Bab Tujuh Belas

2.3K 252 6
                                    

White sedang duduk sambil melakukan meditasi di atas tempat tidurnya dengan posisi duduk bersila. Kedua tangannya menghadap ke atas dengan ujung jari ibu dan telunjuk yang saling bertemu. Kedua matanya terpejam dan ia mencoba untuk rileks.



Dengan sabar ia mengatur pernapasannya dan berusaha berkonsentrasi. Melepaskan seluruh permasalahan yang ada di pikirannya dan membiarkan segalanya mengalir seperti air.



Rasanya benar-benar nyaman sekali. Ringan tidak ada beban.



Mendadak, seseorang mengetuk pintu dari luar kamar. "Siapa?" seru White yang langsung membuka matanya.



"Mastrix!" serunya dari luar kamar.



"Masuk!"



Pintu kamar terbuka sedikit dengan kepala Mastrix yang menyembul dari luar. "Apa aku mengganggu?"



"Tidak sama sekali. Masuklah," suruh White. Mastrix segera melangkah masuk dan menutup pintu dari dalam kamar lalu bergegas mendekati White. Ia duduk di depan White dan ikut bersila.



"Apa yang sedang kau lakukan? Teman-teman yang lain sedang main monopoli di ruang tamu untuk melepas rasa bosan," kata Mastrix.



White tersenyum tipis. "Aku sedang berusaha mengingat-ingat kalimat dari mantra-mantra sulit yang baru aku temukan di internet."



Mastrix mengangguk lemah. "Ngomong-ngomong, aku ingin menjelaskan padamu sekarang, mengenai Pak Damma."



"Iya. Aku sudah menunggu itu sejak tadi. Aku kira kau bakal lupa," balas White.



Mastrix terkekeh. "Aku tidak mungkin lupa."



White menyengir saja mendengar hal itu. "Kau bisa menjelaskannya sekarang."



Si rambut biru itu menarik napas dalam-dalam. "Pak Damma benar menyukaiku. Dia adalah calon kakak iparku."



Mendengar beberapa patah kata itu saja sudah membuat kedua alis White naik. "Calon kakak iparmu? Maksudmu dia calon suami dari kakak perempuanmu tirimu itu? Sejak kapan Pak Damma menyukaimu? Dan bagaimana bisa?"



"Aku bertemu dengan Pak Damma sekitar satu tahun yang lalu, saat kakakku pertama kali memperkenalkan Pak Damma pada kedua orang tuaku. Setelah itu, mendadak Pak Damma jadi sering berkunjung ke rumahku. Dia orangnya tenang dan enak diajak ngobrol. Dia sering mengajakku keluar untuk jalan-jalan, tanpa kakak tiriku tentunya. Sampai suatu ketika, dia mengatakan perasaannya padaku."



"Lantas kenapa tidak kau terima?" pancing White.



"Jujur saja. Walaupun kita sudah berpisah sejak SD, tapi aku masih berharap untuk bisa menemukanmu. Lagipula aku sudah tidak bisa tertarik dengan siapapun lagi kecuali orang yang sekarang berada di depanku ini."



Pipi White langsung merona merah mendengarnya. "Kau bisa saja. Lalu?"



"Lalu aku menolaknya. Untungnya Pak Damma bisa berbesar hati. Sepertinya dia seorang biseksual, dan dia masih berlanjut dengan kakak tiriku yang tidak tahu apapun tentang hal itu. Dan beberapa bulan kemudian, ayah dan ibu bilang kalau mereka akan dipindah-tugaskan ke kota ini. Aku langsung ingat kamu, dan meminta pada ayahku untuk pindah sekolah, masih sambil berharap supaya aku bisa bertemu lagi denganmu. Dan aku merasa sangat senang bertatap muka lagi denganmu di bus sekolah, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun tidak bertemu."



"Lalu akhirnya kau bertemu kembali dengan Pak Damma pas waktu dia mengantarku ke rumahmu waktu itu?" tanya White.



Mastrix mengangguk. "Benar. Dia juga sudah tahu mengenai hubungan kita. Jadi dia tidak akan berani menggangguku. Waktu itu dia hanya khawatir saja karena aku tidak masuk selama dua hari, jadi dia menjengukku. Tapi lain kali, aku tidak akan menyuruhnya masuk ke kamarku lagi deh. Aku kan sudah janji padamu."

Secondary 2 (boyxboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang