020

3.8K 643 262
                                    

◊ Louis ◊

Louis membolak-balik buku Matematikanya dengan malas, memandang angka-angka saja rasanya Louis ingin muntah angka. Cowok itu sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di dalam soal yang bertaburan dengan x dan y itu. Seketika, Louis teringat akan Bea yang sering kali mengerjakan soal Matematikanya.

Bea memang belum sadar semenjak kejadian kemarin, hal itu membuat Louis tak henti-henti memikirkan kondisi gadis itu. Yang pasti, Louis ingin gadis itu tetap bertahan. Jika Bea akan terbangun dari komanya, Louis berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu ada di samping Bea.

Louis mendesah pasrah, dia sama sekali tidak mengerti soal-soal itu. Can you just solve yourself, Math.

"Louis, Louis," seseorang yang berada di belakang memanggil namanya sambil menepuk bahunya.

Hal tersebut membuat Louis menoleh ke belakang. "Ada apa?" tanya Louis, cowok itu setengah mati berusaha untuk tetap kalem dengan kondisi otaknya yang campur aduk.

"Ajarin dong, gue ga ngerti," papar gadis yang berada dibelakangnya tersebut.

"Gue juga ga ngerti."

"Biasanya lo ngerti."

"Diajarin sama Bea. Udah ah, lo cari contekan gitu kek, trus jawabannya kasih ke gue," kata Louis dengan malas. Gue kangen Bea, banget. Bea bantuin gue dong, Louis meringis dalam hatinya. Sejurus kemudian, cowok itu kemudian berbalik mengarah ke depan. Pikirannya kosong.

"Louis, pssst," panggil gadis itu lagi.

Mau tak mau, Louis harus menoleh ke belakang lagi. "Apa lagi, sih."

"Bea kenapa? Ada apa sama dia?"

Kalau Louis boleh berteriak atau setidaknya membekap mulut Lucy -gadis cerewet itu- maka hal itu akan ia lakukan saat ini, tapi sayangnya hal tersebut tidak bisa ia lakukan saat ini. "Kudet amat lo ga tau soal Bea kenapa. Makanya punya kuping tuh dipasang bener-bener. Lagian lo nanya ginian buat apa? Buat bahan gosip sama temen-temen lo? Apaan sih. Ga ada gunanya tau ga lo ─"

"TOMLINSON!"

Suara tersebut langsung membuat Louis menutup mulutnya rapat-rapat dan kembali berbalik ke depan. Dia tahu kalau nenek tua itu pasti akan marah-marah lagi.

"Saya sudah menghabiskan waktu saya yang berharga ini hanya untuk mengajarkan kamu pelajaran terpenting sepanjang masa dan saat saya memberikan latihan-latihan soal agar masa depan kamu lebih cerah, tapi kamu malah sibuk ngobrol sama pacar kamu."

"Ya udah. Sekarang apa? Mau ngeluarin saya dari pelajaran Matematika? Silahkan, Mrs. Saya ga peduli. Lagian bukan saya kok yang salah, dia yang salah. Manggil-manggil nama saya terus. Omong-omong, dia bukan pacar saya Mrs. Scott."

"Mana mungkin saya menyuruh kamu keluar dari sini. Sekarang kalian berdua, kerjakan soal masing-masing dan jangan mengobrol."

***

Hening.

Keheningan yang terjadi diantara dua orang yang sedang duduk itu bagaikan jamur-jamur yang menggerogoti sebuah roti; semakin lama semakin dalam. Mereka terhanyut ke dalam pikiran masing-masing, ralat, bukan mereka berdua. Tetapi Louis yang terhanyut di dalam pikirannya. Tubuh cowok itu boleh saja sedang duduk di kursi kafetaria, tapi pikirannya kian melayang-layang.

Sejak tadi, gadis yang berada di hadapannya itu sesekali berbicara walaupun tidak banyak. Yah, setidaknya hanya untuk merobek awan keheningan yang membentang di antara mereka, namun hal itu tidak bekerja. Sedangkan Louis, merespon seadanya saja.

Sad Soul » ltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang