012

4.4K 637 73
                                    

◊ Beatrix ◊

Kejadian malam itu sudah berlalu dua hari dan Bea masih saja mengingat-ingat semua perkataan yang terlontar dari mulut mantan sahabatnya itu, Allison. Ingin rasanya ia mencoba untuk tidak berpikir tentang hal itu, tapi otaknya masih saja memutarkan rekaman suara Allison. Dan tak jarang pula Bea menangis karena hal itu.

Apakah benar Bea terlihat seperti gadis yang kegatelan?

Pertanyaan itu terus saja berada di dalam otak Bea, mungkin yang di katakan oleh Allison ada benarnya juga. Akan tetapi, Bea tidak separah yang ia katakan. Gadis itu sama sekali tidak pernah menghancurkan hubungan Allison dan Louis, apalagi menghasut Louis untuk putus dengan Allison meskipun pada saat itu Bea sangat cemburu karena Louis terkesan sedikit cuek dengan dirinya.

"Malah melamun."

Suara tersebut seakan membuat Bea terbangun dari pikirannya. Kepalanya menoleh ke samping, melihat seorang gadis berambut coklat di dominasi oleh warna pirang di bawahnya yang sedang menyetitr. "Mungkin kata Allison bener, gue emang jadi cewek kegatelan banget sama Louis."

Ya, gadis yang sedang menyetir itu adalah Avalee, sahabatnya. Hari ini, Louis lagi-lagi tidak bisa pergi bersama Bea ke sekolah. Jadi, Ava yang menjemput gadis itu.

"Trus lo seketika percaya gitu sama mulut Allison?" Ava memutarkan bola matanya. "Bea, lo beneran harus berenti mikirin masalah kayak gitu. Ga penting."

Bea mengangguk pelan. "Gue tau," ujarnya. "Tapi, gue ga bisa ga mikirin itu. Udah kayak nempel di otak gue, tau ga."

Sepanjang jalan Bea hanya sibuk berkutat dengan ponselnya tanpa mendengarkan sahabatnya itu berbicara.

Setelah sampai di sekolah, Bea melambaikan tangannya pada Ava sebelum akhirnya mereka berdua berpisah ke ruang kelas masing-masing. Gadis itu melirik arlojinya dan mendesah lega karena dia tidak terlambat akibat Ava yang terlambat datang ke rumahnya.

Bea memasang headset di telinganya, memutarkan lagu Taylor Swift kesukaannya; Style. Pun ia melanjutkan langkahan kakinya ke kelas Biologi.

Sesampainya di kelas, terdengar seseorang memanggil namanya sambil menepuk bahunya dari belakang. Kontan, gadis itu menoleh ke belakang. "Hai," sapanya dengan riang dan tersenyum tipis. "Kita sekelas hari ini?" tanya Bea hampir memekik karena senang.

Louis mengangguk. "Iya. Tapi bukan itu masalahnya."

Sebelah alis Bea naik ke atas. "Masalahnya?"

"Lo hari Jum'at kemarin bolos?"

Awalnya Bea hanya mengangguk santai, namun setelahnya seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya. Dia tahu sebentar lagi akan mendapatkan masalah.

"Lo di panggil Kepala Sekolah."

Mati. Bea benar-benar ingin menghilang dari dunia, bukan masalah takut untuk bertemu dengan Kepala Sekolah tetapi gadis itu takut jika Ibunya akan mengetahui hal ini. Dalam hitungan sekejap, gadis itu melepaskan headset-nya dan segera berlari ke ruangan Kepala Sekolah.

Saat berada di depan pintu ruangan yang bertuliskan 'RUANGAN KEPALA SEKOLAH', Bea mendesah frustasi. Dia benar-benar akan mendapatkan masalah karena keluar dari sekolah tanpa izin. Dengan penuh keraguan, Bea mengetuk pintu tersebut sampai ada sebuah suara yang menyuruhnya masuk.

Gadis itu menarik napas panjang, dan pelan-pelan menggerakan tangannya untuk meraih knop pintu. Tangannya membungkus knop pintu untuk beberapa detik membiarkan hawa dingin dari knop pintu itu menusuk ke daerah telapak tangannya, kemudian dengan berani dia memutar knop tersebut.

Semua yang ia lihat saat berada di depan pintu yang terbuka hanyalah sebuah ruangan mengerikan, matanya menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Untung saja tidak ada Ibunya disini, lagipula Ibunya sedang berada di luar kota. Jadi, tidak mungkin datang ke sekolah.

"Saya menyuruh kamu untuk masuk Nona Maguire."

Dan dengan suara tersebut, cepat-cepat Bea masuk ke dalam ruangan tersebut dan duduk di hadapan bapak tua yang rambutnya penuh dengan uban. Dalam hati, Bea terus-menerus mengumpat.

Pak Dalton ─si Kepala Sekolah─ berdeham. "Tidak datang ke sekolah pada hari Kamis tanpa izin, keluar dari kelas Matematika, dan pergi dari sekolah tanpa izin pada hari Jum'at. Apa kamu punya alasan buat itu?"

Terasa seperti ada yang mengganjal di kerongkongan Bea, dia tahu jelas bahwa saat ini dia sedang berada di dalam masalah. Hal ini benar-benar di luar ekspetasinya, biasanya tidak akan ada yang mengetahui kepergian Bea dari sekolah. Namun kali ini, dia benar-benar mendapatkan sial yang bertubi-tubi.

"Saya tau kedua orang tua kamu benar-benar sibuk. Jadi, saya memanggil kamu kesini untuk memberi peringatan. Kalau sampai kamu melakukan hal tersebut untuk kedua kalinya, maka saya akan memanggil kedua orang tua kamu dan berkoordinir dengan mereka."

Bea mengangguk.

"Kalau begitu, kamu bisa keluar dari ruangan saya dan mengikuti pelajaran."

***

Hari ini seperti biasanya, Bea pergi ke kafetaria besama dengan Ava. Perlu waktu sepuluh menit untuk gadis itu menceritakan semua yang terjadi di ruangan kepala sekolah tadi, oh jangan lupa Bea mengeluarkan kata-kata mutiaranya itu.

Sedangkan Ava hanya mengangguk sambil terkekeh sesekali mendengarkan sahabatnya itu mengomel sambil mengumpat. Setelah Bea terdiam, barulah Ava membuka topik lain. "Malem ini pesta ulang tahunnya Haley. Lo ikut?"

Bea terhenti mengunyah makanannya. "Ga tau, liat aja entar malem."

"Kenapa?" tanya Ava pelan.

"Apanya yang kenapa?" tanya Bea kembali.

Ava memutarkan bola matanya.

"Gue mau beli minum." Bea berdiri dari tempat duduknya. "Lo mau titip?"

"Ga bawa duit," ujar Ava sambil menggeleng.

"Bilang aja lo ngode biar gue bayarin." Bea mendecak. Tanpa mendengarkan pesanan Ava, Bea langsung saja pergi untuk membeli minuman. Sambil berjalan, gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku celana pendeknya itu.

Setelah sampai di tempat tujuan, Bea memesan dua gelas jus jambu. Dalam hati, gadis itu cekikikan karena dia tahu betul bahwa Ava sangat membenci jus, apalagi jus jambu.

"Songong."

Suara tersebut berada di belakang Bea, membuat gadis itu memutarkan badannya dan menghadapi seorang cowok berpostur lebih tinggi darinya sambil merangkul gadis di sebelahnya. Anjing, anjing, anjing. Bea terkekeh. "Lo yang songong, mentang-mentang udah punya pacar."

Louis tersenyum sebentar, mempererat rangkulannya terhadap gadis yang berada di sampingnya itu. "Belum, Bea. Belum."

"Belum, berarti entar lagi." Bea mencibir sambil terkekeh, padahal itu hanyalah akting semata. Jauh dari dalam hatinya, gadis itu justru mengumpat. "Mantep, bentar lagi gue bakal dapet makan enak."

Kini bukan Louis yang membuka mulut, melainkan Haley. "Bisa aja, kak."

Bea menaikan sebelah alisnya. Baru saja gadis itu membuka mulut, seorang wanita tua memanggil namanya dan menyerahkan dua gelas jus jambu. Kontan, Bea merogoh kantung celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Memang tipikal Bea yang tidak suka memakai dompet.

"Duluan." Bea menyenggol bahu Louis kemudian berlalu melewati calon sepasang kekasih itu.
***

Wah bentar lagi kita mendekati konflik :3

Sad Soul » ltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang