuk tidak cemburu lagi. Tapi, Bea tidak bisa berbohong kepada dirinya sendiri. Dia benar-benar cemburu, bahkan sangat cemburu. "Kenapa gue ga bisa ga cemburu sama Louis," gerutu Bea. "Dia bukan siapa-siapa gue. Gue harus berenti cemburu."

Sad Soul » ltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang