England

64 7 1
                                    

Stefanie-------

Pagi yang cerah masih dengan udara yang cukup dingin untuk membuatku terserang flu. Seperti biasa, harus ke kantor dan bekerja. Kalau bisa aku ingin tidur sedikit lebih lama lagi sebenarnya. Tetapi, aku harus tetap konsisten dengan pekerjaanku. Tak ingin membuang-buang waktu aku langsung mandi, berganti pakaian lalu sarapan.

Selesai sarapan, aku berniat untuk menelepon sopir kantor untuk menjemputku. Sopir yang khusus disediakan ayah untuk urusan perkantoran. Khususnya, untuk mendahulukan kepentinganku. Aku mengacak-acak isi tas dan mengeluarkan beberapa isinya. Namun, aku tak dapat menemukan ponselku. Biasanya aku tidak pernah lupa dimana aku meletakannya. Dan biasanya aku hanya meletakkannya di tasku. Aku mencari ke segala sisi, di kamarku, di sofa, di dapur, mini bar. Namun aku tak dapat menemukannya. Aku menyerah!

Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon menggunakkan telepon rumah dengan bantuan buku catatan nomor telepon kecil yang terletak di sampingnya. Sungguh mengesalkan! Seharusnya aku memilih tidur saja hari ini.

Sepuluh menit aku menunggu, sopir kantor sudah datang dan menungguku tepat di depan rumah. Hari ini aku benar-benar terlambat dan aku benci akan hal tersebut. Tidak biasanya aku terlambat. Aku memarahi karyawanku yang terlambat tetapi malah aku sendiri yang terlambat.

"Pagi mbak," begitu sapa resepsionis dan beberapa karyawan lainnya.

Aku hanya membalas semua sapaan mereka dengan senyuman. Dan aku yakin mereka sudah terbiasa dengan hal itu. Karena setiap pagi mereka menyapaku, setiap pagi pula aku membalas sapaannya hanya dengan senyuman saja. Bayangkan aku harus menjawab berapa banyak sapaan selamat pagi. Dan yah, mereka memanggilku dengan sebutan "Mbak". Aku tidak ingin memanggilku dengan sebutan "Ibu Stefanie." Betapa tuanya aku!

Ini adalah perusahaan ayahku. Tetapi dia sedang mengurus pekerjaan dan perusahaannya yang ada di Jepang sana. Dia mengikutsertakan mama. Walaupun sebenarnya mama lebih senang berada di Indonesia. Namun, posisi Direktur Utama diberikannya kepada pamanku, John. Ayah menganggap aku belum bisa memegang tanggung jawab sebesar itu. Jadi, aku hanya memegang posisi sebagai direktur, setingkat di bawah Paman John. Itu menurut ayahku, bukan menurut Paman John. Karena dia lebih suka meminta pendapatku saat papa tidak ada ketimbang memutuskan sendiri. Wajar saja, perusahaan papa artinya perusahaanku juga.

Paman John adalah adik ayahku. Usia kami hanya berbeda 7 tahun dan tentunya usianya terpaut cukup jauh dari ayahku. Namun, dia belum menikah. Paman sangat tampan dan memiliki postur tubuh yang atletis. Banyak karyawan kantor yang mengaguminya. Dia bukan sosok yang ramah melainkan dingin dan tidak banyak bicara. Bahkan denganku yang keponakannya sendiri saja dia juga jarang mengubah dirinya menjadi sosok yang ramah. Mungkin itu alasan kenapa dia belum menikah. Karena sifat pendiamnya ini, aku tidak begitu dekat dengan paman kecuali untuk urusan pekerjaan.

Baru sebentar aku masuk dan duduk di ruanganku, telepon yang terletak di meja kerja-ku sudah berdering. Ini bukan klien pastinya, tidak ada klien yang menelepon sepagi ini.
"Halo, selamat pagi!" kataku.
"Pagi. Stef ini Fari."
"Ada apa, Far?"
"Semalam kamu lupa handphone kamu ketinggalan di mobil."
"Ya ampun! Aku cari kemana-mana ternyata di kamu, Far."
"Nanti jam istirahat aku ke kantor kamu ya, sekalian kita makan siang bareng."
"Oke." jawabku seraya menutup telepon.
Makan siang. Aku bahkan sering melupakan hal yang satu itu sangking asyik atau sedang bosan-bosannya bekerja. Ibuku akan selalu memarahiku kalau aku lupa makan. Dia sangat khawatir sementara aku biasa-biasa saja. Biasanya seorang karyawan laki-laki ku yang bernama Rian yang mengantarkanku sekotak makan siang. Tentunya perintah itu datang dari ibuku.
Aku menyempatkan diri untuk menelepon ayahku mengatakan rencana pergi ke Inggris bersama Ben dan teman-teman selama hampir sebulan atau lebih. Ayahku senang sekali mendengar hal tersebut. Ayahku mengiyakan dan mengatakan bahwa aku memang perlu refreshing setelah lelah setiap hari bekerja mengurus kantornya. Dia terlalu sibuk untuk dapat mengajakku pergi keliling dunia atau sekedar untuk duduk di meja makan bersamaku setiap harinya. Bahkan dalam setahun pun belum tentu aku dapat melihatnya barang seminggu saja. Aku tidak lagi ingat kapan hari terakhir kami berada di satu meja makan berkumpul dan tertawa bersama.
Terdengar suara seseoramg yang mengetuk pintu ruang kerjaku. "Masuk," kataku.
"Mbak, ada seorang laki-laki berkacamata yang memaksa masuk padahal belum ada janji temu."
"Oh, itu pasti Fari. Biarin aja dia masuk."
"Baik, Mbak," jawab karyawan itu kemudian keluar dari ruanganku.
Tak beberapa lama kemudian Karyawan yang tadi memanggilku itu sudah datang bersama Fari. Raut wajah Fari terlihat seperti orang yang sangat kesal.
"Kenapa kamu?"
"Satpam dan karyawan yang di depan itu bener-bener harus dipecat!" kata Fari dengan nada kesal.
Aku hanya tertawa geli melihatnya. Tidak biasanya dia kesal seperti itu.
"Kok malah ketawa. Emangnya menurut kamu lucu aku ditarik-tarik sama mereka?" tanyanya.
"Emangnya kamu bilang apa ke mereka?" tanyaku sedikit terkikik.
"Ya aku masuk aja gitu, terus nanya 'Stefanie nya ada?' Perempuan itu nanya, 'ada janji?' Ya aku jawab 'emangnya kalo pacar mesti buat janji temu juga?' eh dianya malah langsung manggil security buat ngusir aku."
"Ya siapa suruh bohong. Kena akibatnya kan?"
"Udah ah, lain kali kalo gua ke sini lu mesti nunggu di depan kantor." Kesalnya.
"Ya sudah. Jadi makan siang gak?"
"Ayo!"
Dia mengajakku untuk makan siang di kafe yang berada di dekat kantorku. Menempuh jarak dengan berjalan kaki. Dia berniat menggandeng tanganku. Aku membuatnya mengurungkan niat dengan cara sengaja berjalan lebih dulu di depannya. Aku hanya tidak ingin terlalu dekat dengannya. Takut kalau-kalau perasaan itu akan muncul lagi.
"Nasi goreng di sini enak lho, Stef." kata Fari ketika si pelayan menawarkan menu.
"Iya. Pesan yang sama dengan kamu aja." jawabku.
"Ntar di Inggris gak ada lagi yang beginian."
"Iya, Far. Aku pesan yang sama dengan kamu. Mau diulang berapa kali lagi?" jawabku dengan nada agak kesal.
Dia hanya membalas perkataanku dengan senyuman. Kemudian berkata kepada si pelayan, "dua piring nasi goreng dan dua jus jeruk." Dia tahu bahwa terkadang aku adalah orang yang sangat emosional. Itu sebabnya ketika aku marah dia hanya diam tak ingin menjawab.
Dia suka tersenyum, aku tidak. Aku suka menonton film barat, dia tidak. Dia suka kartun, aku tidak. Dia suka keramaian, aku suka menyendiri. Dia humoris, aku serius. Inilah kami dengan segala perbedaan dan ketidakcocokan kami. Kami benar-benar berbeda.
"Handphone-nya mana?" tanyaku.
Dia memasukkan tangannya ke salah satu kantong jas-nya dan menaruh Iphone itu di atas tanganku sambil berkata, "Aku liat sms Ben semalam. Lucu banget. Terkikik bacanya."
"Oh, jadi ceritanya semalam udah puas nih nge-cek isinya?" sindirku.
"Aku gak liat apa-apa kali kecuali sms Ben." jawabnya.
"Iya, deh."
Dia hanya melahap makanannya tanpa berkata apa-apa lagi. Kurasa memang niatnya hanya sekedar mengembalikan handphone-ku yang sedari pagi sudah kucari kemana-mana itu.
"Stef, ntar aku jemput ya. Baru ke rumah kamu ambil motor aku. Ingat, aku gak suka menunggu."
"Oke."
Selesai makan dia kembali ke kantorku, membawa mobil-ku dan kutebak, dia kembali ke kantornya. Jadi, dengan kata lain nanti sore aku harus menunggu di jemput oleh mobilku sendiri. Aku kembali ke kantor meneruskan hal-hal yang tadi ku kerjakan sebelum makan siang tadi sampai jam menunjukan pukul 5 sore.
Tak terasa waktu beberapa jam cepat berlalu, sudah pukul lima lewat. Segera aku menunggu Fari di pintu depan kantorku. Atau dia akan mengomeliku, dia sudah mengatakan dia tidak suka menunggu. Mmm... Sepertinya malah dia yang menungguku. Mobil Mercedez itu sudah terparkir tepat di depan kantorku. Ya, aku akui. Aku telat. Aku lupa waktu. Aku segera masuk ke mobil dan berkata, "Maaf, tadi banyak kerjaan". Baiklah, sekarang aku siap mendengar semua ocehannya.
"Gak apa-apa. Baru setengah jam kok." sindirnya.
"Astaga!"
Dia langsung melajukan mobilnya keluar dari area kantor dan tentunya menuju ke rumahku. Dan seperti biasanya, dengan kecepatan tinggi. Aku benci hal itu! Aku benci dia yang ngebut-ngebutan dijalanan.
"Sebentar, aku ambil kunci motornya," kataku begitu sampai.
Dia tidak menjawab perkataanku. Dia kesal karena harus menungguku begiu lama. Sebenarnya, bukan aku yang salah. Dia yang datang terlalu cepat untuk menjemputku. Tapi, ya sudahlah. Mungkin memang aku yang salah.
Aku langsung saja masuk ke kamar dan mengambil kuncinya. Aku segera memberikan kunci itu kepadanya yang sedang menunggu di depan rumahku. Dia hanya berkata, "terimakasih," sambil mengembalikan kunci mobilku lalu pergi ke tempat di mana motornya berada.
Matilah aku! Dia pasti marah karena menungguku terlalu lama. Mau bagaimana lagi, sebaiknya aku tidak usah berkata apa-apa saja.
Aku langsung masuk ke kamar dan melakukan hal-hal yang biasa kulakukan saat malam tiba. Ben tidak datang malam ini. Mungkin, dia pergi makan malam bersama teman-temannya yang lain. Jadi aku makan dengan beberapa pekerja di rumahku.
*****

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang