Hilda

39 7 0
                                    

Aku duduk menyendiri di depan TV. Dadaku mulai terasa sesak lagi. Aku terlalu lelah. Hatiku sangat kacau. Aku memikirkan entah yang kulakukan kepada Hilda tadi adalah tindakan yang benar atau salah. Ya, sekarang aku takut kalau dia akan marah kepadaku.

Tidak seharusnya aku berbicara seperti itu. Mulut ini selalu saja berbicara lebih cepat dibanding otakku. Ben datang dan duduk di sampingku.

"Ada apa Stef?" Kenapa kau terlihat sedih? Tanyanya.

"Mmm... tidak ada."

"Jangan berbohong kepadaku."

"Ini adalah sesuatu yang sulit untuk diceritakan Ben."

"Okay okay. Kamu mending tidur aja dulu Stef. Ntar kalo udah jam makan malam aku bangunin kamu. Okay, babe?"

"Okey..." jawabku yang kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarku.

*****

Sejujurnya, Aku tidak ingin terlalu memikirkan tentang hal itu. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya berusaha menganggap semua yang kukatakan tadi memang patut diketahuinya. Setidaknya dia harus tahu bukan aku yang egois tapi dia yang tidak mengerti. Terserah bagaimana orang menanggapinya, aku tidak akan menghiraukannya. Aku menangis sendiri di dalam kamar ditemani instrument La Vie En Rose.

Seseorang mengetuk pintu kamarku. Segera saja aku menghapus air mataku dan membuka pintu kamar. Orang itu adalah Kyle. Aku mempersilahkannya masuk.

Oh tuhan. Harusnya dia tidak datang disaat aku sedang menangis. Dia pasti menyadari mataku yang sembab ini.

"Hi Kyle. Bagaimana keadaanmu?"
"No, Stef. Bagaimana keadaanmu?
"I'm okay."

"Kau bohong. Aku tahu kau berada di kamar karena Ben memberitahuku. Tapi ternyata, aku malah mendapati dirimu menangis. Kenapa menghapus airmatamu? Kemarilah, gadis keciklu," katanya seraya memelukku.

Ya, dia mendekapku. Memelukku. Dan mengelus-elus kepalaku. Nyaman sekali rasanya. Dipeluk ketika kau merasa sedih. Andai kau adalah Adam, Kyle.

"I'm really okay Kyle," jawabku yang diikuti isak tangis.

Bodohnya aku. Kenapa aku malah menangis. Tidak seharusnya aku menangis. Aku yakin dia bisa mendengar suara tangisku.

"Jangan berbohong kepadaku, Stef," katanya yang malah memelukku lebih erat lagi.

"Apa kau menyukai Hilda, Kyle? Maksudku, mencintainya," tanyaku.

"Aku tidak pernah menyukai maupun mencintainya, Stef," katanya. Dia kemudian melepaskan pelukannya dan dengan kedua telapak tangannya, dia menghapus airmataku.

"Mengapa?" tanyaku.

Dengan mata hazel itu, dia menatapku dalam dan penuh keyakinan, "Karena gadis yang sejak pertama kali kusukai adalah kau. Aku bahkan menyukaimu sejak pertama kali aku melihat fotomu. Bukan Hilda. Bagiku, dia terlalu berpura-pura. Tapi kau, kau begitu natural. Kau begitu spesial bahkan aku tidak bisa menjelaskan bagaimana dirimu."

"Tapi...."

Belum sempat aku berkata, dia sudah memotong perkataanku.
"Aku menyukaimu, bukan dia. Karena itu aku selalu berada di sampingmu dan mengkhawatirkanmu, Stef. You are my Sweet pie. Kau mau berjalan-jalan sebentar?"

"Maaf, Kyle. Aku lelah."

"Oh, baiklah. Istirahatlah kalau begitu.

Kyle kemudian keluar dari kamarku. Well, Itu karena usiranku yang secara halus ini. Setidaknya, sekarang aku sudah tahu bahwa Kyle menyukaiku. Bukan Hilda. Tapi, apa aku harus memberitahukannya kepada Hilda?

Aku mengeluarkan laptopku untuk mengecek surel. Aku mengharapkan sesuatu seperti, papa atau mama mengirimiku surel. Nyatanya. Hasilnya nihil. Semua surel yang masuk hanyalah lampiran-lampiran pekerjaan yang harus aku ketahui. Bahkan sudah berada di tempat yang sejauh ini pun aku masih harus disibukkan dengan pekerjaanku. Apa-apaan ini!

Tak terasa sudah pukul 6. Aku menutup akun yahoo-ku, mematikan laptopku dan menyimpannya kembali lalu mandi dan bersiap-siap untuk makan malam.

Hey readers...
Maaf uploadnya suka telat.
Maklum, banyak pr...
Hihihi...
Baca ceritaku terus ya...
Love you all
^_^

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang