it felt like love

214 10 0
                                    


"Bersihkan kamarmu sekarang juga, atau kau memilih untuk angkat kaki dari sini??!!"

"Menjauhlah dari kamarku, bawel!!"

'BRAK!!!'
Sebuah sepatu melayang keluar dari pintu kamar Ellise, sesaat membentur pintu sebelum akhirnya jatuh tergeletak di lantai.

"Pikirkan lagi saat kau bilang 'angkat kaki dari sini'!! Helloooo, kau yang menumpang, ibu tiri !!!!"

Sedetik kemudian Rosie keluar dengan tangan di kepalanya. Ia melindunginya dari lemparan sepatu lagi.

"Kau akan menyesal melakukan ini padaku, bajingan !!!" wanita itu mencak-mencak di depan pintu tanpa peduli Paige sedang menyaksikannya dalam keadaan yang buruk.

Lima detik kemudian Rosie menghilang menuju dapur. Ia mengomel tentang tata krama dan peraturan yang telah dilanggar oleh anak tirinya itu tanpa henti.

Ada apa dengan keluarga ini??

Paige masih duduk di tempatnya tanpa bergerak, merasa bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa beruntung karena Molly masih terlelap di kamarnya. Ia memang datang terlalu pagi hari ini.

Dan entah angin apa yang tengah berhembus hingga ia menemukan pertengkaran mereka yang begitu dasyat.

Dan semua itu terus barlangsung. Rosie masih terus menyanyikan berbagai macam umpatan yang terdengar lumayan menyayat hati. Paige memejamkan matanya. Ingin rasanya ia keluar rumah.

Terdengar derum mobil yang datang dari arah jalan. Paige mengintip dari tirai jendela yang tersingkap. Sebuah Dodge bak terbuka berwarna hijau tua tengah berhenti di halaman rumah.

Mr. Paul Martel keluar dari dalam mobil itu kemudian. Ia menyaksikannya masuk melalui dapur.

"Hallo Sayang..."
Lamat-lamat ia mendengar pria itu menyapa istrinya.

"Ada apa, mengapa kau menangis?"

Paige melongok ke arah dapur. Lalu mendongak ke lantai dua di mana kamar Ellise berada. Sepertinya cowok itu tak bergeming di kamarnya.

"Anak sialan itu berani melemparku dengan sepatu!!"
Ia mulai mengadu.

Tak lama setelah itu Paul Martel menyeret anak laki-lakinya dari lantai dua. Ia tak peduli Ellise masih setengah mengantuk dengan rambut acak-acakan. Paul Martel menghujaninya dengan tinju dan kata-kata kasar tentang Bridget.

"Jadi kau berharap dia masih hidup, hah?" Paul melayangkan tinjunya tepat ke arah mata Ellise. "Dia akan malu seandainya masih hidup! Kau ini apa? Manusia tanpa tata krama yang membuat semua orang tua malu!"

Paul menamparnya sekali lagi. Tapi Ellise bahkan tak membalas perlakuan ayahnya. Yang ia lakukan hanya menatap ayahnya penuh kebencian.

"Bridget akan melakukan hal yang sama denganku jika ia tahu apa yang kau lakukan!"

"Karena itulah dia memilih mati.." ucap Ellise gemetar. Jarinya mengusap darah yang merembes dari bibirnya.
"Karena dia tak tahan dengan perselingkuhanmu, Dad. Bukan karena aku."

Paige menelan ludah, terkesiap di sudut ruangan seperti seekor kelinci di kandang macan.

"Apa kau bilang?! Coba ulangi!!"

Laki-laki itu bersiap untuk memukul lagi.

"Tidaaaak!!!"
Paige berlari ke tengah ruangan untuk memisahkan Mereka. Ia melihat kilat kemarahan dari mata Paul Martel. Nafasnya naik turun.

"Lepaskan anak anda, Mr. Martel...dia tidak sekuat anda. Anda pasti menang. Tapi apa yang anda dapat setelah itu." Paige mencoba meyakinkan pria di depannya dengan sedikit kata yang tersisah di otaknya. Ia berdoa dalam hati semoga berhasil. Jika tidak, maka dirinya sendirilah yang akan babak belur.

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang