SOrry readers, part ini agak banyak, jadi di bagi dalam 3-4 bagian. Biar gak bosen juga :D
England (Part 2)
Tinggal beberapa hari lagi menjelang kepergianku dan teman-teman ke London. Aku membeli berbagai perlengkapan yang kubutuhkan. Begitu pula dengan Ben dan yang lainnya. Aku sudah cuti bekerja beberapa hari ini. Well, aku tidak sepenuhnya cuti, Paman John masih sering meneleponku mengadukan ini dan itu.
Aku bahkan belum tahu gaun apa yang harus kugunakan saat ulang tahun Ben nantinya. Yang pastinya aku harus memakai gaun yang terkesan lebih formal dan lebih elegan. Mungkin sebaiknya aku membelinya saat aku tiba di London saja. Meminta bantuan Ben dan yang lainnya untuk memilihkan untukku. Ah, entahlah. Aku paling pusing bila disuruh menentukan pakaian untuk pesta-pesta seperti ini. Menentukan target laba dalam perusahaan mudah bagiku, tetapi menentukan pakaian hal yang sangat sulit bagiku. Mungkin kalian berpikir kalau orang kaya sepertiku pasti memiliki puluhan gaun di lemarinya. Tidak tidak. Hanya lemari barbie yang seperti itu. Tidak dengan lemari pakaianku.
Aku mempersilahkan semua pekerja yang ada dirumahku untuk pulang ke rumah mereka masing-masing saat aku di Inggris nanti. Dan mereka harus datang seminggu sebelum kepulanganku untuk membersihkan rumahku. Gaji? Tetap kuberikan sesuatu yang menjadi hak mereka. Kecuali, satpam dan beberapa bodygurad di rumah ini. Mereka tetap harus menjaga rumah baik ada maupun tidak adanya diriku.
Ben sering sekali bercerita tentang sepupu-sepupunya yang gagah dan bertubuh atletis itu saat mereka berkumpul di rumahku. Hilda selalu terlihat sangat antusias mendengarkan cerita Ben. Sementara aku sudah bosan mendengarkannya. Setiap kali dia makan di rumahku, itu topik yang akan dia bahas bersamaku.
Semoga saja sepupu-sepupu dan teman Ben tidak menilaiku seperti yang dilakukan teman-teman Indonesia-ku saat perama kali bertemu denganku. Hampir setiap dari mereka Mengatakan bahwa aku menyeramkan dengan tatapan mata yang tajam tanpa senyuman sedikitpun. Kesan yang sangat tidak enak didengar.Fari----------
Tinggal beberapa hari lagi dan aku akan berada di London. Bersama Stef selama sebulan penuh. Hal ini tentunya akan terasa sangat canggung bagiku. Apa yang harus aku lakukan? Ben pasti akan mengambil kesempatan ini untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Stef. Sial! Dia merayu Stef dengan kekayaannya. Ya, mau bagaimana lagi. Mereka sama-sama kaya. Tentunya mereka bisa saling melengkapi satu sama lain. Terlebih lagi, mereka sudah sangat dekat karena letak villa mereka yang hanya 5 jengkal itu.
�Mas, ada seseorang yang mau bertemu sama Mas. Katanya teman,� kata sekretarisku yang membuatku terbangun dari lamunanku.
�Suruh dia masuk.�
Hilda rupanya. Mau apa dia kemari? Well, aku tahu kalau gadis ini menyukaiku. Dan kuduga dialah alasan Stef menjadi sedikit menjauh dariku. Tapi, tidak biasanya dia datang menemuiku di kantor.
�Far,� sapanya.
�Ada apa, Hil?�
�Aku mau nanya sesuatu boleh?�
�Mau nanya apaan?�
�Um... Kamu... mau ikut ke London. Karena ada Stef atau karena aku juga ikut dalam perjalanan itu?�
OH MY GOD! Pertanyaan macam apa ini? Apakah aku benar-benar harus menjawab pertanyaan ini? Astaga! Baiklah. Aku harus membuat diriku setenang mungkin dan berusaha menjawabnya tanpa menampakkan kekesalanku.
�Mmm... kok nanyanya gitu, sih? Aku kesana ya karena Ben ngajakin terus karena kalian juga udah pada mau. Jadi, gak enak lah kaau aku nolak ajakan Ben.� Fiuh, jawaban macam apa ini. Harusnya aku jujur saja.
Dia masih terus disini sampai beberapa jam kemudian. Tepatnya, sampai jam pulang kantor. Mau tidak mau, aku pura-pura menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Dan benar saja! Dia langsung menyetujui tawaranku. Berakhirlah sore ini dengan mengantar Hilda pulang kerumahnya.
*****
Stefanie---------
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Akhirnya, dalam waktu yang tidak lama lagi kami akan tiba di Inggris, London tepatnya. Di kediaman Ben. Bertemu dengan keluarga besarnya. Pamanku yang mengantar aku dan Ben ke bandara. Ya, ayah dan ibuku masih sibuk mengurusi pekerjaannya. Mereka hanya tahu hari ini aku akan berangkat. Mereka tidak menanyakan lebih lanjut mengenai keberangkatanku. Memang begitulah adanya. Mereka sibuk bekerja tanpa ingat bahwa ternyata aku masih membutuhkan mereka untuk menghabiskan waktu bersama mereka berdua.
Kami bertemu di bandara dan sama-sama melakukan boarding pass. Paman langsung pulang karena harus melanjutkan pekerjaannya. Orangtua Fari, Helmi dan Hilda menunggu sampai pesawat lepas landas. Alangkah irinya aku melihat mereka yang dapat di antar keluarga mereka masing-masing sementara aku hanya diantar oleh pamanku yang bahkan langsung pulang setelah mengantarku kemari.
Apakah di dunia ini, benar-benar tidak ada lagi orang yang menyayangiku? Bahkan mereka mendapat pelukan terakhir dari ibu mereka sebelum akhirnya mereka berangkat. Aku? Ibuku saja tidak mengantarku, bagaimana dia akan memelukku?
Semua penumpang dipersilahkan memasuki pesawat. Para pramugari mengecek tiket dan memandu kami menuju ruangan sesuai dengan kelas yang tertera pada tiket kami. Hanya tersisa tiket kelas ekonomi untuk kami berlima. Yah... Kalau menurutku sih tidak terlalu penting karena sama saja kan pasti sampai tujuan? Jadi tidak perlu menghabiskan terlalu banyak uang. Tidak penting bagiku apakah itu kelah bisnis, VIP, atau VVIP sekalipun. Intinya, selamat sampai tujuan. Kemudian kami diperintahkan memakai sabuk pengaman karena pesawat akan segera lepas landas.
Aku mendapat kursi disebelah Helmi. Namun, Ben memintaku bertukar tempat yang membuatku akhirnya harus duduk di sebelah Fari dengan alasan paling tidak jelas yang pernah dia karang. Hanya saja entah mengapa aku bisa menyetujuinya dan berpindah ke sebelah Fari dengan begitu cepatnya tanpa berpikir panjang. Ah, bodohnya aku!
Fari. Dimataku dia adalah seorang pria yang baik, penyabar namun usil. Aku mengatakan dia baik karena aku belum pernah melihat dia marah seperti ketika aku marah, dia lebih memilih untuk diam daripada membalas ocehanku. Dan diapun sering menolong temannya walaupun sering mengejek mereka pula. Dia sosok yang cukup manis bagiku dan mungkin bagi semua yang menyukainya akan berkata bahwa dia tampan layaknya seorang pangeran. Sering aku tertawa dalam hati ketika ada yang menyebutnya seperti itu. Seorang pria tampan dengan tubuh yang begit bidang, bibir merah nan tipis serta murah senyum. Begitulah kebanyakan penggemarnya mendeskripsikan Fari. Banyak yang mencari kesempatan untuk mendekatinya. Bahkan, dulu aku juga. Ketika ada yang menyatakan suka padanya, raut wajahnya tidak akan berubah. Karena itu sudah menjadi hal yang biasa baginya. Dia bak artis korea yang dikejar-kejar oleh penggemarnya. Namun karena sifatnya yang usil itu, tidak sedikit juga orang yang membencinya.
"Sekarang kita hanya berdua, mereka bertiga jauh didepan tidak akan melihat kita" kata Fari memecah keheningan.
"Teruusss ??" jawabku dengan tampang datar.
"Kamu boleh tanya sama aku segala hal yang kamu pendam dari dulu itu"
"Maksudmu apa sih Far!"
"Segalah hal, silakan."
"Gak minat. Makasih!" jawabku ketus.
Kemudian aku memalingkan pandanganku keluar jendela daripada aku harus menjawab pertanyaan gila Fari.
Makin hari aku makin geram dengan tingkah lakunya. Kadang dia baik terhadapku, kadang dia sangat dingin kepadaku bahkan mengacuhkanku. Apa yang dia inginkan sebenarnya. Aku harus meyakinkan diriku bahwa aku tidak mencintainya lagi. Aku tidak ingin lagi memikirkan apakah benar dia mencintaiku atau apakah dia pernah mencintaiku atau siapa yang ada didalam hatinya dulu, sekarang dan nanti. Karena itu semua tidak lagi penting bagiku.
Dari dulu yang aku inginkan darinya hanyalah satu, mengetahui bahwa dia juga mencintaiku. Tidak pernah lebih dari itu. Hanya saja, hari itu tidak akan pernah datang kepadaku. Kusadari itu sejak lama. Bahkan disaat bersamaan dengan saat dimana aku pernah mencintainya. Akhirnya aku menyerah.
##aku meninggalkanmu bukan karena aku sosok
Yang tidak setia, melainkan aku tahu kalau kau
Tidak pernah datang kepadaku. Dan kini aku menyerah
Aku telah putus asa##
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
RomanceStefanie dan Fari. Mereka berdua sudah berteman sejak duduk di bangku SMP. Sebetulnya, Steffi mencintai Fari saat itu. Hanya saja, Fari tidak pernah memberikannya kesempatan untuk membuktikannya. Disaat merasa siap, saat itu pula ada Ben yang muncu...